Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan
Latifah
Dwi Cahyani
Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah. Perkawinan merupakan saah satu cara yang dipilih oleh
Allah Swt sebagai jalan untuk meneruskan keturunan dan berkembang biak.
Tujuannya untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah
keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka
terdapat rukun-rukun perkawinan yaitu mempelai laki-laki, mempelai perempuan,
wali, dua saksi, dan ijab qobul. Dengan demikian bagi yang hendak melangsungkan
pernikahan, hendaknya memahami petunjuk agama dan Negara agar sampai pada
hakikat pernikahan.
Kata Kunci: Wali, Saksi, Ijab Qobul
A.
Pendahuluan
Dalam syariat Islam Allah memerintahkan untuk
menikah dan mengharamkan berzina. Perintah menikah merupkan salah satu
implementasi maqashid syariah yaitu hifzhul nasl (menjaga keturunan). Islam
memandang bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang luhur, bermakna ibadah kepada
Allah Swt, mengikuti Sunnah Rasul dan dilaksanakan atas dasar keiklasan,
tangggung jawab dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang ada baik hukum
islam maupun peraturan yang ada di Indonesia. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Bab 1 pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk mewujudkan tujuan perkawinan,
maka terdapat rukun-rukun perkawinan yaitu mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali, dua saksi, dan ijab qobul. Rukun nikah adalah sesuatu yang
wajib ada dalam pernikahan. Dengan demikian bagi yang hendak melangsungkan
pernikahan, hendaknya memahami petunjuk agama dan Negara agar sampai pada
hakikat pernikahan.
B.
Wali Nikah
Pengertian
Wali
Kata wali berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-waily yang berarti mencintai, teman dekat, pengurus, pengasuh dan
orang yang mengurus perkara. Wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atsa nama orang lain.
Wali dalam perkawinan adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yakni mempelai
laki-laki dan pihak perempuan yakni oleh walinya. Orang yang berkah menikahkan
orang perempuan ialah wali yang bersangkutan, apabila wai yang bersangkutan
tidak sanggup bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya dapat digantikan
kepada orang lain. Atas dasar pengertian kata wali diatas, dapat dipahami
bahwasanya hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wai
bagi anaknya ialah ayah. (Muhammad, 2005: 134-135)
Syarat
Wali
Adapun
syarat-syarat untuk menjadi wali antara lain: (Rinwanto, Jurnal Hukum
Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1: 87)
1.
Islam
2.
Telah
dewasa dan berakal sehat
3.
Laki-laki
4.
Merdeka
5.
Adil,
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dalam dosa besar dan tidak sering dalam
dosa kecil, serta tetap memelihara muru’ah dan sopan santun.
6.
Tidak
sedang melakukan ihram haji dan umrah
Kedudukan
Wali Nikah
Wali menurut jumruh ulama seperti
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali mengatakan wali itu adalah ahli waris
dan diambil dari garis keturunan ayah bukan dari keturunan ibu. Jumruh ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain, tetapi harus dinikahkan oleh walinya.
Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah (tanpa wali), maka akad
nikahnya batal. Demikian yang dikatakan oleh mayoritas ahli fiqh. Namun para
ulama penganut madzhab Hanafi mengemukakan “seorang wanita boleh melakukan akad
pernikahan sendiri, sebagaimana ia boleh melakukan akad seperti jual beli,
ijarah (sewa-menyewa), rahn (gadai). (Syaikh, 2001: 48-49)
Mayoritas ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat berhak bertindak
melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan
pernikahan, baik dia masih perawan atau janda, baik punya ayah, kakek dan
anggota keluarga lainnya, maupun tidak, direstui ayahnya maupun tidak. Ia tetap
mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki. Para penganut mazhab Hanafiyah berargumen
dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 232.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
Apabila kamu menalak istri-istrimu,
lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya.
Dari ayat diatas, ulama Hanafiyyah
berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
menikahkan dirinya tanpa diperlukan bantuan walinya. Sedangkan menurut UU No. 1
Tahun 174, tidak dijelaskan mengatur wai nikah, akan tetapi disyaratkan harus ada
izin orang tua apabila caon pengantin belum berumumr 21 tahun. (Mariyana,
2013: 23)
Urutan
Wali Nikah
Wali yang berhak mengawinkan
perempuan adalah ‘ashabah yaitu keluarga laki-laki dari jalur ayah, bukan dari
jalur ibu. Ini adalah pendapat dari jumruh ulama selain Imam Hanafi yang
memasukan kerabat dari ibu dalam daftar wali.
Secara
keseluruhan, urutan wali nasab adalah sebagai berikut: (Mariyana, 2013:
23)
1)
Ayah
kandung
2)
Kakek
(dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki
3)
Saudara
laki-laki sekandung
4)
Saudara
laki-laki seayah
5)
Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
6)
Anak
laki -laki saudara laki-laki seayah
7)
Anak
laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8)
Anak
laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9)
Saudara
laki-laki seayah kandung (paman)
10) Saudara laki-laki ayah
seayah (paman seayah)
11) Anak laki -laki paman
sekandung
12) Anak laki-laki paman seayah
13) Saudara laki-laki kakek
sekandung
14) Anak laki-laki saudara
laki-laki kakek sekandung
15) Anak laki-laki saudara
laki-laki kakek seayah.
Macam-macam Wali
Pasal
20 ayat 2 KHI menyebutkan bahwa wai nikah terdiri dari dua yaitu:
a.
Wali
nasab adalah seorang wali nikah yang masih ada hubungan darah lurus ke atas dari
wanita yang ingin menikah. Perbedaan pendapat dikalangan ulama juga terdapat
dalam menetapkan wali nasab. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang
jelas dari Nabi, sedangkan al-Qur’an tidak menjelaskan sama sekali tentang
keberadaan wali tersebut. Jumhur Ulama, yang terdiri dari Shafi’iyyah dan Hanabilah
membagi wali menjadi dua:
1)
Wali
Qarib, adalah ayah dan kakek. Keduanya
memiliki hak mutlak untuk menikahkan anaknya tanpa persetujuan dari anaknya,
disebut wali mujbir.
2)
Wali
ab’ad, adalah wali dari dalam garis
kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Jumhur
ulama berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari
segi dia menjadi anaknya, bila anak itu berkedudukan menjadi wali hakim maka
diperbolehkan.
b.
Wali
hakim adalah orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau
penguasa. Wali hakim bertindak sebagai wai apabila wali nasab; memang
benar–benar tidak ada, berpergian jauh atau tidak ditempat dan tidak memberi
kuasa kepada wali nasab dekatnya yang ada ditempat akad, hilang hak perwaliannya,
dan sedang ihram haji/ umrah. (Mariyana, 2013: 23)
Wali
Nikah Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sama sekali tidak menyebutkan wali dalam persyaratan perkawinan. Artinya yang melangsungkan pernikahan bukanlah wali, akan tetapi mempelai perempuan. UU Perkawinan hanya menyebutkan orang tua, itupun dalam kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang demikian pun bila calon mempelai berumur dibawah 21 tahun. Hal ini mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun, maka peranan orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan secara lengkap tentang wali dalam perkawinan dengan mengikuti pendapatnya jumruh ulama, khusunya Madzab Syafi’I yang diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22, dan 23. (Rinwanto, Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1, Hal 88)
C. Saksi
Pengertian
Saksi
Saksi secara bahasa adalah redaksi
dari orang yang hadir, adapun menurut istilah adalah redaksi/kabar dari sesuatu
yang diketahuinya. Saksi dalam pernikahan adalah sesuatu (kabar) yang diketahui
oleh seorang wali atas sebuah pernikahan. Saksi nikah adalah orang yang
menyaksikan secara langsung akad pernikahan yang berfungsi memberitahukan
kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul
kesalahpahaman.
Kedudukan
Saksi Menurut Ulama
Akad pernikahan seharusnya disaksikan
oleh dua orang saksi demi terwujudnya kepastian hukum serta menghindari
kesalahpahaman dibelakang hari. Sebagaimana
dinyatakan dalam hadits:
لاَ
نِكَاحَ إِلاَ بِشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَوَلِيٍّ مُرشِدٍ وَمَا كَانَ عَلَى غَيْرِ
ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Tidak sah sebuah pernikahan itu kecuali dengan dua
orang saksi yang adil dan wali juga mursyid (jujur), pernikahan yang tidak
memenuhi hal itu maka batal.”
Akan
tetapi dalam literatur lain ditemukan perbedaan sebagai berikut:
1.
Ulama
Shafi’iyyah dan Hanabilah menempatkan saksi sebagai rukun dalam pernikahan
2.
Ulama
Hanafiyah menempatkan saksi sebagai syarat
3.
Ulama
Malikiyyah menurut riwayatnya Ahmad tidak memasukkan saksi dalam rukun dan
syarat, tetapi wajib menghadirkan dua saksi ketika berhubungan intim. Jika
tidak mendatangkan dua saksi maka pernikahannya rusak dengan bentuk talaq bain,
karena akad pernikahannya adalah akad yang sah. Karena jika tidak mewajibkan
menghadirkan saksi secara mutlaq akan membuka jalan perzinaan.
Syarat-syarat
Saksi
Kehadiran
saksi sebagai rukun nikah memerlukan persyaratan-persyaratan agar nilai
persaksiannya berguna bagi sahnya sebuah akad nikah. Berikut syarat-syarat
saksi dalam pernikahan yang harus dipenuhi:
1.
Dua
orang saksi
2.
Islam
3.
Berakal
4.
Baligh
5.
Laki-laki
6.
Adil
7.
Tidak
fasiq (buta, tuli dan bisu
Undang-undang
perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan,
namun UU perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam pembatalan perkawinan
dan dijadikan sebagai salah satu hak yang membolehkan pembatalan perkawinan,
sebagaimana yang terdapat pada Pasal 26 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat diminta pembatalannya
oleh keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa
dan suami atau istri.” Sedangkan menurut KHI saksi dalam perkawinan yang materi
keseluruhannya diambil dari kitab fiqh jumruh ulama terutama Imam Syafi’iyah.
Ketentuan saksi dalam perkawinan diatur KHI dalam Pasal 24, 25, dan 26. (Rinwanto,
Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 3, No. 1, Hal 92)
D.
Ijab Qobul
Pengertian
Ijab Qobul
Akad nikah terdiri dari dua kata,
yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya janji, perjanjian, kontrak.
Sedang nikah yaitu ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Atau secara sederhana bermakna perkawinan, perjodohan.
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab
qabul merupakan satu hal yang tidak boleh dipisahkan antara yang satu dari yang
lain, bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara
berdampingan dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain
yang tidak memiliki hubungan dengan proses ijab qabul. (Khusein, 30-31)
Pernyataan yang menunjukan kemauan
membentuk hubungan suami isteri dari pihak mempelai wanita disebut ijab.
Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai pria untuk menyatakan
ridha dan setuju disebut qabul. Kedua pernyataan antara ijab dan qabul nikah
inilah yang dinamakan akad dalam pernikahan.
Sedangkan defenisi akad nikah dalam
Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Bab I Pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad
nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan
oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Akad nikah
ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk
mengikatkan diri mereka dalam ikatan perkawinan. Dengan pernyataan ini berarti
kedua belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan perkawinan serta
bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan
aturan-aturan dalam berumah tangga. (Barzah ,Lutur Law Jurnal Vol. 10
No. 10: 2)
Syarat-syarat
Saksi
Akad
nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah dan
mempunyai akibat hukum pada suami isteri apabila telah terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: (Khusein, 31-31)
1.
Calon
pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa
orang yang melakukan akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa
dan berakal sehat.
2.
Ijab
qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan dalam satu majelis,
dalam konteks pengertian harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan
qabul.
3.
Hendaklah
ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan
ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
4.
Para
pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai
perempuan atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan
memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan masing-masing
pihak.
5.
Kata-kata
dalam Ijab Qabul, Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata
yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai
menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak
boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur.
6.
Ijab
Qabul Bukan dengan Bahasa Arab. Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh
dilakukan dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakad
baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat
bagaimana bila kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab
qabulnya dengan bahasa ini
7.
Ijab
qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana
halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena
isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah satu
pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah, sebab yang melakukan
ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja. Masing-masing
pihak yang berijab qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak
lainnya
8.
Ijab
Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir), Bilamana salah seorang dari pasangan
pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah
ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad
nikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia
menghadirkan para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan
wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa
akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih dalam
satu majlis.
No comments:
Post a Comment