Hukum Perdata Islam di Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, Kaitannya dengan Perubahan Usia Perkawinan


Hukum Perdata Islam di Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, Kaitannya dengan Perubahan Usia Perkawinan

Latifah Dwi Cahyani
Email: latifahdc861@gmail,com

            Perkembangan hukum perdata islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah islam itu sendiri. Mayarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tidak akan lepas dari praktik-praktik hukum islam, terkhusus dalam hukum perdata Islam. Perkembangan hukum perdata islam tersebut dapat dilihat dari berbagai praktik-praktik hukum, pembahasan, implementasi dan pemikiran hukum islam yang dilakukan di Indonesia seperti mengenai hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, poligami, anak yang lahir diluar nikah, dan berbagai persoalan-persoalan lain mengenai hukum perdata islam.

         Sistem hukum perdata islam di Indonesia yang bersumber dari ajaran syariat Islam dapat dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku dalam hukum nasional Indonesia. Posisi hukum islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai peranan penting, yakni sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia, dengan kemandirian dan kekuatan wibawanya, hukum islam diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional, norma-norma hukum islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, sebagai sumber utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Dari situlah hukum islam menjadi hukum yang hidup dalam mayarakat Indonesia dan sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik hukum nasional di Indonesia.

           Hukum nasional yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang bersumber dari filsafat Pancasila. Hukum nasional Indonesia yang bersumber Pancasila memuat nilai-nilai kebinekaan dan keagamaan, yang sesuai dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan nilai agama tersebut terjadi relasi antara agama dan negara. Bahwa agama di Indonesia mempunyai posisi yang amat penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Terutama agama islam yang menjadi mayoritas yang dianut oleh warga negara Indonesia.

         Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum islam yang berkembang dan berlaku di Indonesia, empat produk hukum islam tersebut adalah fiqh, fatwa, putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan. Seiring perkembangan zaman muncullah permasalahan hukum perdata islam, konflik hukum dan pro kontra terhadap peristiwa hukum tersebut. Di antara masalah-masalah tersebut adalah masalah dalam bidang hukum perkawinan. Dalam hukum perkawinan salah satu hal yang menarik dan timbul kritikan di masyarakat yakni persoalan batas minimal usia untuk melangsungkan pernikahan.

        Kedewasaan seseorang dahulu dilihat dari fisik saja, haid bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kondisi tersebut hanya menunjukkan sisi kematangan biologis dalam kematangan reproduksi saja. Tetapi kematangan sosial dan berperilaku juga penting. Karena dalam suatu perkawinan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual semata. Perkawinan juga mengandung tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan perkawinan yang sakinah, mawadah wa rahmah (mendatangkan keteantaraman diri, kebahagiaan dan saling cinta kasih).

Batas Usia Perkawinan Berdasarkan Hukum Positif Indonesia

         Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 7 ayat (1) yang mengatur batas umur minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu laki-laki 19 tahun dan pihak perempuan 16 tahun. Dan dalam Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 7 disebutkan “apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan seorang calon istri belum mencapai umur 16 tahun, harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan. Selain itu, dalam Pasal 6, “apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin tertulis dari kedua orang tua”. Jika belum mencapai umur 21 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan harus mendapat persetujuan orang tuanya, tanpa persetujuan orang tua atau wali maka perkawinan tidak akan dilangsungkan.

            Ada ketentuan lain terkait umur dalam Undang-undang Perkawinan yakni ditentukan bahwa usia kedewasaan seseorang adalah 18 tahun, sehingga sudah cakap berbuat hukum. Batas minimal usia perkawinan untuk pihak perempuan tersebut dianggap tidak efektif lagi dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan disebut diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia karena memperbolehkan perkawinan anak perempuan. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang beruumur di bawah 18 tahun, sehingga mereka yang berumur 16 tahun termasuk dalam kategori masih anak-anak.

          Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan caon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dilihat dari beberapa ketentuan hukum tersebut, bahwa penetapan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan harus dilakukan. Karena perkawinan tidak akan memberikan kemaslahatan jika dilakukan pada saat para calon pengantin belum matang, serta mengurangi perkawinan melalui perjodohan orang tuanya di usia dini.    

Batas Usia Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam

    Dalam hukum islam tidak ada ketentuan tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan.disebutkan dalam Al-Quran bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu, dalam QS. An-Nur ayat 32, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Kemudian, dalam QS. An-Nisa ayat 6, bahwa kebolehan seorang menikah adalah telah mencapai masa balig (remaja). Tanda-tanda baligh secara umum yakni sempurnanya umur 15 tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 tahun.

        Rasulullah Saw juga menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat memiliki kemampuan (ba’ah), yakni mampu melakukan jimak atau hubungan suami istri dan mampu menaggung beban atau biaya perkawinan. Sebaiknya, barang siapa yang tidak mampu jimak (tidak mampu menikah), maka baginya berpuasa.

            Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan umur bagi orang yang dianggap balig. Menurut Imam Syafii dan Hambali, bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun. Imam Hanafi menetapkan usia seseorang dianggap baligh, jika anak laki-laki berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan. Sedangkan Imam Maliki menyatakan anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan. Dengan demikian, para ulama bersepakat bahwa yang harus terpenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah sifat baligh dan aqil pada kedua mempelai.

Perubahan Batas Usia Perkawinan dalam Undang-Undang

        Dari banyaknya pro kontra dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat tentang batas usia perkawinan akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Kemunculan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan, yaitu bermula dari keluarnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya setiap orang yang masih dibawah 18 tahun termasuk kategori anak. Aturan batas usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik terhadap UU Perkawinan tentang batas minimal usia nikah bagi perempuan banyak dilakukan di beberapa kalangan aktivis perlindungan anak dan perempuan.

        Kemudian beberapa upaya telah dilakukan yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait masalah batas minimal usia perkawinan. Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dan menerbitkan putuskan No. 22/PUU-XV/2017 dan memerintahkan DPR RI dalam jangka waktu paling lama 3 tahun untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berkaitan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. yang menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Akhirnya DPR menyepakati perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menghasilkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berisi merubah ketentuan pasal 7 dengan menyamakan batas usia nikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun. Dengan adanya perubahan ketentuan batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, karena dinilai mampu menurunkan praktik perkawinan dini sebagai upaya perlindungan anak khususnya bagi perempuan.

Kesimpulan

            Perkembangan hukum perdata islam tersebut dapat dilihat dari berbagai praktik-praktik hukum, pembahasan, implementasi dan pemikiran hukum islam yang dilakukan di Indonesia seperti mengenai hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, poligami, anak yang lahir diluar nikah, dan berbagai persoalan-persoalan lain mengenai hukum perdata islam. Sistem hukum perdata islam di Indonesia yang bersumber dari ajaran syariat Islam dapat dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku dalam hukum nasional Indonesia. Dari situlah hukum islam menjadi hukum yang hidup dalam mayarakat Indonesia dan sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik hukum nasional di Indonesia.

            Dari banyaknya pro kontra dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat tentang batas usia perkawinan akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Kemunculan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. Dan dinilai bahwa aturan batas usia perkawinan bagi perempuan yaitu 16 tahun dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Akhirnya DPR menyepakati perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menghasilkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berisi merubah ketentuan pasal 7 dengan menyamakan batas usia nikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun. Dengan adanya perubahan ketentuan batas minimal usia nikah dalam UU Perkawinan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, karena dinilai mampu menurunkan praktik perkawinan dini sebagai upaya perlindungan anak khususnya bagi perempuan.


Referensi

Septiawan, Syukron. Perubahan Batas Usia Nikah Bagi Perempuan Dalam Undang-Undang          Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perspektif Maslahah, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Purwokerto, 2020.

Fajri, Muhammad, Interprestasi Perubahan Batas Minimal Usia Perkawinan Perspektif Maslahat, Jurnal Al-Qadau, Vol. 7 No. 1, 2020.

Saudi, Amran, Perkembangan Hukum Perdata Islam di Indonesia (Aspek Perkawinan dan           Kewarisan), Jurnal Yuridis, Vol. 2 No.1, 2015.

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...