Nama |
: Latifah Dwi Cahyani |
NIM |
: 192121027 |
Kelas |
: HKI 4A |
Dosen |
: Luthfiana Z, M.H |
Mata Kuliah |
: Hukum Adat |
Link video |
Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Batak Toba
Dalam masyarakat Batak Toba yang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris,
anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah atau
hibah namun dalam putusan mahkamah agung atas pembagian ahli waris anak
perempuan lah yang menerima lebih banyak. Pada dasarnya dalam adat Batak Toba
anak perempuan bukan/tidak penerima warisan kecuai sebagai pengganti atau
menggantikan berdasarkan keputusan dan persetujuan.
Wanita tidak bisa menjadi penerus keturunan sebab hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun dan anak laki-laki sudah ditakdirkan sebagai penerus keturunan. Sehingga sudah menjadi tradisi tidak boleh diubah termasuk hal pemberian warisan. Selain itu, anak perempuan tidak berhak menerima warisan karena dalam Batak Toba anak laki-laki yang membawa marga (klan). Dalam adat Batak Toba diketahui bahwa anak laki-laki dewasa atau tertua mendapatkan warisan tanah, sawah atau ladang, sedangkan anak bungsu laki-laki mendapat rumah peninggalan orang tua. Tetapi anak sulung dan tengah tidak boleh mendapat harta peninggalan rumah orang tuanya. Dan hal itu sudah sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba.
Kedudukan perempuan sebagai istri dalam hukum adat Batak Toba yakni sejak perkawinan terjadi seorang perempuan sudah menjadi istri dan masuk dalam keluarga suami serta sudah melepas keluarganya sendiri. Sehingga kedudukan perempuan dianggap bersifat sementara, namun kedudukan sosial perempuan sangatlah terhormat karena mendapatkan bagian dari keluarga sang suami atau mendapat hibah dari pihak laki-laki terutama bagi perempuan yang melahirkan anak laki-laki atau sebaik garis keturunan. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum waris adat Batak Toba
1)
Faktor pendidikan
Dahulu laki-lakilah yang berhak
mendapat warisan dari orang tuanya, namun seiring berkembangnya zaman dan
perubahan pola pikir atau pendidikan seseorang akan memilih jalan adil dalam
pembagian harta waris, sehingga kedudukan antara anak lakilaki dan perempuan
adalah sama. Dalam adat Batak, pendidikan adalah hal yang berharga seperti
dalam istilah orang tua akan rela dan berkorban dari kampung halamannya untuk
menyekolahkan anaknya sehingga dapat memenuhi pendidikan tinggi dan berguna
untuk dirinya dan lingkungannya.
2)
Faktor perantauan
Hal ini mempengaruhi adat
istiadat yang berasal dari daerah asalnya yang semula patrilineal akan
mengikuti pola hukum waris parental yang di daerah rantaunya.
3)
Faktor sosial ekonomi
Dalam hal perkawinan dengan adanya mahar, sehingga
kedudukan anak perempuan dianggap bersifat sementara, karena pemberian mahar
dianggap bentuk dan biaya membesarkan anak, namun dalam pihak suami kedudukan
perempuan sangatlah terhormat.
Masyarakat adat Batak Toba menganut sistem
patrilineal yakni garis keturunan yang mengikuti bapaknya, sehingga ada
marga-marga tertentu yang ditempati oleh anak-anak keturunan bapak yang diambil
dari keturunan bapaknya. Dalam sistem pembagian warisan juga menitikberatkan
pada kedudukan anak laki-laki dan anggota keluarga yang berasal dari pihak
laki-laki.
2.
Hukum waris adat Batak Toba
menurut Hukum Islam
Pelaksanaan hukum waris dalam masyarakat Batak
Toba tersebut sebagian besar masih memakai hukum waris adat mereka. Karena
masih menganut sistem adat yang masih kental.
Dalam pelaksanaan dan proses pembagian warisan yang diakukan di
masyarakat Batak Toba yang menjadikan kedudukan antara anak laki-laki dan anak
perempuan dibedakan yakni ahli waris hanya dijatuhkan pada anak laki-laki dan
anak perempuan tidak berhak/tidak mendapat warisan. Hal tersebutlah yang tidak
sesuai dengan syariat islam dan tidak adanya keadilan dalam pembagian warisan
itu sendiri, bahkan kedudukan perempuan dipandang rendah dalam masyarakat
Batak.
3.
Hukum waris adat Batak Toba
menurut KUHP
Dalam hukum waris nasional
keadilan pembagian warisan yakni dengan adanya pebagian sama rata antara anak
laki-laki dan perempuan, hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 852
KUHPerdata yang mengatakan bahwa “Anak-anak atau keturunan mereka, biar
dilahirkan dari lain-lainperkawinan sekaipun, mewaris dari kedua orang tua,
kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus
keatas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan tiada
perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.”
Dalam masyarakat suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal, dahulu hanya memberikan hak atas harta warisan kepada anak laki-laki. Kemudian dalam perkembangannya, anak perempuan bisa mendapatkan bagian warisan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 179/K/Sip/1961, yang berbunyi bahwa “Berdasarkan selain rasa kemanusiaan dan keadilan umum, juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup diseluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.” Tetapi terhadap harta pusaka yang berhak tetap anak laki-laki karena sebagai penerus marga bapaknya. Keputuan Mahkamah Agung tersebutlah yang menetapkan dan merubah ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak-anak dan janda.
No comments:
Post a Comment