Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

 

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

Latifah Dwi Cahyani

 

Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Perkawinan merupakan saah satu cara yang dipilih oleh Allah Swt sebagai jalan untuk meneruskan keturunan dan berkembang biak. Tujuannya untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka terdapat rukun-rukun perkawinan yaitu mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua saksi, dan ijab qobul. Dengan demikian bagi yang hendak melangsungkan pernikahan, hendaknya memahami petunjuk agama dan Negara agar sampai pada hakikat pernikahan.

Kata Kunci: Wali, Saksi, Ijab Qobul

A.    Pendahuluan

             Dalam syariat Islam Allah memerintahkan untuk menikah dan mengharamkan berzina. Perintah menikah merupkan salah satu implementasi maqashid syariah yaitu hifzhul nasl (menjaga keturunan). Islam memandang bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang luhur, bermakna ibadah kepada Allah Swt, mengikuti Sunnah Rasul dan dilaksanakan atas dasar keiklasan, tangggung jawab dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang ada baik hukum islam maupun peraturan yang ada di Indonesia. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 1 pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

            Untuk mewujudkan tujuan perkawinan, maka terdapat rukun-rukun perkawinan yaitu mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua saksi, dan ijab qobul. Rukun nikah adalah sesuatu yang wajib ada dalam pernikahan. Dengan demikian bagi yang hendak melangsungkan pernikahan, hendaknya memahami petunjuk agama dan Negara agar sampai pada hakikat pernikahan.

B.     Wali Nikah

Pengertian Wali

            Kata wali berasal dari bahasa Arab, yaitu al-waily yang berarti mencintai, teman dekat, pengurus, pengasuh dan orang yang mengurus perkara. Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atsa nama orang lain.

            Wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yakni mempelai laki-laki dan pihak perempuan yakni oleh walinya. Orang yang berkah menikahkan orang perempuan ialah wali yang bersangkutan, apabila wai yang bersangkutan tidak sanggup bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya dapat digantikan kepada orang lain. Atas dasar pengertian kata wali diatas, dapat dipahami bahwasanya hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wai bagi anaknya ialah ayah. (Muhammad, 2005: 134-135)

Syarat Wali

Adapun syarat-syarat untuk menjadi wali antara lain: (Rinwanto, Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1: 87)

1.      Islam

2.      Telah dewasa dan berakal sehat

3.      Laki-laki

4.      Merdeka

5.      Adil, Adil dalam arti tidak pernah terlibat dalam dosa besar dan tidak sering dalam dosa kecil, serta tetap memelihara muru’ah dan sopan santun.

6.      Tidak sedang melakukan ihram haji dan umrah

Kedudukan Wali Nikah

            Wali menurut jumruh ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali mengatakan wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis keturunan ayah bukan dari keturunan ibu. Jumruh ulama berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, tetapi harus dinikahkan oleh walinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah (tanpa wali), maka akad nikahnya batal. Demikian yang dikatakan oleh mayoritas ahli fiqh. Namun para ulama penganut madzhab Hanafi mengemukakan “seorang wanita boleh melakukan akad pernikahan sendiri, sebagaimana ia boleh melakukan akad seperti jual beli, ijarah (sewa-menyewa), rahn (gadai). (Syaikh, 2001:  48-49)

            Mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat berhak bertindak melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan pernikahan, baik dia masih perawan atau janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya, maupun tidak, direstui ayahnya maupun tidak. Ia tetap mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki. Para penganut mazhab Hanafiyah berargumen dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 232.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ

Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.

            Dari ayat diatas, ulama Hanafiyyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat menikahkan dirinya tanpa diperlukan bantuan walinya. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 174, tidak dijelaskan mengatur wai nikah, akan tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua apabila caon pengantin belum berumumr 21 tahun. (Mariyana, 2013: 23)

Urutan Wali Nikah

            Wali yang berhak mengawinkan perempuan adalah ‘ashabah yaitu keluarga laki-laki dari jalur ayah, bukan dari jalur ibu. Ini adalah pendapat dari jumruh ulama selain Imam Hanafi yang memasukan kerabat dari ibu dalam daftar wali.

Secara keseluruhan, urutan wali nasab adalah sebagai berikut: (Mariyana, 2013: 23)

1)      Ayah kandung

2)      Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki

3)      Saudara laki-laki sekandung

4)      Saudara laki-laki seayah

5)      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

6)      Anak laki -laki saudara laki-laki seayah

7)      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

8)      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah

9)      Saudara laki-laki seayah kandung (paman)

10)   Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)

11)   Anak laki -laki paman sekandung

12)   Anak laki-laki paman seayah

13)   Saudara laki-laki kakek sekandung

14)   Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung

15)   Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.

Macam-macam Wali

Pasal 20 ayat 2 KHI menyebutkan bahwa wai nikah terdiri dari dua yaitu:

a.       Wali nasab adalah seorang wali nikah yang masih ada hubungan darah lurus ke atas dari wanita yang ingin menikah. Perbedaan pendapat dikalangan ulama juga terdapat dalam menetapkan wali nasab. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan al-Qur’an tidak menjelaskan sama sekali tentang keberadaan wali tersebut. Jumhur Ulama, yang terdiri dari Shafi’iyyah dan Hanabilah membagi wali menjadi dua:

1)      Wali Qarib, adalah ayah dan kakek. Keduanya memiliki hak mutlak untuk menikahkan anaknya tanpa persetujuan dari anaknya, disebut wali mujbir.

2)      Wali ab’ad, adalah wali dari dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Jumhur ulama berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia menjadi anaknya, bila anak itu berkedudukan menjadi wali hakim maka diperbolehkan.

b.      Wali hakim adalah orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Wali hakim bertindak sebagai wai apabila wali nasab; memang benar–benar tidak ada, berpergian jauh atau tidak ditempat dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab dekatnya yang ada ditempat akad, hilang hak perwaliannya, dan sedang ihram haji/ umrah. (Mariyana, 2013: 23)

Wali Nikah Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

            UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sama sekali tidak menyebutkan wali dalam persyaratan perkawinan. Artinya yang melangsungkan pernikahan bukanlah wali, akan tetapi mempelai perempuan. UU Perkawinan hanya menyebutkan orang tua, itupun dalam kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang demikian pun bila calon mempelai berumur dibawah 21 tahun. Hal ini mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun, maka peranan orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan secara lengkap tentang wali dalam perkawinan dengan mengikuti pendapatnya jumruh ulama, khusunya Madzab Syafi’I yang diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22, dan 23. (Rinwanto, Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1, Hal 88)

C.   Saksi

Pengertian Saksi

            Saksi secara bahasa adalah redaksi dari orang yang hadir, adapun menurut istilah adalah redaksi/kabar dari sesuatu yang diketahuinya. Saksi dalam pernikahan adalah sesuatu (kabar) yang diketahui oleh seorang wali atas sebuah pernikahan. Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan yang berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman.

Kedudukan Saksi Menurut Ulama

            Akad pernikahan seharusnya disaksikan oleh dua orang saksi demi terwujudnya kepastian hukum serta menghindari kesalahpahaman dibelakang hari. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:


لاَ نِكَاحَ إِلاَ بِشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَوَلِيٍّ مُرشِدٍ وَمَا كَانَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ

“Tidak sah sebuah pernikahan itu kecuali dengan dua orang saksi yang adil dan wali juga mursyid (jujur), pernikahan yang tidak memenuhi hal itu maka batal.”

Akan tetapi dalam literatur lain ditemukan perbedaan sebagai berikut:

1.      Ulama Shafi’iyyah dan Hanabilah menempatkan saksi sebagai rukun dalam pernikahan

2.      Ulama Hanafiyah menempatkan saksi sebagai syarat

3.      Ulama Malikiyyah menurut riwayatnya Ahmad tidak memasukkan saksi dalam rukun dan syarat, tetapi wajib menghadirkan dua saksi ketika berhubungan intim. Jika tidak mendatangkan dua saksi maka pernikahannya rusak dengan bentuk talaq bain, karena akad pernikahannya adalah akad yang sah. Karena jika tidak mewajibkan menghadirkan saksi secara mutlaq akan membuka jalan perzinaan.

Syarat-syarat Saksi

            Kehadiran saksi sebagai rukun nikah memerlukan persyaratan-persyaratan agar nilai persaksiannya berguna bagi sahnya sebuah akad nikah. Berikut syarat-syarat saksi dalam pernikahan yang harus dipenuhi:

1.      Dua orang saksi

2.      Islam

3.      Berakal

4.      Baligh

5.      Laki-laki

6.      Adil

7.      Tidak fasiq (buta, tuli dan bisu

            Undang-undang perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun UU perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam pembatalan perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hak yang membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 26 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat diminta pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.” Sedangkan menurut KHI saksi dalam perkawinan yang materi keseluruhannya diambil dari kitab fiqh jumruh ulama terutama Imam Syafi’iyah. Ketentuan saksi dalam perkawinan diatur KHI dalam Pasal 24, 25, dan 26. (Rinwanto, Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1, Hal 92)

 

D.    Ijab Qobul

Pengertian Ijab Qobul

            Akad nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya janji, perjanjian, kontrak. Sedang nikah yaitu ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Atau secara sederhana bermakna perkawinan, perjodohan. Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab qabul merupakan satu hal yang tidak boleh dipisahkan antara yang satu dari yang lain, bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses ijab qabul. (Khusein, 30-31)

            Pernyataan yang menunjukan kemauan membentuk hubungan suami isteri dari pihak mempelai wanita disebut ijab. Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai pria untuk menyatakan ridha dan setuju disebut qabul. Kedua pernyataan antara ijab dan qabul nikah inilah yang dinamakan akad dalam pernikahan.

            Sedangkan defenisi akad nikah dalam Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Bab I Pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Akad nikah ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk mengikatkan diri mereka dalam ikatan perkawinan. Dengan pernyataan ini berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan aturan-aturan dalam berumah tangga. (Barzah ,Lutur Law Jurnal Vol. 10 No. 10: 2)

Syarat-syarat Saksi

Akad nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah dan mempunyai akibat hukum pada suami isteri apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Khusein, 31-31)

1.      Calon pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat.

2.      Ijab qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul.

3.      Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.

4.      Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan masing-masing pihak.

5.      Kata-kata dalam Ijab Qabul, Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur.

6.      Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab. Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya dengan bahasa ini

7.      Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya

8.      Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir), Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih dalam satu majlis.

GADINGAN, KKN KITA DAN CERITA

 LAPORAN ESSAY

KULIAH KERJA NYATA TRANSFORMATIF (KKN-T)

Disusun Oleh:

Nama : Latifah Dwi Cahyani

NIM : 192121027

Prodi : Hukum Keluarga Islam

FAKULTAS SYARIAH UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA TAHUN 2022


GADINGAN, KKN KITA DAN CERITA

Ini cerita pengalaman saya selama Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebelumnya perkenalkan nama saya Latifah Dwi Cahyani. Saya berasal dari Karanganyar. Saya mahasiswi jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah kegiatan intrakulikuler yang harus ditempuh mahasiswa UIN RM Said Surakarta dan sekaligus memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar dan bekerja bersama masyarakat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan tema yang ditentukan. Dan tema KKN pada tahun ini yang diusung adalah “Penguatan Ketahanan Masyarakat Pasca Pandemi Covid-19 Berbasis Kearifan Lokal dan Moderasi Beragama.” KKN Kerso darma tahun 2020 dan 2021 dilakukan dari rumah atau tempat tinggal masing-masing melalui komunikasi daring dengan teman kelompok dan DPL masing-masing. Sedangkan KKN tahun 2022 dilakukan secara berkelompok dan luring, meski dengan penggunaan laporan-laporan digital dengan media social. Karena itu, KKN tahun 2022 diberi nama “Kuliah Kerja Nyata Transformatif Kerso Darma Tahun 2022”. Tema Kerso Darma berarti kemauan atau kehendak untuk melakukan pengabdian dan mewujudkan sesuatu yang terbaik bagi dirinya sendiri dan bagi orang kain, bahkan masyarakat dan negara.

KKN Kerso Darma ini memiliki beberapa tujuan diantaranya untuk mendukung dan menguatkan program pemberdayaan masyarakat secara umum dan penguatan masyarakat dari kerawanan yang dimiliki pasca Covid-19 serta untuk mensinergikan potensi dan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa dengan pengetahuan dan realita yang sedang dihadapi masyarakat, khususnya dilingkungannya masing-masing terkait kerawanan paska Covid-19 dengan spirit Islam Transformatif dan Moderasi Beragama.

Pelaksanaan kegiatan KKN biasanya berlangsung selama kurang lebih satu bulan tergantung kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing universitas. Dan juga di setiap kelompok KKN tersebut diambil dari setiap prodi yang berbeda. Di samping pelaksanaan kegiatan KKN, pastinya kami selaku mahasiswa dibekali berbagai materi terlebih dahulu yang telah disediakan oleh panitia dan pembimbing universitas. Tujuan diadakannya pembekalan tersebut adalah supaya pada saat kegiatan KKN berlangsung dapat berjalan dengan lancar dan dapat mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi pada saat tiba di masing-masing desa tersebut. Selain itu, sebelum melaksanakan kegiatan KKN di desa. Kami juga harus melakukan survei yang tujuannya adalah untuk mengatahui permasalahan apa yang sedang dialami oleh desa atau potensi apa yang terdapat di dalam desa

Setelah semua disiapkan sedemikian rupa oleh pihak universitas. Pada 28 Juni 2022, kami peserta KKN yang diwakili oleh 2 orang setiap kelompok diharapkan berkumpul di kampus utama UIN Raden Mas Said Surakarta terlebih dahulu untuk menghadiri acara pelepasan mahasiswa KKN bersama bapak Mudhofir selaku rektor UIN Raden Mas Said Surakarta. Setelah selesai pembagian yang sudah ditentukan oleh pihak kampus terkait desa, kecamatan dan kabupaten. Saya mendapat kelompok 65 yang berjumlah 12 orang dengan 9 anggota perempuan dan 3 anggota lakilaki. Kelompok 65 mendapat tempat KKN di Desa Gadingan, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Kami sekelompok bertempat tinggal dirumah Bapak Bayan Sugeng Saryanto.

Desa Gadingan terletak disepanjang bantaran sungai bengawan Solo yang berbatasan langsung dengan kota Surakarta. Desa gadingan mempunyai beberapa dusun yang terdiri dari 14 dusun, yaitu Dusun Tempel, Kloron, Ngombol, Karangasem, Kismosari, Jetis, Ngentak, Badran, Jagang, Ganggang, Ngrayaban, Klatak, Ngemplak dan Gadingan Asri. Dari dusun-dusun tersebut terbentuklah 9 RW yang terdiri dari 34 RT.

Kegiatan yang kami lakukan dari hari pertama sangat banyak, dari silahturahmi dengan masyarakat Gadingan kami memiliki sekitar 12 program kerja. Diantaranya, mengajar TPA, dakwah di pengajian rutinan, mengadakan lomba untuk anak-anak yang sudah semangat berangkat TPA, membantu acara lomba 17 Agustus bersama karang taruna, mengadakan senam bersama untuk para ibu-ibu, mensosialisasikan stunting, mengadakan sosialisasi parenting, mengadakan kegiatan closingan sebagai acara penutup, membantu proses belajar mengajar di jenjang PAUD, membantu proses pemotongan daging hewan kurban pada Idul Adha, memberikan bibit tanaman untuk Hatinya PKK, dan yang terakhir yaitu membuat Company Profile untuk Desa Gadingan.

Dari 12 program kerja yang kami lakukan, yang akan saya bahas pada tulisan essay kali ini adalah membantu proses pemotongan daging hewan qurban pada Idul Adha. Kegiatan penyembelihan hewan kurban dilakukan di Masjid Nur Hidayah di Dusun Ngemplak pada hari Minggu, 10 Juli 2022. Kegiatan ini dimulai dengan sholat Ied di lapangan Gadingan, kemudian dilanjutkan membantu proses penyembelihan hewan kurban. Jumlah hewan kurban ada 2 ekor sapi. Dalam kegiatan ini, anggota laki-laki membantu proses penyembelihan, sedangkan anggota perempuan membantu proses pemotongan dan pembagian hewan kurban. Alasan kami membuat program kerja membantu pemotongan hewan kurban ini adalah karena di Dusun Ngemplak, pada hari Minggu tersebut terdapat kegiatan lain dan yang membantu kegiatan penyembelihan hanya sedikit.

Dari lancarnya program kerja penyembelihan hewan kurban ini, terimakasih kepada warga Dusun Ngemplak dan teman-teman yang sudah membantu kelancaran dan keberhasilan dari kegiatan yang menurut saya sangat baru dan pertama kalinya yang saya lakukan dalam membantu penyembelihan hewan kurban bersama masyarakat.



Create by: Agnes, Shopi, Hana

 Tugas UTS Hukum Adat

Nama : Latifah Dwi Cahyani

NIM : 192121027

Kelas : HKI 4A 

Dosen : Luthfiana Z, M.H

Mata Kuliah : Hukum Adat 

Link video : https://www.youtube.com/watch?v=-2s8ROuXKlA 

Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Batak Toba Dalam masyarakat Batak Toba yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris, anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah atau hibah namun dalam putusan mahkamah agung atas pembagian ahli waris anak perempuan lah yang menerima lebih banyak. Pada dasarnya dalam adat Batak Toba anak perempuan bukan/tidak penerima warisan kecuai sebagai pengganti atau menggantikan berdasarkan keputusan dan persetujuan. Wanita tidak bisa menjadi penerus keturunan sebab hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun dan anak laki-laki sudah ditakdirkan sebagai penerus keturunan. Sehingga sudah menjadi tradisi tidak boleh diubah termasuk hal pemberian warisan. Selain itu, anak perempuan tidak berhak menerima warisan karena dalam Batak Toba anak laki-laki yang membawa marga (klan). Dalam adat Batak Toba diketahui bahwa anak laki-laki dewasa atau tertua mendapatkan warisan tanah, sawah atau ladang, sedangkan anak bungsu laki-laki mendapat rumah peninggalan orang tua. Tetapi anak sulung dan tengah tidak boleh mendapat harta peninggalan rumah orang tuanya. Dan hal itu sudah sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba. Kedudukan perempuan sebagai istri dalam hukum adat Batak Toba yakni sejak perkawinan terjadi seorang perempuan sudah menjadi istri dan masuk dalam keluarga suami serta sudah melepas keluarganya sendiri. Sehingga kedudukan perempuan dianggap bersifat sementara, namun kedudukan sosial perempuan sangatlah terhormat karena mendapatkan bagian dari keluarga sang suami atau mendapat hibah dari pihak laki-laki terutama bagi perempuan yang melahirkan anak laki-laki atau sebaik garis keturunan. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum waris adat Batak TobaTugas UTS Hukum Adat 1) Faktor pendidikan Dahulu laki-lakilah yang berhak mendapat warisan dari orang tuanya, namun seiring berkembangnya zaman dan perubahan pola pikir atau pendidikan seseorang akan memilih jalan adil dalam pembagian harta waris, sehingga kedudukan antara anak lakilaki dan perempuan adalah sama. Dalam adat Batak, pendidikan adalah hal yang berharga seperti dalam istilah orang tua akan rela dan berkorban dari kampung halamannya untuk menyekolahkan anaknya sehingga dapat memenuhi pendidikan tinggi dan berguna untuk dirinya dan lingkungannya. 2) Faktor perantauan Hal ini mempengaruhi adat istiadat yang berasal dari daerah asalnya yang semula patrilineal akan mengikuti pola hukum waris parental yang di daerah rantaunya. 3) Faktor sosial ekonomi Dalam hal perkawinan dengan adanya mahar, sehingga kedudukan anak perempuan dianggap bersifat sementara, karena pemberian mahar dianggap bentuk dan biaya membesarkan anak, namun dalam pihak suami kedudukan perempuan sangatlah terhormat. Masyarakat adat Batak Toba menganut sistem patrilineal yakni garis keturunan yang mengikuti bapaknya, sehingga ada marga-marga tertentu yang ditempati oleh anak-anak keturunan bapak yang diambil dari keturunan bapaknya. Dalam sistem pembagian warisan juga menitikberatkan pada kedudukan anak laki-laki dan anggota keluarga yang berasal dari pihak laki-laki. 2. Hukum waris adat Batak Toba menurut Hukum Islam Pelaksanaan hukum waris dalam masyarakat Batak Toba tersebut sebagian besar masih memakai hukum waris adat mereka. Karena masih menganut sistem adat yang masih kental. Dalam pelaksanaan dan proses pembagian warisan yang diakukan di masyarakat Batak Toba yang menjadikan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dibedakan yakni ahli waris hanya dijatuhkan pada anak laki-laki dan anak perempuan tidak berhak/tidak mendapat warisan. Hal tersebutlah yang tidak sesuai dengan syariat islam dan tidak adanya keadilan dalam pembagian warisan itu sendiri, bahkan kedudukan perempuan dipandang rendah dalam masyarakat Batak. 3. Hukum waris adat Batak Toba menurut KUHP Dalam hukum waris nasional keadilan pembagian warisan yakni dengan adanya pebagian sama rata antara anak laki-laki dan perempuan, hal ini diperkuat dengan ketentuan Tugas UTS Hukum Adat Pasal 852 KUHPerdata yang mengatakan bahwa “Anak-anak atau keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lainperkawinan sekaipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.” Dalam masyarakat suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal, dahulu hanya memberikan hak atas harta warisan kepada anak laki-laki. Kemudian dalam perkembangannya, anak perempuan bisa mendapatkan bagian warisan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 179/K/Sip/1961, yang berbunyi bahwa “Berdasarkan selain rasa kemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup diseluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.” Tetapi terhadap harta pusaka yang berhak tetap anak laki-laki karena sebagai penerus marga bapaknya. Keputuan Mahkamah Agung tersebutlah yang menetapkan dan merubah ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak-anak dan janda

Hukum Perdata Islam di Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, Kaitannya dengan Perubahan Usia Perkawinan


Hukum Perdata Islam di Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, Kaitannya dengan Perubahan Usia Perkawinan

Latifah Dwi Cahyani
Email: latifahdc861@gmail,com

            Perkembangan hukum perdata islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah islam itu sendiri. Mayarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tidak akan lepas dari praktik-praktik hukum islam, terkhusus dalam hukum perdata Islam. Perkembangan hukum perdata islam tersebut dapat dilihat dari berbagai praktik-praktik hukum, pembahasan, implementasi dan pemikiran hukum islam yang dilakukan di Indonesia seperti mengenai hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, poligami, anak yang lahir diluar nikah, dan berbagai persoalan-persoalan lain mengenai hukum perdata islam.

         Sistem hukum perdata islam di Indonesia yang bersumber dari ajaran syariat Islam dapat dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku dalam hukum nasional Indonesia. Posisi hukum islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai peranan penting, yakni sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia, dengan kemandirian dan kekuatan wibawanya, hukum islam diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional, norma-norma hukum islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, sebagai sumber utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Dari situlah hukum islam menjadi hukum yang hidup dalam mayarakat Indonesia dan sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik hukum nasional di Indonesia.

           Hukum nasional yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang bersumber dari filsafat Pancasila. Hukum nasional Indonesia yang bersumber Pancasila memuat nilai-nilai kebinekaan dan keagamaan, yang sesuai dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan nilai agama tersebut terjadi relasi antara agama dan negara. Bahwa agama di Indonesia mempunyai posisi yang amat penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Terutama agama islam yang menjadi mayoritas yang dianut oleh warga negara Indonesia.

         Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum islam yang berkembang dan berlaku di Indonesia, empat produk hukum islam tersebut adalah fiqh, fatwa, putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan. Seiring perkembangan zaman muncullah permasalahan hukum perdata islam, konflik hukum dan pro kontra terhadap peristiwa hukum tersebut. Di antara masalah-masalah tersebut adalah masalah dalam bidang hukum perkawinan. Dalam hukum perkawinan salah satu hal yang menarik dan timbul kritikan di masyarakat yakni persoalan batas minimal usia untuk melangsungkan pernikahan.

        Kedewasaan seseorang dahulu dilihat dari fisik saja, haid bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kondisi tersebut hanya menunjukkan sisi kematangan biologis dalam kematangan reproduksi saja. Tetapi kematangan sosial dan berperilaku juga penting. Karena dalam suatu perkawinan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual semata. Perkawinan juga mengandung tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan perkawinan yang sakinah, mawadah wa rahmah (mendatangkan keteantaraman diri, kebahagiaan dan saling cinta kasih).

Batas Usia Perkawinan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

         Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 7 ayat (1) yang mengatur batas umur minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu laki-laki 19 tahun dan pihak perempuan 16 tahun. Dan dalam Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 7 disebutkan “apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan seorang calon istri belum mencapai umur 16 tahun, harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan. Selain itu, dalam Pasal 6, “apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin tertulis dari kedua orang tua”. Jika belum mencapai umur 21 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan harus mendapat persetujuan orang tuanya, tanpa persetujuan orang tua atau wali maka perkawinan tidak akan dilangsungkan.

            Ada ketentuan lain terkait umur dalam Undang-undang Perkawinan yakni ditentukan bahwa usia kedewasaan seseorang adalah 18 tahun, sehingga sudah cakap berbuat hukum. Batas minimal usia perkawinan untuk pihak perempuan tersebut dianggap tidak efektif lagi dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan disebut diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia karena memperbolehkan perkawinan anak perempuan. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang beruumur di bawah 18 tahun, sehingga mereka yang berumur 16 tahun termasuk dalam kategori masih anak-anak.

          Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan caon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dilihat dari beberapa ketentuan hukum tersebut, bahwa penetapan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan. Karena perkawinan tidak akan memberikan kemaslahatan jika dilakukan pada saat para calon pengantin belum matang, serta mengurangi perkawinan melalui perjodohan orang tuanya di usia dini.    

Batas Usia Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam

    Dalam hukum islam tidak ada ketentuan tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan.disebutkan dalam Al-Quran bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu, dalam QS. An-Nur ayat 32, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Kemudian, dalam QS. An-Nisa ayat 6, bahwa kebolehan seorang menikah adalah telah mencapai masa balig (remaja). Tanda-tanda baligh secara umum yakni sempurnanya umur 15 tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 tahun.

        Rasulullah Saw juga menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat memiliki kemampuan (ba’ah), yakni mampu melakukan jimak atau hubungan suami istri dan mampu menaggung beban atau biaya perkawinan. Sebaiknya, barang siapa yang tidak mampu jimak (tidak mampu menikah), maka baginya berpuasa.

            Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan umur bagi orang yang dianggap balig. Menurut Imam Syafii dan Hambali, bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun. Imam Hanafi menetapkan usia seseorang dianggap baligh, jika anak laki-laki berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan. Sedangkan Imam Maliki menyatakan anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan. Dengan demikian, para ulama bersepakat bahwa yang harus terpenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah sifat baligh dan aqil pada kedua mempelai.

Perubahan Batas Usia Perkawinan dalam Undang-Undang

        Dari banyaknya pro kontra dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat tentang batas usia perkawinan akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Kemunculan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan, yaitu bermula dari keluarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya setiap orang yang masih dibawah 18 tahun termasuk kategori anak. Aturan batas usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik terhadap UU Perkawinan tentang batas minimal usia nikah bagi perempuan banyak dilakukan di beberapa kalangan aktivis perlindungan anak dan perempuan.

        Kemudian beberapa upaya telah dilakukan yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait masalah batas minimal usia perkawinan. Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dan menerbitkan putuskan No. 22/PUU-XV/2017 dan memerintahkan DPR RI dalam jangka waktu paling lama 3 tahun untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berkaitan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. yang menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Akhirnya DPR menyepakati perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menghasilkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berisi merubah ketentuan pasal 7 dengan menyamakan batas usia nikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun. Dengan adanya perubahan ketentuan batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, karena dinilai mampu menurunkan praktik perkawinan dini sebagai upaya perlindungan anak khususnya bagi perempuan.

Kesimpulan

            Perkembangan hukum perdata islam tersebut dapat dilihat dari berbagai praktik-praktik hukum, pembahasan, implementasi dan pemikiran hukum islam yang dilakukan di Indonesia seperti mengenai hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, poligami, anak yang lahir diluar nikah, dan berbagai persoalan-persoalan lain mengenai hukum perdata islam. Sistem hukum perdata islam di Indonesia yang bersumber dari ajaran syariat Islam dapat dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku dalam hukum nasional Indonesia. Dari situlah hukum islam menjadi hukum yang hidup dalam mayarakat Indonesia dan sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik hukum nasional di Indonesia.

            Dari banyaknya pro kontra dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat tentang batas usia perkawinan akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Kemunculan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. Dan dinilai bahwa aturan batas usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Akhirnya DPR menyepakati perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menghasilkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berisi merubah ketentuan pasal 7 dengan menyamakan batas usia nikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun. Dengan adanya perubahan ketentuan batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, karena dinilai mampu menurunkan praktik perkawinan dini sebagai upaya perlindungan anak khususnya bagi perempuan.


Referensi

Septiawan, Syukron. Perubahan Batas Usia Nikah Bagi Perempuan Dalam Undang-Undang          Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perspektif Maslahah, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Purwokerto, 2020.

Fajri, Muhammad, Interprestasi Perubahan Batas Minimal Usia Perkawinan Perspektif Maslahat, Jurnal Al-Qadau, Vol. 7 No. 1, 2020.

Saudi, Amran, Perkembangan Hukum Perdata Islam di Indonesia (Aspek Perkawinan dan           Kewarisan), Jurnal Yuridis, Vol. 2 No.1, 2015.

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...