ISLAM DAN INTERRELIGIUS STUDIES DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

 

ISLAM DAN INTERRELIGIUS STUDIES

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mitodologi Studi Islam

Dosen Pengampu: Dr. Mibtadin, M.S.I

 

Disusun Oleh:

Nama    : Latifah Dwi Cahyani

NIM     : 192121027

Kelas    : HKI 1 A

 

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2019

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Pertemuan antara berbagai agama dan peradaban di dunia menyebabkan adanya saling mengenal satu sama lain. Di masyarakat Indonesia dikenal pluralisme agama. Dalam masyarakat plural, hubungan antar agama bersifat dinamis. Walaupun secara konsep dalam ajaran agama masing-masing menganjurkan keharmonisan, kerukunan, kedamaian, saling menghormati, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, namun dalam realitas historis ternyata konsep-konsep agama tersebut belum dapat terlaksana. Oleh karena itu untuk mewujudkan konsep-konsep agama tersebut perlu instrumen yang tepat yaitu “dialog”. Dialog dijelaskan sebagai keterbukaan pandangan antara orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap satu sama lain. Dialog antar umat beragama merupakan  wujud keserasian dan keharmonisan, karena adanya pandangan dan pendekatan positif antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Dialog antar agama sebenarnya merupakan sebuah cara hidup yang manusiawi dalam konteks pluralisme keberagamaan. Karenanya tidak ada jalan lain yang memadai untuk memasuki konteks pluralism kecuali dengan jalan dialog, dalam arti bahwa ada kesediaan untuk mendengar dan ada kemauan untuk mengungkapkan diri dan itu dilakukan harus dengan seimbang.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian mengenai dialog antar umat beragama?

2.      Apa saja prinsip dan tujuan diadakan dialog antar umat beragama?

3.      Bagaimana membangun dialog antar agama?

4.      Bagaimana hubungan antara dialog dan kerukunan antar umat beragama?


C.     Tujuan

1.      Untuk menjelaskan apa pengertian mengenai dialog antar umat beragama

2.      Untuk menjelaskan prinsip dan tujuan diadakan dialog antar umat beragama

3.      Untuk mengetahui membangun dialog lintas iman

4.      Untuk memahami hubungan antara dialog dan kerukunan antar umat beragama

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Dalog Antar Umat Beragama

Dialog adalah percakapan mengenai persoalan bersama antara dua orang atau lebih dengan perbedaan pandangan, yang bertujuan agar setiap individu dapat belajar dari yang lain sehingga dapat berubah dan tumbuh.[1] Dialog/musyawarah merupakan salah satu cara untuk mencapai mufakat, kebaikan, dan kedamaian bagi umat manusia. Sedangkan, agama yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, bahwa manusia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai dengan iman. Menurut Dewey, agama adalah pecarian manusia terhadap cita-cita umum dn badi neskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya.[2]

Konsep dialog antar umat agama merupakan sebuah pemikiran dasar yang dipakai sebagai pedoman dalam bermusyawarah di masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan di kehidupan sehari-hari, baik dalam internal maupun eksternal agama. Mencakup permasalahan seluruh agama yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan serta menyatukan umat manusia dalam wadah agama yang berbeda. Serta tidak memaksakan kehendak agama yang satu dengan yang lain. Dasar hukum yang digunakan tentang kebebasan dalam memeluk agama tercantum dalam Q.S Al-Kafirun. Berbagai penjelasan pemikiran dialog antar agama yang dimaksud adalah pemikiran mendasar yang dijadikan landasan pencarian mufakat dengan tujuan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pemikiran dialog antar umat beragama memberikan berbagai pemikiran yang mendasar dalam tujuan menyatukan umat manusia, meski dalam wadah agama-agama yang berbeda. Mengutamakan sikap toleransi, keterbukaan, saling pengertian, mengembangkan rasa saling menghormati setiap manusia yang tidak dapat diganggu gugat, terkecuali dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah setempat.

Dialog antaragama pada dasarnya merupakan serangkaian usaha tersendiri untuk memecah kebekuan hubungan antarumat beragama yang sering melahirkan konflik dan permasalahan. Upaya memecah kebekuan dalam hubungan antarumat beragama dapat ditempuh dengan pencarian titik temu agama-agama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang abadi.[3] Pertemuan dialog zaman sekarang memang sudah bukan pertemuan yang pertama, sebab sejak awal agama-agama lain, seperti Yahudi, Kristen dan Islam sudah saing bertemu. Ketika semua agama tersebut muncul dan berhadapan, semuanya saing merangkul, bahkan berpolemik antara satu dan lainnya.

Melalui dialog antar umat beragama itulah, antar penganut agama bisa saling memahami dan menghormati ajaran dan keyakinan agama lain. Dialog ini diadakan dalam bentuk individu, kelompok dan institusional. Dilakukan antar tetangga, di sekolah dan tempat kerja, dalam bentuk formal maupun informal. Dan dialog antar umat beragama ini menjadi konsep yang bagus untuk menciptakan perdamaian.[4]

B.     Prinsip dan Tujuan Dialog Antar umat Beragama

Bahwa untuk mengadakan perdamaian harus disepakati dan diterima bersama. Tentu saja semua ini hanya bisa dicapai melalui suatu prosedur musyawarah (dialog) diantara mereka. Prinsip-prinsip dasar dapat berasal dari norma masing-masing agama, bias juga berasal atas dasar pengalaman pribadi dari manusia beragama, baik pengalaman langsung maupun pengalaman atas dasar memahami fenomena beragama. Sedangkan menurut Djaka Soetapa untuk mewujudkan prinsip dialog diperlukan syarat:

1.      Kesaksian yang tulus dan jujur, masing-masing pihak tidak dipaksa untuk merahasiakan apa yang diyakininya.

2.      Sikap saling menghormati, yang menggadaikan sikap sensitive terhadap kesulitan-kesulitan serta kekaguman atas prestasi-prestasi yang dicapai harus dihindarkan sikap membandingkan kekuatan.

3.      Kebebasan agama yang mengakui hak setiap agama minoritas, bahkan sampai setiap orang, dan menghindarkan sikap serta tindakan proselitisme.

Pelaksanaan dialog antar umat agama ada tujuan yang ingin dicapai, minimal ada dua hal penting yang didapatkan dari dialog. Pertama, terkikisnya kesalahpahaman yang bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama. Kedua, dialog diamksudkan guna mencari respon yang sama terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh agama. Menurut Mukti Ali petunjuk praktis yang berkenaan dengan rencana atau persiapan dialog antar umat beragama, agar tercapainya sasaran dan tujuan berdialog, antara lain:

1.      Memahami unsur-unsur yang sama dan berbeda dalam setiap agama, sejarah, dan perbedaan

2.      Menghormati integritas agama dan kebudayaan orang lain

3.      Memberikan kerjasama yang nyata untuk kehidupan antaragama yang harmonis

4.      Memperkuat komitmen bersama untuk berusaha menciptakan kehidupan yang berkeadilan sosial dan menggiatkan pembangunan negeri

5.      Berusaha bersama untuk memperkaya kehidupan spiritual dan agama[5]

Selain itu, tujuan berdialog adalah pemeluk semua agama meyakini Tuhan dan agama Tuhan itu adalah satu. Tujuan lain yang ingin dicapai yaitu menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain, mengarah kepada kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat, dan suatu kesempatan untuk melakukan kerjasama  antar agama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang ada di masyarakat.

Menurut Buhanuddin Daya mengemukakan bahwa dialog antar umat beragama diarahkan kepada penciptaan hidup rukun, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghormati, saling perhatian, dan membina integritas. Pembinaan kesadaran beragama bias dilakukan melalui pembinaan rutin dengan memunculkan tema-tema seperti kemanusiaan, keagamaan, dan unsur-unsur masyarakat lainnya.

C.     Membangun Dialog Antar Agama

Perbedaan agama, aliran kepercayaan, dan sekte agama merupakan sebuah esensitas yang tidak dapat dipisahkan dari negeri ini. Selain sebagai bangsa yang plural, juga keragaman menjadi pengikat bangsa yang berbeda-beda secara suku dan agama dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Namun yang perlu disadari bersama, keragaman ini bukan persoalan yang harus dibiarkan, tetapi perlu dijaga dan dirawat, sebab bila tidak ada kesadaran antar pemeluk agama dapat menimbulkan konflik. Tentu saja, dalam persoalan ini,agama akan memberi dampak negatif bagi pemeluknya, karena adanya pertikaian.

Dari kajian yang dilakukan oleh pemerintah, penyebab munculnya kerawanan hubungan antar umat beragama bersumber dari berbagai aspek, antara lain:

1)  Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau misi seperti Islam, Kristen dan Budha.

2)     Kurangnya pengetahuan para pemeluk atas agama yang dianutnya.

3) Hilangnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.

4)   Kecurigaan masing-masing pihak akan kejujuran pihak lain baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.

5)  Perbedaan yang mencolok dalam status sosial, ekonomi dan pendidikan antara berbagai golongan agama.

6)      Kurang adanya komunikasi antar pemimpin masing-masing umat beragama.

7)   Kecenderungan fanatisme berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan memandang rendah pihak lain.[6]

Demikian pula, dialog internal keagamaan penting dilakukan untuk memelihara kebersamaan (kerukunan). Adanya dialog tidak selamanya berkonotasi tidak adanya kerukunan, atau sekedar memelihara kerukunan, tetapi juga untuk memberikan kesadaran kepada umat beragama tentang cara dan sikap memahami agamanya dan bagaimana pula cara dan sikap dalam berhubungan dengan umat beragama yang berbeda, sehingga tampak peningkatan wawasan berpikir dan wawasan pengetahuan keagamaan serta meningkatkan kebersamaan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.[7]

Dalam mengatasi persoalan hubungan antar umat beragama maka dapat dikemukakan beberapa solusi sebagai mana telah disarankan Faisal Ismail (2002), yaitu: pertama menumbuhkan sikap pluralis, sikap humanis dan sikap insklusif yang disertai dengan dialogdialog antar umat beragama yang dilakukan secara terus menerus tidak saja di tingkat elit tetapi juga perlu dikembangkan di tingkat akar rumput.  Kedua pengembangan sikap setuju dalam perbedaan yang disertai nilai-nilai universal dari masing-masing kelompok yang memiliki kesamaan sebagai titik awal melakukan kerja sama antar umat beragama. Ketiga masing-masing kelompok umat agama hendaknya bisa menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan dalam segala manifestasi dan bentuknya, termasuk keragaman dalam kepenganutan agama dan kemajemukan etnis. Keempat masing-masing umat beragama hendaknya saling menghormati dan menghargai keyakinan dan kepercayaan agama yang berbeda dengan agama yang dipeluknya. Karena penghormatan dan penghargaan terhadap kepercayaan agama lain merupakan salah satu asas atau fondasi bagi terciptanya kerukunan dan toleransi antar umat beragama.[8] 

D.    Hubungan Dialog Dan Kerukunan Umat Beragama

Dialog dan kerukunan antarumat beragama merupakan dua proses komunikasi kerjasama antarumat beragama yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antaragama.[9]  Kerjasama antar keyakinan (iman) dimungkinkan melalui dialog antaragama sebagai disiplin yang ketat, jauh dari retorika kosong mengenai persaudaraan dan toleransi. Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah keyakinan pihak lain. Juga bukan untuk membuktikan bahwa agama seseorang salah. Setiap dialog harus didasarkan pada normanorma dan nilai-nilai bersama. Dialog antaragama merupakan upaya alternatif dalam rangka mencairkan kebekuan yang selama ini ada dan dirasakan dalam hubungan antarumat beragama. Aktivitas dialog antaragama akan berlangsung ketika para peserta dialog sekurangkurangnya memiliki tiga persyaratan, yakni terbuka, setara dan tulus. Dialog dalam konteks ini bisa dikatakan terbebas dari politik atau teologi dominatif, kecuali teologi yang memihak pada kemanusiaan.

Dialog antaragama akan berlangsung ketika setiap aktivitas dialog dikerjakan dengan sungguh-sungguh dalam ruang keterbukaan, tidak ada niat menyembunyikan apa-apa yang menjadi kelemahan dan kekuatan dari masing-masing agama. Dialog harus berjalan dengan terbuka, tidak saling menghujat, saling menuduh atau saling menyembunyikan agenda-agenda di belakangnya. Dialog antaragama harus pula berjalan dengan setara.[10]

Perlu ditekankan bahwa kerukunan antar umat beragama, kerukunan masyarakat atau bangsa sejak awal sudah digaris bawahi, karena ketika menyambut antar umat beragama sebenarnya mengandung pengakuan bahwa potensi disintegasi yang sulit dipertemukan. Dialog dan kerukunan yang dimaksud adalah dialog dan kerukunan yang dinamis,bukan statis. Karena harus melahirkan  kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, sehingga dialog dan kerukunan umat beragama bukanlah dalam bentuk teoretis, tetapi harus merupakan refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai suatu komunitas.

Perwujudan dialog dan kerukunan antar umat beragama direalisasikan dengan; pertama, bahwa tiap penganut agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan menghormati segala hak asasi penganitnya. Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat beragama menekankan sikap saling mengerti, menghormati,dan menghargai. Dengan demikian, dialog dan kerukunan ditumbuhkan oleh dasar kesadaran yangbebas dari segala macam bentuk tekanan.[11]


BAB III
KESIMPULAN

          Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, Dialog antaragama pada dasarnya merupakan serangkaian usaha tersendiri untuk memecah kebekuan hubungan antarumat beragama yang sering melahirkan konflik dan permasalahan. Upaya memecah kebekuan dalam hubungan antarumat beragama dapat ditempuh dengan pencarian titik temu agama-agama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang abadi. Dialog dan kerukunan antarumat beragama merupakan dua proses komunikasi kerjasama antarumat beragama yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antaragama. Dalam rangka kerukunan, setiap penganut agama sudah tentu harus memahami agamanya dan menyadari pula keragaman dan perbedaan dalam beragama.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Supadie Didik Ahmad dkk. 2011. Pengantar Studi Islam. Jakarta Rajawali Pers.

Bhaidawy Zakiyuddih. 2001. Dialog Global dan Masa Depan Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Perss

Rifa’I, Afif. 2017. Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1

Khotimah. 2011. Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2

 



[1]  Zakiyuddin Bhaidawy, Dialog Global & Masa Depan Agama, Surakarta: Muhammadiyah University Pers, 2001, hal.25

[2]  Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2011, hal. 36

[3]  Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017) hal. 75.

[4] Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011), hal.214-215

[5]  Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011), hal.220

[6]  Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017) hal. 68-69

[7]  Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011), hal.221

[8] Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017) hal. 68-70

[9]  Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011), hal.214

[10]  Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017) hal. 75-76

[11]  Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2011, hal. 56

 

JURNAL ISLAM DAN BUDAYA JAWA

 

ISLAM DI TANAH JAWA

Latifah Dwi Cahyani

Institut Agama Islam Negeri Surakarta

e-mail: latifahdc861@gmail.com

 

Abstract: Islam entered Indonesia through a very long process. The development of Islam cannot be separated from the traders, special Islamic traders who came from Gujarat and Persia. Traders from Gujarat and Persia came to regions in Indonesia to trade and trade in Islam. From the interaction of the traders with the local population, Islam could then develop. At first only a group of people later developed into villages, villages and an empire. By the 14th century AD, Malacca had grown to become the largest trade center in Southeast Asia. Traders from various countries including Islamic traders from Gujarat and Persia made Malacca a base to also discuss regions in Indonesia. Likewise, traders from various regions in Indonesia such as Javanese traders also made Malacca their place of trade. From the interaction of Islamic traders with Javanese people, Islam developed in Java. The process of entry of Islam in Indonesia in general by peaceful means. However, sometimes spreading Islam must be colored by means of conquest. This happens if there are problems and conditions, especially in the political sphere in kingdoms that are experiencing difficulties due to power struggles. Some paths of spreading Islam are, among others, trade, marriage, education, Sufism, art and politics.

Abstrak: Agama Islam masuk ke Indonesia melalui proses yang sangat panjang. Berkembangnya agama Islam tidak lepas dari para pedagang, khususnya pedagang Islam yang berasal dari Gujarat dan Persia. Para pedagang dari Gujarat dan Persia datang ke daerah-daerah di Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Dari interaksi para pedagang dengan penduduk setempat, agama Islam kemudian bisa berkembang. Mula-mula hanya sekelompok orang kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan, desa, dan sebuah kerajaan. Pada abad ke-14 M, Malaka telah tumbuh menjadi pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Para pedagang dari berbagai negara termasuk para pedagang Islam dari Gujarat dan Persia menjadikan Malaka sebagai basis untuk juga mengunjungi daerah-daerah di Indonesia. Demikian pula, para pedagang dari berbagai daerah di Indonesia seperti para pedagang Jawa juga menjadikan Malaka sebagai tempat mereka berdagang. Dari interaksi para pedagang Islam dengan orang-orang Jawa, Islam kemudian berkembang di Pulau Jawa. Proses masuknya Islam di Indonesia pada umumnya dengan jalan damai. Akan tetapi adakalanya penyebaran Islam harus diwarnai dengan cara-cara penaklukan. Hal ini terjadi jika situasi dan kondisi, khususnya di bidang politik di kerajaan-kerajaan sedang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Beberapa jalur penyebaran agama Islam antara lain, pedagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf, kesenian dan politik.

            Kata kunci: Islam di nusantara, Islam di Jawa, metode penyebaran

 

A.     Pendahuluan

Hadirnya Islam merupakan dampak positif dari ramainya transaksi dagang di Selat Malaka. Ada sekitar 240 juta Muslim yang tinggal di Asia Tenggara. Jumlah tersebut hampir seperempat dari total jumlah umat Islam di dunia.

Indonesia, bagian dari Asia Tenggara, merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, yaitu 12,9 % dari total Muslim di dunia.

Proses Islamisasi di Indonesia, pada masa kedatangan Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang diatas kita dapat menyimpulkan dan menemukan beberapa rumusan masalah yaitu menjelaskan bagaimana masuknya islam di nusantara, masuknya islam di tanah Jawa, pola islamisasi dan metode penyebaran Islam di Jawa.

 

B.     Masuknya Islam di Nusantara

Letak Indonesia yang strategis serta tanah yang subur dapat menghasilkan berbagai macam hasil bumi yang sangat menguntungkan, Indonesia sendiri juga dikenal bangsa yang ramah. Oleh karena itu, banyak Negara lain yang datang ke Indonesia unutk menjalin hubungan dagang.

Proses perkembangan agama Islam di Nusantara sejalan dengan perdagangan dan pelayaran. Agama Islam mula-mula masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Gujarat (India). Para pedagang ini singgah di Indonesia untuk sementara waktu dan menanti saat yang tepat untuk meneruskan pelayaran ke wilayah lain.sementara, pelayar waktu itu sangat dipengaruhi oleh arah mata angin, mereka telah memanfaatkan arah angin musim barat dan angin musim timur yang berganti arah setiap setengah tahun sekali. Oleh sebab itu para pedagang sambil menunggu arah angin yang sesuai dengan tujuan mereka. Mereka bergaul dengan masyarakat setempat, sehingga terjadilah pergaulan antara pedagang asing dengan pedagang setempat.

Kesempatan itu dgunakan oleh para pedagang Islam dari Gujarat., Arab, dan Persia untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Di pelabuhan para pedagang muslim menyebarkan agama Islam keadaan sesama para pedagang, baik para pedagang asing maupun pedagang pribumi. Selain itu ajaran agama Islam juga disebarkan kepada para raja, adipati, dan bangsawan sebagai penguasa pelabuhan.dengan banyaknya raja, adipati dan para bangsawan, daerah pesisir yang masuk Islam, maka rakyat di daerah tersebut juga banyak yang memeluk agama Islam.  Proses masuknya islam ke Nusantara pertama kali melalui lapisan bawah yaitu masyarakat sepanjang pesisir. Agama islam dibawa atau diperkenalkan oleh para pedagang-pedagang muslim baik dari Arab maupun dari Gujarat.[1]

Selain sebagai kewajiban seorang muslim, penyebaran agama Islam melalui perdagangan ketika itu merupakan jalan yang efektif dan efisien. Hal ini beralasan, karena pada masa itu pelayaran dan perdagangan internasional sangat berkembang. Tidak heran jika daerah yang terlebih dahulu memeluk agama Islam adalah daerah pesisir. Di tempat tesebut orang dari berbagai negara saling bertemu dan melakukan transaksi perdagangan. Pada saat itu, tidak jarang sentuhan agamis dari para pedagang muslim mempengaruhi rekan dagangnya yang kemudian menganut agama Islam. Selain itu, kaum mubaligh atau guru agama juga datang untuk mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Kedatangan para mubaliq ini mempercepat penyebaran agama Islam di Indonesia. Mereka mendirikan banyak pondok pesantren yang mencetak kader-kader ulama dan guru agama lokal.

Golongan lain yang juga disebut sebagai pembawa agama Islam adalah penganut tasawuf (kaum Sufi). Mereka diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Selain golongan pembawa, tentu terdapat pula golongan penerima Islam. Di Indonesia terdapat dua golongan penerima Islam, dua golongan beaar masyarakat penerima agama Islam adalah:

a)      Golongan Elite adalah para raja, bangsawan dan penguasa.

b)      Golongan Wong Cilik adalah golongan lapisan bawah.

Golongan elite di samping sebagai penguasa politik juga mempunyai peranan penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan perdagangan dan pelayaran. Di antara golongan elite tersebut terdapat pula para pemilik saham dan pemegang monopoli dagang atay pelayaran. Mereka biasanya berhubungan langsung dengan pedagang termasuk para pedagang dari Gujarat (India).[2]

Agama islam pertama kali masuk di Nusantara pada abad pertengahan Hijriyah atau sekitar abad ke-7 Masehi, yang didukung oleh beberapa bukti, antara lain sebagai berikut :

1.      Catatan Sejarah Kerajaan Cina

Pada zaman Dinasti Tang terdapat orang-orang Ta-shih untuk menyerang kerajaan Holing yang diperintahkan oleh Ratu Sima (674 M) namun rencana tersebut dibatalkan karena kuatnya pemerintahan Ratu Sima. Ta-shih dalam berita Cina itu ditafsirkan sebagai orang-orang Arab.

2.      Berita Chou Ku Fei

Di Indonesia terdapat dua tempat yang menjadi komunitas orang Ta-shih, yaitu Fo-lo-an dan Sumatera Selatan. Wilayah tersebut merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, yang sekarang lebih dikenal sebagai Kuaa Brag, Trengganu, Malaysia.

3.      Berita Jepang

Berdasarkan sumber berita Jepang, ketika pendeta Kanshin ke Indonesia, di Kanton terrdapat kapal-kapal Po-se dan Ta-shih-K-uo. Menurut para ahli, Po-se ditafsirkan sebagai bahasa Melayu, sedangkan Ta-shih ditafsirkan sebagai orang-orang Arab dan Persia.[3]

Agama islam masuk pada abad ke-13 Masehi berdasarkan munculnya Kerajaan Samudra Pasai yang bercorak Islam, yang diperkuat dengan bukti-bukti:

1.      Berita Ibnu Battutah

     Pendapat ini didukung oleh berita Ibnu Battutah serta batu nisan Sultan Malik as-Saleh ditemukan di Sumatra Utara dan berangka pada bulan Ramadhan 676 Hijriyah. Sultan Malik as-Saleh dikenal sebagai seorang pengjar Tasawuf yang kemudian menjadi raja di kerajaan Samudra Pasai.

2.      Catatan Perjalanan Marcopolo

     Marcopolo merupakaan pelaut asal Italia. Ia menulis bahwa raja Samudra Pasai menganut agama Islam dan menyebarkannya. Berdasarkan catatan sejarah Marcopolo sempat singgah di Kerajaan Islam Samudra Pasai dalam pelayarannya kembali ke Eropa dari China.

3.      Batu Nisan Fatimah Binti Maimun di lereng Gresik, Jawa Timur.[4]

Agama Islam berkembang di Indonesia tidak langsung diterima oleh rakyat pada umumnya tetapi melalui tahapan atau urutan sebagai berikut:

1.      Pedagang, pedagang-pedagang Indonesia langsung mendapat pengaruh dari pedagang Islam atau pedagang-pedagang Islam yang datang ke Indonesia.

2.      Bangsawan, para bangsawan (adipati atau raja-raja) yang berperan dalm perdagangan, selain golongan yang mampu membeli barang dagangan mewah, juga sebagai pemberi modal bagi pedagang-pedagang Indonesia.

3.      Para wali atau ulama, wali ini biasanya berperan menyebarkan Islam, mereka bertugas sebagai penasehat raja-raja yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan juga dengan pedagang-pedagang Islam,

4.      Rakyat (masyarakat), masyarakat mendapat pengaruh islam paling akhir. Rakyat biasanya menerima pengaruh dari para wali atau ulama melalui dakwah.[5]

Perkembangan Islam di Indonesia berpusat di Malaka. Selain itu, pusat perdagangannya pun berada di Malaka, disanalah pedagang Asia dan Indonesia bertemu. Setelah daganagna mereka habis mereka tidak langsung bisa pulang tetapi menunggu angin untuk berlayar. Selama menunggu angin pedagang Gujarat, Persia dan Arab yang beragama Islam mengenalkan agamanya kepada pedagang lain (termasuk Indonesia). Pedagang Gujarat, Persia dan Arab juga datang ke Indonesia untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam sehingga agama Islam berkembang di Indonesia. Agama Islam berkembang cepat di Indonesia, hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

1.      Syarat masuk Islam mudah yakni seseorang dianggap telah masuk Islam apabila telah mengucapkan dua kalimat syahadat.

2.      Ajarannya sederhana, mudah dimengerti dan diterima.

3.      Islam tidak mengenal kasta. Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal adanya perbedaan golongan dalam masyarakat setiap anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba Allah Swt.

4.      Upacara agamanya lebih sederhana

5.       Penyebaran agama di Islam di Indonesia diadakan secara damai tanpa adanya kekerasan dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya.

6.      Jatuhnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.[6]

Faktor-faktor di atas didukung pula dengan semangat para Penganut Agama Islam jam-jam terus-menerus menyebarkan agama Islam adalah sebuah kewajiban.

 

C.     Masuknya Islam di Tanah Jawa

Perlu kita ketahui jauh sebelum Islam masuk ke daerah tanah Jawa, mayoritas masyasarakat di tanah jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha yang berasal dari India. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak lama kemudian Islam mulai masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persia dan ada yang berpendapat bahwa Islam masuk dibawa oleh orang Arab, terutama pedagang dari Timur Tengah.

Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.

Dalam berita Ma-huan (1416) terdapat keterangan tentang adanya orang-orang muslim yang tinggal di kota Pelabuhan Gresik. Ini membuktikan bahwa komunitas masyarakat muslim mulai berkembang di Jawa Timur, terutama di kota-kota pelabuhan. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa kemunduran di awal abad ke-15 M, kota-kota pelabuhan seperti Tuban dan Gresik muncul sebagai pusat penyebaran agama Islam dari kedua kota ini pengaruh agama Islam menyebar hingga ke kota-kota pelabuhan di belahan Timur Indonesia misalnya Maluku.

Kota pelabuhan lainnya seperti Demak juga berkembang menjadi daerah perdagangan yang sangat ramai. Kota-kota pelabuhan di Jawa Barat seperti Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten sangat potensial sebagai daerah pemasaran hasil bumi. Bagi Demak, usaha menemukan menanamkan pengaruh Islam di pesisir utara Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari tujuan politik maupun ekonomi. Dalam pemerintahan pengaruh ini terlihat pada penggunaan gelar Sultan dan panatagama bagi raja. Raja juga berperan dalam mengatur dan melindungi agama.[7]

Terlepas dari pendapat di atas, bahwa menurut para pakar ada 4 teori yang mengupas tentang  masuknya Islam ke tanah Jawa :

1.      Teori Gujarat

Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:

a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Jawa.

b.      Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.

c.       Hubungan dagang antara Indonesia dengan India sudah lama terjalin melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa.

Selain itu ada tiga argumen dari teori ini. Pertama, alasan mazhab fiqh, Pijnapel berkata bahwa Gujarat dan Malabar adalah wilayah yang pertama kali menganut Mazhab Syafi'i sebelum kemudian dibawa dan berkembang di Asia Tenggara. Kedua, alasan politik. Penyebaran Islam ke Asia Selatan dan Tenggara berkaitan dengan runtuhnya kekuasaan Bagdad. Ketiga, alasan arkeologi,yaitu batu nisan. Bukti masuknya Islam ke Nusantara melalui India dibujtikan kesamaan-kesamaan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di India dan di Nusantara.

Teori-teori Gujarat ternyata juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, lemah bila disimpulkan bahwa awal kedatangan Islam adlah dari Gujarat karena berarti mengabaikan data-data tentang peranan orang-orang Arab dsn Cina pada abad sebelumnya yang sudah dijelaskan dalam teori Arab. Kedua, lemah secara historis. Menurut Marrison, seperti yang dijelaskan Azra, batu nisan Raja Samudera Pasai tahun 698 H yang dijadikan alasan Islam datang berasa dari Gujarat tidak berdasar karena pada saat Islamisasi berlangsung di Samudera Pasai, Gujarat masih Hindu.[8]

Teori Gujarat didukung oleh Snouck Hurgronje, W.F. Stutterheim, dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli sejarah pendukung teori ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaiti adanya Kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan Islam.[9]

2.      Teori Makkah

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Jawa pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

a.       Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina dari Hikayat Dinasti Tang, yaitu menceritakan tentang orang-orang Ta-Shih (sebutan untuk orang Arab) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Holing yang diperintah oleh Ratu Sima (674 M). Ta-shis juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M, Ta-shis hanya untuj menunjukkan orang-orang Arab dan Persia, bukan Muslim India.

b.      Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.

c.       Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Selain itu ada beberapa argumen dan bukti-bukti sejarah teori ini. Selat Malaka pada abad ke-7/8 sudah ramai dilintasi para pedagang Muslim dalam pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Jawa terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.[10]

3.      Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Jawa abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Jawa seperti:

a.       Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

b.      Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.

d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e.      Adanya perkampungan Leren di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husein dan P.A Huseib Jayadiningrat.

     Bukti-bukti teori Persia kebanyakan mengacu kepada pengaruh bahasa yang kemudian diteorikan bahwa Islam datang ke Nusantara berasal dari Persia. Salaj satu buktinya seperti disebutkan Azra adalah pengaruh kitab 'Aja'ib Al-Hind. Kitab ini adalah salah satu kitab Timur Tengah paling awal yang berbahasa Persia dan terdapat pengaruhnya di Nusantara.[11]

4.      Teori China

Para pedagang dan angkatan laut China, mengenalkan Islam di pantai dan pedalaman Jawa, dengan bukti antar lain :

a.       Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).

b.      Beberapa makam China muslim.

c.       Beberapa wali yang dimungkinkan keturunan China.

Teori ini menyatakan bahwa etnis Cina Muslim sanagt berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Seperti terlihat dalam teori Arab, interaksi Muslim Arab dengan Cina sudah terjadi sejak masa-masa paling awal. Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke Nusantara dan ke Cina berbarengan dalam satu jalur perdagangan pada abad ke-7. Namun teori Cina tidak berbicara tentang awal masuknya Islam, melainkan peranannya dalam pemberitahaan-pemberitaan tentang adanya komunitas Muslim pada masa-masa awal di Nusantara, dan peranannya dalam Islamisasi pada abad ke-15. Cina banyak menyumbangkan data informasi sejarah tentang adanya komunitas Islam. Berita tentang adanya orang-orang Arab dan Muslim pada abad ke-7 di Nusantara selain dari berita-berita Arab  juga didapatkan dari berita-berita Cina. Ini menunjukkan bahwa Islam di Cina, selain lebih awal juga lebih hidup.[12]

Perlu dijelaskan bahwa teori-teori yang dikemukakan di atas, pada dasarnya tidak membicarakan masuknya Islam ke setiap pulau di Nusantara. Teori-teori tersebut hanya menganalisis masuknya agama Islam di Pulau Jawa dan Sumatera. Kedua pulau tersebut dipandang memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di pulau-pulau lain di Indonesia. Teori apapun tentang Islamisasi di Nusantara senantiasa akan dituntut untuk menjelaskan kenapa proses tersebut berawal dari suatu masa tertentu.

Dari keempat teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahan. Maka, berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Jawa dengan jalan damai pada abad ke – 7 (teori Makkah/teori Arab) dan mengalami perkembangan pada abad ke - 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia, Gujarat (India), dan Cina.

 

 

D.    Metode Penyebaran Islam di Jawa

Proses masuknya Islam di Indonesia pada umumnya dengan jalan damai. Akan tetapi adakalanya penyebaran agama Islam harus diwarnai dengan cara-cara penaklukan. Hal itu terjadi jika situasi dan kondisi, khususnya di bidang politik di kerajaan-kerajaan sedang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Secara umum agama Islam masuk ke Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut:

1.      Pedagang

Pada taraf awal, perdagangan adalah jalan pertama yang dilakukan oleh para saudagar-saudagar muslim (Gujarat, Persia dan Arab). Pola islamisasi perdagangan ini sangat menguntungkan karena para Raja dan bangsawan juga ambil bagian dalam aktifitas perdagangan. Bahkan mereka juga memiliki kapal dan saham. Mereka juga berhasil mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan. Di samping berdagang mereka juga di jadikan sebagai guru spritual para pedagang. Di sebagian tempat bangsawan-bangsawan yang menjabat sebagai Bupati yang di tempatkan di pesisir banyak yang masuk islam. Konversi mereka ke Islam, Di samping karena faktor-faktor gesekan langsung, mungkin juga karena faktor politik yang sedang goyah, tetapi terutama karena factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.[13]

Pada masa itu pedagang muslim yang datang ke Indonesia semakin banyak sehingga akhirnya membentuk Pemukiman yang disebut Pekojan (perkampungan Arab). Dari tempat ini mereka  berinteraksi (berhubungan)  dan berasimilasi (berbaur) dengan masyarakat asli sambil menyebarkan agama Islam.[14]

2.      Perkawinan[15]

Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih daripada kebanyakan pribumi. Sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan akan memilki kebanggaan tersendiri jika di pinang dan di jadikan istri oleh para saudagar. Karena Islam mensyaratkan adanya kesamaan akidah, maka harus diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan  lingkungan mereka semakin luas  dan akhirnya memunculkan kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim.

Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan dan lebih mempercepat dalam penyebaran agama Islam, karena terjadinya perkawinan antara anak bangsawan, anak raja ataupun anak adipati. mereka adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat maka keislaman mereka akan diikuti oleh masyarakat atau pengikutnya sehingga turut mempercepat proses Islamisasi.

Beberapa contoh pernikahan yang dilakukan ulama antara lain sebagai berikut:

a)      Maulana Ishak menikah dengan putri Prabu Blambangan yang melahirkan anak Sunan Giri.

b)      Syarif Abdullah yang menikah dengan putri Prabu Siliwangi melahirkan Sunan Gunung Jati.[16]

Pada perkembangan selanjutnya tidak sedikit pula para putra bangsawan yang menikah dengan anak saudagar. Hubungan perkawinan itu amat besar peranannya dalam proses islamisasi di Jawa.[17]

3.      Pendidikan 

Penyebaran Islam melalui pendidikan merupakan jalur yang cukup efektif dalam membantu penyebaran Islam di Indonesia. Proses islamisasi lewat pendidikan terjadi di pesantren maupun pondok yang digunakan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kyai dan ulama. Seperti Sunan Ampel yang mendirikan pondok pesantren Ampel Denta, pesantren Glagah Wangi Demak yang didirikan oleh Raden Fatah. Pesantren adalah pendidikan (formal) yang pertama dan utama di Negeri ini. Di pesantren para santri di didik oleh Kyai, Ulama’ dan guru-guru ilmu agama. Sepulang dari pesantren para santri mengamalkan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya dan berdakwah ke tempat tertentu untuk menyebarkan agama Islam.[18]

4.      Tasawuf

      Penyebaran Islam yang tidak kalah pentingnya adalah melalui tasawuf. Tasawuf adalah ajaran atau cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tasawuf lebih memudahkan orang yang telah mempunyai daar ketuhanan lain untuk mengerti dan menerima ajaran Islam,sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Orang yang ahli di bidang ilmu tasawuf disebut sufi.[19]

        Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan ilmu tasawuf yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesiam. Mereka mahir dalam persoalan magis (yang berhubungan dengan hal-hal gaib) dan mempunyai kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru ini mudah dimengerti dan diterima. Ajaran tasawuf ini banyak dijumpai dalam cerita babad dan hikayat masyarakat setempat. Beberapa tokoh penyebar tasawuf yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin, Syekh Abdul Samad, dan Nurudin Ar-Raniri.[20]

5.      Kesenian

Pada waktu Islam masuk ke Indonesia, budaya Hindu telah melekat pada masyarakat Indonesia. Tetapi sebagian ulama atau wali yang menyebarkan agama Islam tidak merubah kesenian yang sudah ada tetapi menggunakan seni budaya Hindu tersebut sebagai alat menyebarkan agama Islam. Kesenian-kesenian yang digunakan untuk sarana penyebaran agama Islam, misalnya seni wayang, seni tari, seni arsitektur, seni ukir, seni sastra dan seni suara. Yang paling terkenal hingga saat ini dari islamisasi Jawa melalui jalur kesenian adalah kesenian wayang. Di bidang ini Sunan Kalijaga di kenal memiliki ketrampilan mementaskan wayang Denan amat memikat, hingga ia berhasil merubah ceria-cerita Ramayana dan Mahabarata dari India yang penuh ajaran Hindu-Budha ke dalam Islam. Sunan Kalijaga ketika mementaskan wayang tidak pernah memungut biaya (upah). Ia hanya meminta para penonton mengucapkan “Syahadat” sebelum menonton wayangnya. Kesenian lain yang berhasil di muati ajaran islam adalah karya sastra seperti hikayat dan babad.[21]

6.      Politik

Di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik kekuasaan raja sangat membantu tersebarnya agama Islam di daerah ini. Hubungan antar kerajaan yang menjadi kemestian sejarah menjadi titik awal mereka membuka diri dengan apa yang terjadi di luar. Ajaran Islam yang sederhana dan telah banyak mendapat respon akhirnya turut juga mengundang mereka masuk ke dalamnya. Di samping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politk, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam.[22]

 

E.     Kesimpulan

                Proses masuknya agama islam di Indonesia pertama kali yakni masyarakat sepanjang pesisir yang membawa dan memperkenalkan agama islam kepada masyarakat Indonesia. Berkembangnya agama islam juga tidak lepas dari para pedagang muslim yang berasal dari Arab maupun dari Gujarat dan Persia. Islam masuk di Jawa melalui pesisir utara Pulau Jawa yang ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di Leran dan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Islam masuk di Jawa juga di jelaskan dalam teori Gujarat, Makkah, Persia dan China. Proses islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tetapi terus berlangsung intensif dengan berbagai cara dan saluran. Hal itu terjadi jika situasi dan kondisi, khususnya di bidang politik di kerajaan-kerajaan sedang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Secara umum beberpa cara penyebaran agama Islam di lakukan melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, tasawuf dan politik.


DAFTAR PUSTAKA

Sulandri, Anang. Sejarah Kebudayaan Islam. Sragen: CV.Akik Pusaka. 2015

Khalid, Ahmad. Islam Jawa. Malang: UIN Malang Press. 2008

Sarjono, Eko. Pengetahuan Sosial Sejarah. Karanganyar: Media. 2014

Hasbullah, Moeflich. Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara. Depok: Kencana. 2017

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Press. 2007

 



                [1] Eko Sarjono, Pengetahuan Sosial Sejarah, (Karanganyar: Media, 2014), hlm. 24.

                [2] Anang Sulandri, Sejarah Kebudayan Islam, (Sragen: CV.Akik Pusaka, 2015), hlm. 4-5

                [3] Ibid, hlm. 2-3

                [4] Ibid, hlm. 3

                [5] Sarjono, Pengetahuan Sosial……, hlm. 25.

                [6] Ibid, hlm. 10

                [7] Ibid, hlm. 11

                [8] Moeflich Hasbullah, Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara, (Depok: Kencana, 2017), hlm. 9-10

                 [9] Ibid, hlm. 3

                [10] Ibid, hlm. 4

                [11] Hasbullah, Islam dan Teansformasi……, hlm. 8

                [12] Hasbullah, Islam dan Teansformasi……, hlm. 6-7

                [13] Ahmad Khalid, Islam Jawa, (Malang: UIN Malang press, 2008), 75-77

                [14] Ibid, hlm. 8

                 [16] Ibid. hlm. 8

                [17] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 202

                [18] Yatim, Sejarah Peradaban……, hlm.203

                [19] Ibid, hlm. 9

                [20] Yatim, Sejarah Peradaban……, hlm.202

                [21] Ibid, hlm. 9

                [22] Yatim, Sejarah Peradaban……, hlm.203

 

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...