MAKALAH FIQH IBADAH
THAHARAH
Dosen Pembimbing:
H. Andi Mardian, LC., M.A.
Disusun oleh:
Aisyah Khusnul Lathifah (192121004)
Lutfi Nur
Cahyaningsih (192121008)
Latifah Dwi Cahyani (192121027)
Mahmudah (192121029)
FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM KELUARGA
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
2020
KATA
PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah Fiqh Ibadah yang berjudul “Thaharah” tepat pada
waktunya. Yang mana makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Ibadah.
Dalam penyusunan ini kami menyadari sepenuh
hati, bahwa banyak kekurangan bahkan jauh dari kata kesempuraan, baik kata
maupun kalimat yang dituliskan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada Dosen Fiqh Ibadah Bapak H. Andi Mardian, LC., M.A. selaku dosen
pembimbing dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Haid adalah keluarnya darah dari rahim perempuan melalui vaginanya yang mana keluar pada saat keadaan sehat dan tidak melahirkan atau bahkan bukan karena kehilangan keperawanan. Selain itu, secara bahasa Al-Haid berarti mengalir. Dan jika dikatakan “Hadhat Asy-Syajarah”, berarti getahya mengalir. Sehingga Al-Haid menurut istilah syariat adalah darah yang keluar dari kemaluan depan wanita, bukan karena melahirkan ataupun sakit
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita saat melahirkan maupun setelah melahirkan. Yang mana dalam masa nifas memiliki larangan seperti haid. Dan yang terakhir adalah istihadhah, istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dan bukan keluar pada waktunya. Dengan demikian, haid, nifas, dan istihadhah merupakan salah satu yang membedakan antara seorang wanita dan perempuan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan haid?
2.
Apa
yang dimaksud dengan nifas?
3.
Apa
yang dimaksud dengan istihadhah?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa itu haid
2.
Untuk
mengetahui apa itu nifas
3.
Untuk
mengetahui apa itu istihadhah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Haid
Haid
adalah keluarnya darah dari rahim perempuan melalui vaginanya yang mana keluar
pada saat keadaan sehat dan tidak melahirkan atau bahkan bukan karena
kehilangan keperawanan. Selain itu, secara bahasa Al-Haid berarti mengalir. Dan
jika dikatakan “Hadhat Asy-Syajarah”, berarti getahya mengalir. Sehingga
Al-Haid menurut istilah syariat adalah darah yang keluar dari kemaluan depan
wanita, bukan karena melahirkan ataupun sakit.[1]
Dengan
demikian, dengan adanya datang bulan atau haid merupakan ciri dari seorang
wanita yang sudah usia baligh. Namun beberapa ulama berpendapat bahwa pada
umumnya seorang wanita tidak mengeluarkan darah haid sebelum berusia 9 tahun,
bedasarkan tahun hijriyah.[2]
Akan tetapi masalah seperti ini tergantung dengan tempat, masa, dan lingkungan
dimana seorang wanita mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Dan pada intinya
haid adalah siklus bulanan dimana seorang wanita akan megeluarkannya. Oleh karena
itu, haid mencakup beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1. Waktu Permulaan
Seperti
yang sudah dijelaskan, bahwa haid tidak terjadi dibawah usia 9 tahun dan jika
seorang wanita megeluarkan darah haid sebelum usia sembilan tahun, maka dari
itu bukan darah haid melainkan darah yang tidak sehat. Selain itu, haid yang
terjadi pada seorang wanita bisa jadi seumur hidup, bahkan juga tidak ada dalil
bahwa haid dapat berhenti pada usia tertentu. Karena jika seorang wanita yang
sudah tua namun masih mengeluarkan darah, maka itu masih termasuk darah haid.
Sehingga
para fuqaha membagi wanita haid dalam 5 bagian yaitu pertama, wanita yang teratur haidnya baik waktu maupun jumlah
harinya. Kedua, wanita yang teratur
waktunya tapi tidak teratur jumlah harinya. Ketiga,
wanita yang teratur jumlah harinya tetapi tidak teratur waktunya. Keempat, wanita yang tidak teratur
haidnya, baik waktu maupun jumlah. Kelima,
wanita yang melihat darah untuk pertama kalinya dan ia dikatakan sebagai
pemula.[3]
2. Warna Darah Haid
Darah
haid atau darah dapat disebut dengan haid, menurut beberapa ulama ada beberapa
warna, diantaranya:[4]
- Warna
hitam, yaitu warna darah haid yang sudah disepakati oleh ulama sesuai dengan
sabda Rasulullah “Darah haid itu berwarna hitam, berbau tidak sedap, dan terbakar.”
- Warna
Merah, yaitu darah haid yang merupakan warna asli darah.
- Keruh,
yaitu darah yang terjadi diakhir haid yang warna seperti campuran warna putih
dan hitam sehingga terlihat kotor.
- Warna
kuning, yaitu darah haid yang seperti nanah berwarna kekuingan.
Sehingga dengan memiliki berbagai
ciri-ciri warna darah haid dapat dibedakan dengan darah istihadah dan nifas. Oleh
karena itu, semua itu dapat diketahui dengan mengamati dan memperhatikan
kebiasaan. Namun terkadang ada beberapa wanita juga melakukan pengobatan medis,
yang mana dapat berpengaruh pada warna darah yang dikeluarkan. Darah haid,
selain diketahui melalui warna juga dapat dicirikan denga bau-nya yang tidak
sedap atau busuk.
Dan berhentinya darah tidak dapat
diketahui kecuali dengan melihat warna putih bersih. Yang mana cara untuk
mengetahui warna putih bersih, dengan cara menggunakan kapas atau kain putih
yang dimasukkan pada kemaluannya. Sehingga, jika kapas yang telah dimasukkan ke
dalam kemaluan tersebut berwarna putih bersih tanpa bekas warna apapun
menandakan haid sudah berhenti. Selain itu, beberapa pendapat tentang hukum
wanita yang melihat wanita kuning dan ketika sedang haid dan ketika sedang
suci, apakah ia termasuk darah haid atau bukan?
Mengenai
hal itu, Ulama mengatakan bahwa warna kuning dan keruh dianggap bagian saat
haid dan jika terlihat setelah bersih dari haid maka ia bukan darah haid. Dalam
riwayat lain dari Aisyah, bahwa para wanita
pernah bertanya dan mengirimkan sehelai kain yang di dalamnya terdapat
kapas yang merupakan bekas untuk membersihkan kemaluannya setelah haid,
Kemudian setelah dilihat ada bekas
cairan kuning dan keruh. Lalu Aisyah berkata; “Janganlah tergesa-gesa sampai
kalian melihat ada lendir putih.”[5]
Maskudnya adalah jangan tegesa-gesa untuk suci dari haid sampai melihat adanya
lendir putih, yang mana merupakan tanda berakhirnya haid. Selain keluarnya
lendir putih juga dapat ditandai dengan keadaan kering, yang mana dapat dilihat
juga menggunakan kapas yang dimasukkan ke dalam qubul.
3. Masa Haid
Masa
haid dimulai dengan keluarnya darah dari rahim perempuan dengan ciri-ciri yang
sudah disebutkan sebelumnya, baik bau maupun warnanya. Jika seseorang bisa
memastikannya maka ditetapkan sebagai darah haid, namun jika tidak bisa
memastikannya maka ditetapkan bukan sebagai darah haid. Dalam hal ini, haid
memiliki batasan-batasan waktu tertentu. Mayoritas ulama mengatakan bahwa haid
memiliki batas waktu, baik batas minimal maupun maksimal waktu haid. Berikut adalah
penjelasan ulama fiqih tentang batas minimal dan maksimal waktu haid, yang mana
terdapat tiga pendapat, yaitu:
- Tempo
minimal haid adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari, ini merupakan pendapat
ulama Hanafiyah dan Syiah Zaidiyah.
- Tempo
minimal haid adalah sehari semalam dan maksimal adalah lima belas hari, ini
merupakan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
- Tidak
ada batas minimal, satu kali keluar dianggap haid dan maksimal lima belas hari,
ini menurut ulama terdahulu dan menurut ulama terkini adalah lima belas hari.
Pendapat tersebut dar ulama Malikiyah dan Zhahiriyah.[6]
Namun dalam kenyataannya, hal tersebut
masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Karena adanya kontradisi antara
beberapa dalil yang menjadi sandaran setiap madzab. Oleh karena itu, seharusnya
diamati dan diperhatikan dari keadaanya wanita itu sendiri. Sehingga semua
dikembalikan kepada setiap adat kebiasaan setiap orang karena nash yang
bersifat umum bisa dibatasi dengan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada dua
alasan, yaitu:
- Pertama, Rasulullah telah
menjelaskan antara ciri-ciri darah haid dan tidak menjelaskan batas hari,
disesuaikan dengan kebiasaan wanita.
- Kedua, Allah
menerangkan bahwa darah haid adalah penyakit dan tidak menjelaskan batas waktu,
maka kapan saja ada maka ia adalah haid.[7]
4. Masa Suci Haid dan Haid Berikutnya
Maksud dari masa suci adalah waktu
bersihnya seorang wanita dari haid dan nifas. Suci ada dua tanda yaitu
keringnya darah dan keluanya lendir putih berupa cairan tipis yang akan muncul
di akhir masa haid. Mayoritas ulama sepakat jika tidak ada batas maksimal untuk
masa suci. Mereka juga sepakat jika seorang wanita melihat darah yang keluar
sesaat lalu kemudian berhenti tidak dianggap sebagai darah haid. Akan tetapi,
mengenai batas minimal suci beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat.
Menurut ulama, bahwa tempo minimal suci
yang memisahkan antara haid dan haid berikutnya adalah lima belas hari. Oleh
karena itu, jika maksimal haid adalah lima belas hari, semestinya tempo minimal
suci antara haid dengan haid berikutnya adalah lima belas hari juga. Selain
itu, ada ulama yang mengatakan minimal adalah tiga belas hari. Dengan demikian,
tidak ada dalil pasti yang bisa dijadikan rujukan untuk menentukan batasan
waktu haid.
5. Larangan Bagi Yang Haid
Dalam Islam, wanita yang sedang haid
dianggap tidak suci. Oleh karena itu, selama haid sedang berlangsung ada
berbagai hal yang dilarang dalam agama Islam, yaitu:
- Tidak
wajib mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnah. Hal ini didasarkan dalam
hadis Aisyah, ia berkata “Sesungguhnya aku telah selesai datang bulan dan belum
bersuci, apakah aku boleh meninggalkan sholat?” Rasulullah menjawab, “Tidak,
sesungguhnya itu adalah pembuluh darah. Akan tetapi tinggalkanlah shalat selama
masa-masa datang bulan, kemudian mandi dan shalatlah.” Selain itu mengqada shalat
yang ditinggalkan pada saat haid hukumnya tidak wajib.
- Tidak
boleh berpuasa, apabila ia tetap melakukanya maka ia akan berdosa dan puasanya
batal. Akan tetapi ia tetap berkewajiban mengulangi puasanya dilain waktu dan
diperintahkan untuk menjalankan puasanya pada masa-masa diluar haid.
- Bagi
suami tidak diperbolehkan menyetubuhi istri yang sedang haid. Apabila sang
suami memaksakan kehendaknya. Maka ia berdosa, bedasarakan firman Allah SWT,
“Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” Qs. Al-Baqarah:222.
- Tidak
diperbolehkan menyentuh mushaf. Menurut Imam Madzab bersepakat bahwa tidak
boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci. Adapun membaca Al-Quran bagi wanita
haid dengan tanpa menyentuh Al-Quran masih menjadi bahan perdebatan di kalangan
para ulama. Dan sebaiknya tidak perlu membaca Al-Quran terlebih dahulu kecuali
dalam keadaan terpaksa, seperti khawatir kehilangan atau lupa hafalan
Al-Qurannya.[8]
- Selain
ke empat larangan tersebut, seorang wanita yang sedang dalam keadaan haid juga
tidak diperbolehkan melaksanakan thawaf saat haji, baik thawaf fardhu maupun
sunnah. Dan dalam Islam haram hukumnya jika wanita haid masuk masjid, karena
masjid adalah tempat yang suci. Adapun jika hanya melaluinya boleh apabila
tidak takut mengotorinya, namun jika ragu-ragu akan mengotori masjid haram
baginya melaluinya.
B. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita saat melahirkan maupun setelah melahirkan. Menurut bahasa nifas berasal dari kata Nafisat Al-Mar’ah yang berarti melahirkan. Dan An-Nifas menurut kata istilah syariat adalah darah yang keluar karena seorang wanita melahirkan baik kelahiran normal ataupun keguguran. Sehingga mayoritas ulama ahli ilmu dari kalangan sahabat berpendapat mengenai masa nifas. Ada yang berpendapat maksimal adalah empat puluh hari. Sedangkan ulama Makkiyah dan Syafi’iyah berpendapat maksimal masa nifas adalah enam puluh hari. Perbedaan ini terjadi karena terdapat kesulitan untuk memastikan hal tersebut. Karena pengalaman wanita yang mengalami nifas berbeda-beda.[9]
Sedangkan untuk batasan minimal nifas-pun juga tidak ada, karena seorang wanita yang mengeluarkan nifas saat melahirkan maupun setelah melahirkan bisa keluar dalam waktu yang singkat. Selain itu, nifas tidak dapat ditetapkan kecuali seorang wanita melahirkan bayi yang sudah mempunyai atau terlihat jelas berbentuk manusia. Dan seandainya ia mengalami keguguran dan janin dalam kandungannya belum terlihat jelas berbentuk manusia maka darah yang dikeluarkan itu bukan darah nifas melainkan darah kotor, yang kemudian dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu, yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah,
Adapun hal-hal yang dilarang pada saat seorang wanita dalam keadaan nifas adalah sama seperti dengan haid, yaitu tidak boleh sholat, dilarang menyentuh atau membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan terpaksa, dilarang berpuasa, dan dilarang berhubungan seksual. Akan tetapi, jika seorang wanita setelah ia melahirkan dan darahnya berhenti atau setelah melahirkan tanpa mengeluarkan darah maka nifasnya dianggap telah selesai dan sudah berkewajiban untuk menjalankan kewajibannya kembali sebagai seorang muslim, seperti Sholat dan berpuasa.
C.
Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang terus menerus keluar dari vagina seorang wanita yang bukan pada waktunya, baik waktu nifas maupun haid. Selain itu, darah istihadhah juga dapat diartikan sebagai darah yang keluar melebihi atau bahkan kurang dari masa haid maupun nifas. Dan darah istihadhah tidak keluar pada wanita yang belum berusia sembilan tahun. Oleh karena itu, darah yang keluar merupakan darah yang rusak atau penyakit, yang mana darah istihadhah ini umumnya berwarna kuning, dingin, encer, dan keluarnya lemah. Dari ciri-ciri tersebut, terlihat jelas bahwa darah istihadhah berbeda dengan darah haid. Artinya jika seorang wanita mengalami isthadhah ia tetap memiliki kewajiban seperti sholat dan berpuasa. Dengan demikian wanita yang mengalami istihadhah dapat disebut sebagai wanita mustahadhoh, yang mana hukumnya seperti orang yang suci. Selain penjelasan diatas, wanita yang mengalami istihadhah terdapati beberapa pembagian, diantaranya:
- Mubtada’ah mumayyizah, artinya seorang wanita yang baru mengeluarkan darah dan dia bisa membedakan darah yang kuat dan darah lemah.
- Mubtada’ah ghoiru mumayyizah, artinya baru mengeluarkan darah dan tidak bisa membedakan darah kuat dan lemah. Namun diketahuinya darah hanya satu sifat.
- Mu’tadah ghoiru mumayyizah, artinya sudah pernah haid dan suci serta dia mengingat pada kira-kiranya waktu haid dan suci. Namun tahuya dia pada darah hanya satu sifat.
- Mu’tadah mumayyizah, artinya seoranng wanita yang sudah pernah haid dan suci serta bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah lemah.
- Mutahayyiroh, artinya sudah pernah haid dan suci, namun lupa pada kira-kira haid atau waktu haid.[10]
Selain itu, seorang wanita yang dalam keadaan istihadhah memiliki beberapa spesifikasi hukumnya sendiri, yaitu:
- Dia tidak diwajibkan mandi, karena dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja dia harus berwudhu setiap akan mengerjakan shalat.
- Hendaknya ia membasuh tempat-tempat atau bagian tubuh yang terkena darah dengan sungguh-sungguh dan mensucikannya dengan sebaik-baiknya.
- Ia tidak diperbolehkan berwudhu sebelum masuk shalat dan bahkan sebaiknya ia berwudhu sebelum mengerjakan sholat secara langsung.
- Sang suami boleh menyetubuhinya
- Mustahadhah diperbolehkan mengerjakan aktifitas yang dilakukan kaum muslimin pada umumnya. Seperti puasa, membaca dan menyentuh Al-Quran, thawaf di Ka’bah, dan berbagai ibadah lain, baik yang wajib maupun yang sunnah.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Darah yang keluar dari vagina wanita itu memiliki tiga macam, yaitu haid, nifas dan istihadhah. Haid yang terjadi pada seorang wanita umumnya keluar setelah usianya kira-kira sembilan tahun, sehingga dengan mengalami haid seorang wanita sudah masuk usia baligh. Yang mana haid keluar dari vagina wanita pada saat keadaan sehat dan biasanya terjadi sebulan sekali. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar pada saat maupun melahirkan. Hal ini terjadi karena kodrat seorang wanita salah satunya adalah mengandung dan melahirkan anak. Dan yang terkahir adalah istihadhah adalah darah yang keluar secara terus menerus dan dikatakan sebagai darah rusak. Sehingga darah istihadhah berbeda dengan darah haid dan nifas.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Jad, Syaikh. Fikih
Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2008
Mardian, Andi. Buku Daras Fiqih Ibadah. Surakarta: Fakultas Syariah IAIN
Surakarta. 2014
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqh Ja’fari. Jakarta: Lentera. 1996
Ibrahim Shahih, Suad. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah. 2011
http://www.almunawar.or.id/makalah-penting-seputar-kajian-tentang-haid-nifas-dan-istihadhah/,
[1] Syaikh
Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008). hal.68
[2] Syaikh Ahmad Jad, Fikih
Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008). hal.68
[3] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqh Ja’fari, (Jakarta: Lentera,1996), hal. 82-83
[4] Andi Mardian, Buku Daras
Fiqih Ibadah, (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014). Hal.22-23
[5] Suad Ibrahim Shahih,
Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.221-222
[6] Suad Ibrahim Shahih,
Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.207
[7] Suad Ibrahim Shahih,
Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.212
[8] Syaikh Ahmad Jad, Fikih
Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008). hal.73-75
[9] Suad Ibrahim Shahih,
Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.300-301
[10] Diakses dari, http://www.almunawar.or.id/makalah-penting-seputar-kajian-tentang-haid-nifas-dan-istihadhah/,
pada tanggal 14 Februari 2020, pukul 19.30
[11] Syaikh Ahmad Jad, Fikih
Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008). hal 75-76
No comments:
Post a Comment