Nama : Latifah
Dwi Cahyani
NIM :
192121027
Kelas : HKI 2A
Contoh
perjanjian perkawinan yang disepakati dan yang diperselisihkan kebolehannya
oleh imam madzab
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh pula tidak membuat. Namun jika sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawinan itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumruh ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Apabila dilihat dalam konsep fiqh apa konsekuensi hukum yang dapat diberikan kepada seseorang yang melanggar perjanjian perkawinan yang telah disepakati, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Perjanjian yang syarat-syaratnya sesuai dengan maksud akad dan misi syariat. Misalnya, pemberian nafkah dan persetubuhan, suami istri bergaul secara baik, istri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan suami istri harus memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu, maka para ulama sepakat syarat-syarat ini hukumnya sah dan wajib dipenuhi. Adapun apabila perjanjian tersebut dilanggar, berarti sama halnya dengan seseorang melanggar syariat yang telah ditentukan oleh Allah Swt dalam firman-firmannya.
- Perjanjian yang syarat–syaratnya bertentangan dengan maksud akad dan melanggar hukum Allah dan syariat (syarat yang ilegal). Misalnya, dalam perjanjiannya sepakat untuk tidak menyetubuhi istrinya, tidak memiliki keturunan, tidak menafkahi istrinya dan memberi syarat agar istri kedua dari calon suam diceraikan terlebih dahulu. Maka dalam hal ini para ulama sepakat bahwa syarat ini tidak sah sebab mengandung unsur memerintahkan apa yang dilaranng Allah dan melarang apa yang diperintahkan-Nya, sehingga syaratnya gugur, dan harus dilanggar, artinya bahwa perkawinan tersebut tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kewajiban nafkah, dan kepastian nasab.
- Perjanjian yang tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah dan persyaratan ini mengandung kemaslahatan yang ingin dicapai oleh salah satu pasangan. Misalnya, istri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan memadunya, istri tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Hanifiyah dan Syafi’iyah berpendapat syarat-syarat tersebut batal (syarat tidak berlaku) dan suami tidak harus memenuhinya. Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi berdasarkan hadits khusus dai Uqbah bin Amir serta keumuman dari firman Allah untuk menepati janji.
Adapun perjanjian perkawinan yang mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada seorang suami. Waktunya seorang suami memberikan nafkah kepada istri, yaitu:
- Imam Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga sudah dewasa.
- Abu hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewas.
- Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa, dalam hal ini Syafi’I memiliki dua pendapat, yaitu; pertama seperti pendapat Imam Malik dan kedua, bahwa dia berhak mendapatkan nafkah secara mutlak.
Selain itu ada bentuk atau penerapan perjanjian perkawinan dan terdapat perbedaan pendapat antar ulama madzab, seperti berikut:
- Kewajiban suami terhadap istri, seperti membelikan pakaian, tempat tinggal, dan nafkah. Perjanjian seperti ini disepakati oleh para ulama. Dan wajib dipenuhi oleh suami terhadap istri.
- Istri tidak boleh dikeluarkan dari rumah tangga, tidak boleh dibawa merantau, dan tidak boleh di madu, menurut Imam Hambali ini harus dipenuhi, tetapi Imam Syafi’i menampik argument tersebut dan tidak mewajibkan.
- Suami harus mencerai istri terlebih dahulu yang ada untuk melangsungkan pernikahan yang berikutnya, para ulama tidak mewajibkan karena ada larangan dari Rasulullah.
Contoh lain dari bentuk perjanjian perkawinan yaitu perjanjian
Ta’lik Talak, yang sudah lama diterapkan di Indonesia. Dalam membahas mengenai
Ta’lik Talak muncul perbedaan diantara ahli hukum islam. Jumruh ulama Madzab
berpendapat bahwa bila seseorang telah menta’likkan talaknya dan telah
terpenuhi syarta-syaratnya, maka Ta’lik itu dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik,
baik itu mengandung sumpah ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang
menta’likkan Talak itu tidak menjatuhkan Talaknya pada saat orang itu
mengucapkannya, akan tetapi Talak itu tergantung pada tepenuhinya syarat yang
dikandung dalam ucapan Ta’lik itu.
Contohnya,
jika suami mengucapkan Ta’lik Talak karena dipaksa atau ada unsur pemaksaan,
maka Talak suami tidak jatuh, karena hal demikian berarti bukan kehendak bebas
yang berarti bahwa taklik harus dianggap tidak ada. Selain itu hakim harus
menolak gugatan istri, karena tidak memenuhi syarta Ta’lik, atau tidak terjadi
pelanggaran shigat Ta’lik. Dalam hal seperti itu, maka para ulama sepakat bahwa
jika suami berakal, baligh, dan berkehendak bebas, maka Talaknya dipandang sah
dan sebaliknya jika terjadi hal itu dipandang sebagai perbuatan sia-sia. Tetapi
pendapat Imam Abu Hanifah menganggap sah atas Ta’lik Talak yang mengandung
unsur paksaan, walaupun pendapat ini menyalahi pendapat jumruh.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu dianggap
sah dan berlaku manakala tidak bertentanngan dengan syariat Islam. Begitu pula
sebaliknya, jika perjanjian itu bertentangan dengan syariat Islam, maka
perjanjian tersebut dianggap tidak sah dan berlaku.
No comments:
Post a Comment