ISLAM
DAN INTERRELIGIUS STUDIES
DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Mitodologi Studi Islam
Dosen
Pengampu: Dr. Mibtadin, M.S.I
Disusun
Oleh:
Nama : Latifah Dwi Cahyani
NIM : 192121027
Kelas : HKI 1 A
HUKUM
KELUARGA ISLAM
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pertemuan antara berbagai agama dan peradaban di
dunia menyebabkan adanya saling mengenal satu sama lain. Di masyarakat
Indonesia dikenal pluralisme agama. Dalam masyarakat plural, hubungan antar
agama bersifat dinamis. Walaupun secara konsep dalam ajaran agama masing-masing
menganjurkan keharmonisan, kerukunan, kedamaian, saling menghormati, menjunjung
tinggi prinsip kebersamaan, namun dalam realitas historis ternyata
konsep-konsep agama tersebut belum dapat terlaksana. Oleh karena itu untuk
mewujudkan konsep-konsep agama tersebut perlu instrumen yang tepat yaitu
“dialog”. Dialog dijelaskan sebagai keterbukaan pandangan antara orang-orang
yang memiliki kepedulian terhadap satu sama lain. Dialog antar umat beragama
merupakan wujud keserasian dan
keharmonisan, karena adanya pandangan dan pendekatan positif antara satu pihak
dengan pihak yang lain.
Dialog antar agama sebenarnya merupakan sebuah cara
hidup yang manusiawi dalam konteks pluralisme keberagamaan. Karenanya tidak ada
jalan lain yang memadai untuk memasuki konteks pluralism kecuali dengan jalan
dialog, dalam arti bahwa ada kesediaan untuk mendengar dan ada kemauan untuk
mengungkapkan diri dan itu dilakukan harus dengan seimbang.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian mengenai dialog antar umat beragama?
2. Apa
saja prinsip dan tujuan diadakan dialog antar umat beragama?
3. Bagaimana
membangun dialog antar agama?
4. Bagaimana hubungan antara dialog dan kerukunan antar umat beragama?
C.
Tujuan
1. Untuk
menjelaskan apa pengertian mengenai dialog antar umat beragama
2. Untuk
menjelaskan prinsip dan tujuan diadakan dialog antar umat beragama
3. Untuk
mengetahui membangun dialog lintas iman
4. Untuk
memahami hubungan antara dialog dan kerukunan antar umat beragama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dalog Antar Umat Beragama
Dialog adalah percakapan mengenai persoalan bersama
antara dua orang atau lebih dengan perbedaan pandangan, yang bertujuan agar
setiap individu dapat belajar dari yang lain sehingga dapat berubah dan tumbuh.[1] Dialog/musyawarah
merupakan salah satu cara untuk mencapai mufakat, kebaikan, dan kedamaian bagi
umat manusia. Sedangkan, agama yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan,
bahwa manusia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik sesuai
dengan iman. Menurut Dewey, agama adalah pecarian manusia terhadap cita-cita umum
dn badi neskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya.[2]
Konsep dialog antar umat agama merupakan sebuah
pemikiran dasar yang dipakai sebagai pedoman dalam bermusyawarah di masyarakat
untuk menyelesaikan permasalahan di kehidupan sehari-hari, baik dalam internal
maupun eksternal agama. Mencakup permasalahan seluruh agama yang bertujuan
untuk menciptakan kerukunan serta menyatukan umat manusia dalam wadah agama
yang berbeda. Serta tidak memaksakan kehendak agama yang satu dengan yang lain.
Dasar hukum yang digunakan tentang kebebasan dalam memeluk agama tercantum
dalam Q.S Al-Kafirun. Berbagai penjelasan pemikiran dialog antar agama yang dimaksud
adalah pemikiran mendasar yang dijadikan landasan pencarian mufakat dengan
tujuan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan beragama.
Pemikiran dialog antar umat beragama memberikan berbagai pemikiran yang
mendasar dalam tujuan menyatukan umat manusia, meski dalam wadah agama-agama
yang berbeda. Mengutamakan sikap toleransi, keterbukaan, saling pengertian,
mengembangkan rasa saling menghormati setiap manusia yang tidak dapat diganggu
gugat, terkecuali dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah setempat.
Dialog antaragama pada dasarnya merupakan
serangkaian usaha tersendiri untuk memecah kebekuan hubungan antarumat beragama
yang sering melahirkan konflik dan permasalahan. Upaya memecah kebekuan dalam
hubungan antarumat beragama dapat ditempuh dengan pencarian titik temu
agama-agama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif
berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang abadi.[3] Pertemuan
dialog zaman sekarang memang sudah bukan pertemuan yang pertama, sebab sejak
awal agama-agama lain, seperti Yahudi, Kristen dan Islam sudah saing bertemu.
Ketika semua agama tersebut muncul dan berhadapan, semuanya saing merangkul,
bahkan berpolemik antara satu dan lainnya.
Melalui dialog antar umat beragama itulah, antar penganut agama bisa saling memahami dan menghormati ajaran dan keyakinan agama lain. Dialog ini diadakan dalam bentuk individu, kelompok dan institusional. Dilakukan antar tetangga, di sekolah dan tempat kerja, dalam bentuk formal maupun informal. Dan dialog antar umat beragama ini menjadi konsep yang bagus untuk menciptakan perdamaian.[4]
B. Prinsip dan Tujuan Dialog Antar umat Beragama
Bahwa untuk mengadakan perdamaian harus disepakati
dan diterima bersama. Tentu saja semua ini hanya bisa dicapai melalui suatu
prosedur musyawarah (dialog) diantara mereka. Prinsip-prinsip dasar dapat berasal
dari norma masing-masing agama, bias juga berasal atas dasar pengalaman pribadi
dari manusia beragama, baik pengalaman langsung maupun pengalaman atas dasar
memahami fenomena beragama. Sedangkan menurut Djaka Soetapa untuk mewujudkan prinsip
dialog diperlukan syarat:
1. Kesaksian
yang tulus dan jujur, masing-masing pihak tidak dipaksa untuk merahasiakan apa
yang diyakininya.
2. Sikap
saling menghormati, yang menggadaikan sikap sensitive terhadap
kesulitan-kesulitan serta kekaguman atas prestasi-prestasi yang dicapai harus
dihindarkan sikap membandingkan kekuatan.
3.
Kebebasan agama
yang mengakui hak setiap agama minoritas, bahkan sampai setiap orang, dan
menghindarkan sikap serta tindakan proselitisme.
Pelaksanaan dialog antar umat agama ada tujuan yang
ingin dicapai, minimal ada dua hal penting yang didapatkan dari dialog.
Pertama, terkikisnya kesalahpahaman yang bersumber dari adanya perbedaan bahasa
dari masing-masing agama. Kedua, dialog diamksudkan guna mencari respon yang
sama terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh agama. Menurut Mukti Ali petunjuk
praktis yang berkenaan dengan rencana atau persiapan dialog antar umat
beragama, agar tercapainya sasaran dan tujuan berdialog, antara lain:
1. Memahami
unsur-unsur yang sama dan berbeda dalam setiap agama, sejarah, dan perbedaan
2. Menghormati
integritas agama dan kebudayaan orang lain
3. Memberikan
kerjasama yang nyata untuk kehidupan antaragama yang harmonis
4. Memperkuat
komitmen bersama untuk berusaha menciptakan kehidupan yang berkeadilan sosial
dan menggiatkan pembangunan negeri
5. Berusaha
bersama untuk memperkaya kehidupan spiritual dan agama[5]
Selain
itu, tujuan berdialog adalah pemeluk semua agama meyakini Tuhan dan agama Tuhan
itu adalah satu. Tujuan lain yang ingin dicapai yaitu menghidupkan suatu kesadaran
baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain, mengarah kepada kerjasama
untuk memecahkan persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat, dan suatu
kesempatan untuk melakukan kerjasama
antar agama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang ada di masyarakat.
Menurut Buhanuddin Daya mengemukakan bahwa dialog antar umat beragama diarahkan kepada penciptaan hidup rukun, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghormati, saling perhatian, dan membina integritas. Pembinaan kesadaran beragama bias dilakukan melalui pembinaan rutin dengan memunculkan tema-tema seperti kemanusiaan, keagamaan, dan unsur-unsur masyarakat lainnya.
C. Membangun
Dialog Antar Agama
Perbedaan
agama, aliran kepercayaan, dan sekte agama merupakan sebuah esensitas yang
tidak dapat dipisahkan dari negeri ini. Selain sebagai bangsa yang plural, juga
keragaman menjadi pengikat bangsa yang berbeda-beda secara suku dan agama dalam
bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Namun yang perlu disadari bersama, keragaman ini bukan
persoalan yang harus dibiarkan, tetapi perlu dijaga dan dirawat, sebab bila
tidak ada kesadaran antar pemeluk agama dapat menimbulkan konflik. Tentu saja,
dalam persoalan ini,agama akan memberi dampak negatif bagi pemeluknya, karena adanya
pertikaian.
Dari
kajian yang dilakukan oleh pemerintah, penyebab munculnya kerawanan hubungan
antar umat beragama bersumber dari berbagai aspek, antara lain:
1) Sifat
dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau misi seperti Islam,
Kristen dan Budha.
2) Kurangnya
pengetahuan para pemeluk atas agama yang dianutnya.
3) Hilangnya
batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan
masyarakat.
4) Kecurigaan
masing-masing pihak akan kejujuran pihak lain baik intern umat beragama, antar
umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.
5) Perbedaan
yang mencolok dalam status sosial, ekonomi dan pendidikan antara berbagai
golongan agama.
6) Kurang
adanya komunikasi antar pemimpin masing-masing umat beragama.
7) Kecenderungan
fanatisme berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan
memandang rendah pihak lain.[6]
Demikian
pula, dialog internal keagamaan penting dilakukan untuk memelihara kebersamaan
(kerukunan). Adanya dialog tidak selamanya berkonotasi tidak adanya kerukunan,
atau sekedar memelihara kerukunan, tetapi juga untuk memberikan kesadaran
kepada umat beragama tentang cara dan sikap memahami agamanya dan bagaimana
pula cara dan sikap dalam berhubungan dengan umat beragama yang berbeda,
sehingga tampak peningkatan wawasan berpikir dan wawasan pengetahuan keagamaan
serta meningkatkan kebersamaan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.[7]
Dalam mengatasi persoalan hubungan antar umat beragama maka dapat dikemukakan beberapa solusi sebagai mana telah disarankan Faisal Ismail (2002), yaitu: pertama menumbuhkan sikap pluralis, sikap humanis dan sikap insklusif yang disertai dengan dialogdialog antar umat beragama yang dilakukan secara terus menerus tidak saja di tingkat elit tetapi juga perlu dikembangkan di tingkat akar rumput. Kedua pengembangan sikap setuju dalam perbedaan yang disertai nilai-nilai universal dari masing-masing kelompok yang memiliki kesamaan sebagai titik awal melakukan kerja sama antar umat beragama. Ketiga masing-masing kelompok umat agama hendaknya bisa menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan dalam segala manifestasi dan bentuknya, termasuk keragaman dalam kepenganutan agama dan kemajemukan etnis. Keempat masing-masing umat beragama hendaknya saling menghormati dan menghargai keyakinan dan kepercayaan agama yang berbeda dengan agama yang dipeluknya. Karena penghormatan dan penghargaan terhadap kepercayaan agama lain merupakan salah satu asas atau fondasi bagi terciptanya kerukunan dan toleransi antar umat beragama.[8]
D. Hubungan
Dialog Dan Kerukunan Umat Beragama
Dialog
dan kerukunan antarumat beragama merupakan dua proses komunikasi kerjasama
antarumat beragama yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari
kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antaragama.[9] Kerjasama antar keyakinan (iman) dimungkinkan
melalui dialog antaragama sebagai disiplin yang ketat, jauh dari retorika
kosong mengenai persaudaraan dan toleransi. Tujuan dialog bukanlah untuk
mengubah keyakinan pihak lain. Juga bukan untuk membuktikan bahwa agama
seseorang salah. Setiap dialog harus didasarkan pada normanorma dan nilai-nilai
bersama. Dialog antaragama merupakan upaya alternatif dalam rangka mencairkan
kebekuan yang selama ini ada dan dirasakan dalam hubungan antarumat beragama.
Aktivitas dialog antaragama akan berlangsung ketika para peserta dialog
sekurangkurangnya memiliki tiga persyaratan, yakni terbuka, setara dan tulus.
Dialog dalam konteks ini bisa dikatakan terbebas dari politik atau teologi
dominatif, kecuali teologi yang memihak pada kemanusiaan.
Dialog
antaragama akan berlangsung ketika setiap aktivitas dialog dikerjakan dengan
sungguh-sungguh dalam ruang keterbukaan, tidak ada niat menyembunyikan apa-apa
yang menjadi kelemahan dan kekuatan dari masing-masing agama. Dialog harus
berjalan dengan terbuka, tidak saling menghujat, saling menuduh atau saling
menyembunyikan agenda-agenda di belakangnya. Dialog antaragama harus pula
berjalan dengan setara.[10]
Perlu
ditekankan bahwa kerukunan antar umat beragama, kerukunan masyarakat atau
bangsa sejak awal sudah digaris bawahi, karena ketika menyambut antar umat
beragama sebenarnya mengandung pengakuan bahwa potensi disintegasi yang sulit
dipertemukan. Dialog dan kerukunan yang dimaksud adalah dialog dan kerukunan
yang dinamis,bukan statis. Karena harus melahirkan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama,
sehingga dialog dan kerukunan umat beragama bukanlah dalam bentuk teoretis,
tetapi harus merupakan refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai suatu
komunitas.
Perwujudan
dialog dan kerukunan antar umat beragama direalisasikan dengan; pertama, bahwa
tiap penganut agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan menghormati segala
hak asasi penganitnya. Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat
beragama menekankan sikap saling mengerti, menghormati,dan menghargai. Dengan
demikian, dialog dan kerukunan ditumbuhkan oleh dasar kesadaran yangbebas dari
segala macam bentuk tekanan.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa, Dialog antaragama pada dasarnya merupakan serangkaian
usaha tersendiri untuk memecah kebekuan hubungan antarumat beragama yang sering
melahirkan konflik dan permasalahan. Upaya memecah kebekuan dalam hubungan
antarumat beragama dapat ditempuh dengan pencarian titik temu agama-agama. Pencarian
titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan
merupakan tugas kemanusiaan yang abadi. Dialog dan kerukunan antarumat beragama
merupakan dua proses komunikasi kerjasama antarumat beragama yang tidak dapat
dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah
perlu dilakukannya dialog antaragama. Dalam rangka kerukunan, setiap penganut
agama sudah tentu harus memahami agamanya dan menyadari pula keragaman dan
perbedaan dalam beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Supadie Didik Ahmad
dkk. 2011. Pengantar Studi Islam.
Jakarta Rajawali Pers.
Bhaidawy Zakiyuddih.
2001. Dialog Global dan Masa Depan Agama.
Surakarta: Muhammadiyah University Perss
Rifa’I, Afif. 2017. Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat
Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1
Khotimah.
2011. Dialog dan Kerukunan Antar Umat
Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2
[1]
Zakiyuddin Bhaidawy, Dialog Global & Masa Depan Agama, Surakarta:
Muhammadiyah University Pers, 2001, hal.25
[2]
Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers,
2011, hal. 36
[3] Afif
Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog
Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017)
hal. 75.
[4] Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama,
Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011), hal.214-215
[5] Khotimah, M.Ag, Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol.
XVII No. 2 (2011), hal.220
[6]
Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran
dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1
No. 1 (2017) hal. 68-69
[7]
Khotimah, M.Ag, Dialog dan
Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011),
hal.221
[8] Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal
Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1 No. 1 (2017) hal. 68-70
[9]
Khotimah, M.Ag, Dialog dan
Kerukunan Antar Umat Beragama, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2 (2011),
hal.214
[10]
Afif Rifa’I, Dealektika Pemikiran
dalam Dialog Antar Umat Beragama, Jurnal Pemberdayaaan Masyarakat, Vol. 1
No. 1 (2017) hal. 75-76
[11]
Didiek Ahmad Supadie, Pengantar
Studi Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2011, hal. 56