BOOK REVIEW: Hukum Perwakafan di Indonesia

 

BOOK REVIEW 

Judul Buku      : Hukum Pewakafan di Indonesia

Pengarang       : Drs. H. Abdul Halim, M.A.

Penerbit           : Ciputat Press

Kota penerbit  : Jakarta

Tahun Cetak 1 : 2005

ISBN               : 979-3245-20-4

Halaman          : viii+158 halaman

 

Hukum Perwakafan di Indonesia[1]

Latifah Dwi Cahyani[2]

Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Email: latifahdc861@gmail.com

 

A.  Pendahuluan

      Sumber utama institusi wakaf adalah Al-Quran. Walaupun dalam Al-Quran, kata wakaf yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan secara jelas sebagaimana zakat, tetapi merupakan interpestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan harta berupa sedekah dan amal jariyah. Sumber kedua setelah Al-Quran adalah Hadits. Banyak ditemukan hadits Rasulullah mengenai wakaf, kurang lebih ada 45 hadits yang berkenaan dengan wakaf. Sumber ketiga yaitu ijtihad para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik (interprestasi para ulama fiqh).

      Di Indonesia selain sumber di atas, terdapat dalam hukum nasional wakaf yang diatur dalam perwakafan nasional, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977. Setidaknya di Indonesia ada sekitar 15 buah aturan yang telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Terakhir dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Sebelum adanya aturan ini sumber hukum perwakafan di Indonesia masih berserakan dalam berbagai doktrin kitab-kitab mazhab yang sering mengundang ikhtilaf. Dengan adanya perundang-undangan yang mengatur wakaf dan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, maka kerumitan hukum berkurang, terutama bagi hakim-hakim di peradilan agama.

      Wakaf sebagai salah satu bagian yang penting dari hukum islam yang mempunyai hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Hubungan wakaf terjadi antara hubungan vertika kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Wakaf selain ibadah juga berfungsi sosial kemasyarakatan.

B.   Wakaf dalam Islam

      Wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu waqf yang berarti menyerahkan harta milik dengan penuh keikhlasan dan pengabdian, yaitu berupa penyerahan sesuatu pada satu lembaga Islam, dengan menahan benda itu. Kemudian yang diwakafkan itu disebut mauquf. Dalam kitab-kitab fikih, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazdir (pemelihara dan pengurus wakaf) atau kepada badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang wakif.

      Definisi wakaf menurut etimologis yang bermakna menahan harta dan memanfaatkan hasilnya di jalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan. Maknanya, menghentikan manfaat keuntungannya dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf.

      Menurut Imam Hanafi, wakaf yaitu penahanan benda atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan (mensedekahkan) manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Imam Hanafi berpendapat bahwa suatu harta yang telah diwakafkan tidak terlepas dari pemilikan si wakif bahkan ia boleh menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Karena wakaf itu hukumnya jaiz, tidak wajib dan samalah halnya dengan pinjam meminjam.

      Menurut Imam Maliki, wakaf yaitu penahanan suatu benda dari bertasarruf, (bertindak hukum, seperti memperjual-belikannya) terhadap benda yang dimiliki serta benda itu tetap dalam pemilikan si wakif dan memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan. Sementara Imam Syafi’I dan Imam Hambali, wakaf itu beupa penahanan harta dari bertassaruf dan menyedekahkan hasilnya serta berpindahnya pemilikan dari orang yang berwakaf kepada orang yang menerima wakaf dan tidak boleh bertindak sekehendak hati mauquf alaih.

      Selain definisi menurut fikih klasik, di Indonesia terdapat rumusan wakaf yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum  yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya unutk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam definisi wakaf tidak lagi dikhususkan pada tanah milik sebagaimana PP di atas. Sedangkan menurut Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian bneda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah”.

      Mengenai sejarah munculnya istilah wakaf, memang sulit menetapkan kapan munculnya istilah tersebut. Karena dalam buku fikih tidak ditemui sumber yang menyebutkan secara tegas. Mayoritas ulama menyatakan, asal mula disyari’atkannya ibadah wakaf dalam Islam ialah pada masa Umar Bin Khattab mendapat sebidang tanah diperkebunan Khaibar. Tanah tersebut langsung diwakafkan Umar serta hasilnya disedekahkan kepada  fakir miskin, untuk memerdekakan budak dan kepentingan lainnya di jalan Allah, sedangkan bagi nadzir diberi upah sekedarnya. Selain itu ada pendapat yang menyebutkan bahwa permulaan adanya wakaf dalam Islam ialah tanah yang diwakafkan oleh Rasulullah Saw, untuk masjid. Sahabat-sahabat Nabi, seperti Umar, Usman dan Abu Thalhah serta sahabat lainnya pernah mewakafkan harta yang dimilikinya dan mendapat persetujuan dari Rasulullah dan tindakan mereka itu menjadi amal kebaikan. Tindakan-tindakan tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri diseluruh pelosok dunia. Begitu pula, di Indonesia walaupun wakaf berasal dari agama tetapi telah diresepsi menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.

      Dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf banyak berbeda pendapat, namun semuanya sependapat bahwa untuk membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat wakaf. Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakab sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Tanpa rukun sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf.

      Menurut ulama mazhab Hanafi bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (pernyataan dari wakif), sedangkan kabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun menurut mazhab Hanafi karena akad tidak bersifat mengikat. Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki dan Hambali rukun wakaf tersebut ada empat yaitu; adanya wakif (orang yang berwakaf), maukuf alaih (orang yang menerima wakaf), maukuf (benda yang diwakafkan) dan sighat. Masing-masing dari rukun itu harus memenuhi persyaratan tertentu pula. Untuk wakif, ada beberapa syarat, yaitu: wakif harus orang yang merdeka, baligh, berakal, cerdas dan harus cakap hukum dalam bertindak. Di samping itu wakif harus sebgai pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan, dengan bukti-bukti yang sah sesuai ketentuan yang berlaku.

      Bagi Maukuf alaih, disyarakan harus hadir dalam penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka kepada Allah dan orang yang menerima wakaf harus jelas tidak dikeragui kebenarannya. Kemudian maukuf alaih disyaratkan pula ahli untuk memiliki harta (menerima), maksudnya dapat mempertanggung jawabkan dan memelihara harta wakaf. Rukun ketiga, ialah Maukuf (benda yang diwakafkan) dengan beberapa syarat, yakni: abadi untuk selama-lamanya, benda yang diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama, jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasnya, selain itu dapat benda bergerak atau benda tidak bergerak.

      Rukun yang keempat adalah sighat. Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui tulisan. Sighat memiliki beberapa syarat yaitu: sighat itu tidak digantungkan, tidak diiringi syarat tertentu, jelas dan terang, tidak menunjukkan atas waktu tertentu atau terbatas, tidak menngandung pengertian untuk mencabut  kembali terhadap wakaf yang telah diberikan. Selain itu ada empat hal dalam ruiku wakaf, yakni: kemampuan si pemberi wakaf (wakif), pengabdian yang sah atau cara penetapan, harta kekayaaan yang dapat diberikan serta tujuan wakaf yang memadai. Menurut hukum Islam ada tiga syarat untuk mampu secara hukum mmebuat wakaf. Harus ada pemahaman, kedewasaan dan kemerdekaan di pihak si pemberi.

      Dalam sejarah Islam, wakaf terbagi menjadi dua yakni wakaf Khayri dan wakaf Zurri. Wakaf Khayri yakni wakaf yang bertujuan unutk kemaslahatan umum, sebagaimana pemberian makanan hewan, guru yang mengajar anak-anak miskin, anak yatim atau fakir miskin. Sedangkan wakaf ahli atau Zurri, wakaf yang diperuntukkan kepada pihak keturunan atau ahli waris. Pendapat yang sama juga disebutkan Musthafa As-Sibai yaitu wakaf Zurry dan Khairy. Wakaf Zurry atau wakaf ahli ialah wakaf yang dikhususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara atau ibu bapaknya. Wakaf ini bertujuan untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi hukum islam, sesorang yang punya harta untuk diwakafkan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu melihat sanak familinya. Adapun wakaf Khairy ialah wakaf yang diperuntukkan untuk amal kebaikan secara umum, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya. Selain itu untuk kepentingan sosial ekonomi orang-orang yang betul butuh bantuan, contohnya fakir miskin, anak yatim dan lainnya.

      Manfaat wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnah ini banyak sekali hikmahnya yang terkandung di dalamnya, antara lain; Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itulah diharuskan benda wakaf itu tahan lama. Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat, antara lain untuk pembinaan mental spiritual dan pembangaunan segi fisik.

      Dampak positif langsung dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang erat antara si wakif dengan maukuf alaih atau antara si kaya dan si miskin sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial.

      Dengan demikian, maka dapat dirumuskan secara sederhana beberapa hal keutamaan wakaf, sebagai berikut:

1.     Menumbuhkan sifat zuhud, dan melatih seseorang untuk saling membantu atas kepentingan orang lain.

2.   Dapat menghidupakan lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun kemasyarakatan untuk mengembangkan potensi umat.

3.  Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda wakaf telah menjadi milik seseorang yang sah, tetapi di dalamnya masih ada harta agama yang mesti diserahkan sebagaimana haknya juga zakat.

4.      Menyadari sesorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup.

5.    Dapat menopang dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya.

C.  Sumber Hukum Perwakafan

      Salah satu lembaga yang dianjurkan dalam Islam untuk dipergunakan sesorang sebagai penyalur rezki yang dimilikinya adalah wakaf. Sebagai dasar hukum perwakafan adalah Alquran, al-Hadist (sunnah), Ijtihad dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

      Dalam Alquran tidak ditemukan secara tegas dan jelas mengenai wakaf. Alquran hanya menyebut dalam artian umum, bukan khusus menggunakan kata-kata wakaf. Para ulama fiqih yang menjadikan ayat-ayat dalam Alquran sebagai dasar wakaf dalam Islam. Seperti ayat-ayat yang membicarakan sedekah, infaq dan amal jariyah. Membicarakan soa menafkahkan harta dan termasuk didalamnya mewakafkan harta yang dimilikinya, telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215.

            “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.

      Dari ayat di atas Allah menyebutkan kata Anfiqu untuk perbuatan berbagai bentuk pengeluaran harta yang dimiliki  dengan tujuan sabilillah. Yait anjuran meebelanjakan harta yang dimiliki sebelum datang hari kiamat, dimana umat manusia yang dituntut adalah amal kebajikannya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 254 yang artinya;

            “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah dan belanjakanlah sebagian rezqi yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang suatu hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah yang zalim”.

      Dengan kata yang sama yaitu yunfiqu dijumpai juga dalam surat Al-Baqarah ayat 261, dimana Allah mengumpamakan orang yang mau menafkahkan hartanya, pada mulanya hanya satu butir, lalu darinya akan bercabang menghasilkan tujuh, padanya menumbuhkan pula seratus biji. Inilah contoh ynag diberikan Allah Swt. Inilah contoh perumpamaan kemurahan Allah dalam melipat gandakan pahala bagi hambanya yang ikut membiayai kepentingan agama Allah, bahwa Allah akan melipat gandakan pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Dari ayat 261, menjelaskan tindakan yang harus dilakukan setelah menafkahkan  harta yang dimiliki itu, dengan tidak digembor-gemborkan karena mengakibatkan tindakan riya.

      Dari beberapa ayat di atas, para fuqaha memahami bahwa ayat-ayat seperti diuraikan sebelumnya adalah membicarakan sedekah, infak, juga termasuk wakaf, karena wakaf adalah salah satu bentuk dari mewakafkan harta pada jalan Allah. Jadi, Alquran dalam hal wakaf tidak menyebutkan secara khusus, sebagaimana zakat. Alquran hanya membicarakan soal umum yaitu menafkahkan harta di jalan Allah. Dalam Hadits ada yang menyebutkan secara khusus dan umum mengenai wakaf. Jika masalah wakaf sekaligus menjadi dasar hukum wakaf, adalah hadits yang berkenaan dengan amal jariyah, seperti;

            "Dari Abu Hurairahh semoga Allah meridhoinya, Nabi Saw bersabda; "apabila mati seorang manusia (anak Adam), habislah amalnya terkecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan baginya". (Hadits riwayat Muslim).

      Walaupun secara umum disebutkan adalah amal jariyah namun yang dimaksud disini termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, "Para ulama menafsirkan sadakah jariyah yang dimaksud dalam hadits itu adalah wakaf".

      Sayyid Sabiq juga sependapat dengan As-Syaukani bahwa yang dimaksud dalam hadits di atas adalah wakaf. "Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan wakaf dan menjadikannya perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt." Pendapat Sayyid Sabiq ini beliau kemukakan setelah menyebutkan hadits yang diriwayatkan Muslim tersebut.

      Sumber hukum perwakafan selain Alquran dan Hadits, maka ijtihad merupakan sumber ketiga. Peranan ulama mujtahid akan mampu memperjelas hukum bila dalam dua sumber utama kurang jelas atau membutuhkan pemikiran. Maka dalam hal ini Ijtihad Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Abu Yusuf Hanafi. Dari hasil pemikiran mereka, lalu dipakai untuk acuan dalam perwakafan.

      Wakaf menurut para ulama imam mazhab merupakan suatu perbuatan sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan, sosial dan lainnya. Bagi ulama imam mazhab, persoalan wakaf mereka sepakat bahwa itu termasuk amal jariyah. Namun yang menjadi polemik mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri. Apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi miliknya atau lepas seketika saat ia menyerahkan kepada penerima wakaf.

      Di Indonesia, selain bersumber pada agama juga bersumber pada hukum positif, yang merupakan hasil pemikiran pakar hukum di Indonesia. Bila di inventarisir sampai sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang mengatur masalah perwakafan. Namun, aturan yang telah dihasilkan masih terbatas pada perwakafan tanah milik. Menurut Rahmat Djatnika sumber hukum perwakafan di Indonesia, yaitu:

  1. Setelah Islam masuk ke Indonesia dan dianut penduduknya, sampai tahun 1905 belum ada peraturan perundang-undangan. Wakaf hanya didasarkan pada fiqh dan hukum adat.
  2. Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda mengeluarkan Sirculer, mengatur tentang rumah peribadatan, masjid dan wakaf.
  3. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), 24 Desember 1960.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

     Selain itu ada 3 ketentuan yang membicarakan mengenai perwakafan di Indonesia. Pertama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil ijtohad ulama di Indonesia. Tentang wakaf diatur pada buku III. Kedua, Instruksi Menteri Agama RI, No. 15 Tahun 1989. Ketiga, Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badab Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 atau No. 24 Tahun 1990 tentang Target Pensertifikatan Tanah Wakaf pada Pelita V.

     Selain peraturan dan perundangan di atas, pada tahun 2004 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang khusus mengenai perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

D.  Perkembangan Hukum Perwakafan di Indonesia

      Membicarakan perwakafan tanah milik sepeti dijelaskan PP. 28 Tahun 1977, maka tidak bisa melepaskan diri dari konsep wakaf dalam hukum Islam. Hukum wakaf merupakan cabang terpenting dalam Islam, sebab ia terjalin ke dalam seluruh kehidupan ibadah dan merupakan ibadah dan perekonomian sosial hukum muslim, menurut Abdur Rahman.

      Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik, begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

      Oleh karena itu, maka pemerintah RI, Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri membuat suatu peraturan tentang tata cara pelaksanaan perwakafan tanah milik, yang dikenal dengan PP No. 28 Tahun 1977 yang mengatur wakaf sosial atas tanah milih, bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.

      Perundang-undangan mengenai wakaf tanah milik ialah PP. 28 Tahun 1977 yang termuat dalam Lembaran Negara No. 38 dan tambahan Lembaran Negara No. 3107 yang berlaku sejak 17 Mei 1977. PP ini terdiri dari 7 bab dan 18 pasal dengan sistematika sebagai berikut;

Bab I         Ketentuan umum sebanyak satu pasal

Bab II        Fungsi wakaf pasal 2 sampai pasal 8

Bab III      Tata cara mewakafkan dan Pendaftarannya Pasal 9 dan 10

Bab IV    Perubahan penyelesaian perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah milik pasal 11 sampai 13.

Bab V       Ketentuan Pidana Pasal 14 sampai 15

Bab VI      Ketentuan Peralihan pasal 16 dan 17

Bab VII     Ketentuan Penutup pasal 18

Maka PP No. 28 Tahun 1977, mempunyai pertimbangan;

  1. Lembaga keagamaan, sebagai salah satu sarana guna pengembangan hidup keagamaan untuk kesejahteraan spiritual dan materil.
  2. Peraturan yang ada sebelumnya tidak memenuhi kebutuhan akan cara pendaftaran dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan karena tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap tentang tanah yang diwakafkan.
  3. "Sesuai dengan UUPA pasal 14 ayat 1 huruf b (peruntukan tanah) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan lain sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa".

     Persoalan semacam ini akan menimbulkan keresahan bagi umat Islam,maka apabila tidak ada peraturan yabg mengaturnya tentang perwakafan tanah, dikhawatirkan akan berlanjut persengketaan dalam masalah wakaf. Maka perlu adanya peraturan mengenai masalah wakaf di Indonesia.

     Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Undang-undang baru yanng berkaitan dengan perwakafan di Indonesia. Undang-undang ini menjelaskan secara rinci tentang tata cara pendaftaran harta wakaf, hak dan kewajiban pengelola wakaf, pola pengembangan harat benda wakaf, dan organisasi wakaf di Indonesia. Lahirnya Undang-undang ini dijelaskan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum. Salah satu langkah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya sebagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi. Sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

     Berdasarkan penyataan diatas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk undang-undang tentang wakaf.

Dalam undang-undang perwakafan yang baru ini terdapat beberapa hal penting yang tidak dibicarakan pada peraturan-peraturan sebelumnya. Beberapa diantaranya mengenai masalh nazhir, harta benda yang diwakafkan, peruntukan harta wakaf, dan perlunya dibentuk badan perwakafan di Indonesia.

     Mengenai tata cara perwakafan dan pendaftarannya pada masa Rasulullah tidak dijelaskan secara rinci. Akan tetapi dapat dipelajari dari tindakan Nabi ataupun sahabatnya. Sedangkan perwakafan secara administratif ketika itu belum dikenal.

     Sedangkan tata cara pendaftaran wakaf yang berlaku sebelum PP. 28 Tahun 1977, maka dalam permasalahan ini Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 pasal 15 telah mengatur antara lain:

  1. Tanah wakaf yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah pendaftarannya dilakukan oleh nadzir yang bersangkutan kepada KUA setempat.
  2. Apabila nadzir yang bersangkutan sudah tidak ada lagi maka wikif atau ahli warisnya, anak keturunan nadzir atau anggota masyarakat yang mengetahuinya mendaftarkan kepada KUA setempat.
  3. Apabila ada tanah wakaf dan tidak ada orang yang mau mendaftarkannya maka Kepala Desa berkewajiban mendaftrakannya kepada KUA setempat.
  4. Pendaftaran yang dimaksud pada ayat (1) (2) dan (3) tersebut disertai;
    • Surat keterangan tentang wakaf tanah atau surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah tersebut.
    • Dua orang saksi ikrar wakaf atau dua orang saksi istifadhah (orang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan tersebut).

     Sebelum dikeluarkanya PP. No 28 Tahun 1977 mengenai tanah wakaf, nadzir harus mendaftarkan tanah wakaf itu kepada KUA Kecamatan setempat, disertai surat keterangan dari kepala desa dan orang saksi yang menyaksikan Ikrar Wakaf (atau saksi istifadhah yang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan tersebut).

     Apabila nadzir tidak ada lagi, maka wakif atau ahli warisnya, anak keturunan nadzir atau masyarakat yang mengetahui atau kepala desa harus mendaftarkan tanah tersebut kepada KUA setempat setelah, lalu PPAIW membuat APAIW yang sama dengan AIW, kemudian PPAIW mendaftarkan sekaligus sertifikatnya ke Kantor Agraria setempat.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 muncul beberapa pertimbangan diantaranya:

  1. Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaay ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum,
  2. Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

     Keunggulan dari segi buku ini yaitu isi pembahasan atau materi mengenai wakaf disampaikan secara detail, rinci dan tidak terlalu panjang lebar. Buku ini tidak hanya memberikan aspek wakaf dalam hukum islam tetapi juga  membicarakan aspek-aspek yang terkait dengan wakaf secara luas. Di dalam buku ini juga dijelaskan sejarah, hukum, perkembangan permasalahan kontemporer serta peraturan perundangan di Indonesia mengenai wakaf. Sehingga para pembaca tertarik untuk membacanya dan mudah memahami alur dari buku ini. Sedangkan kekurangan yang ada dalam buku tersebut yaitu dalam format penulisan mungkin kurang menarik dan sedikit monoton.

E.   Kesimpulan

      Wakaf salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Selain sebagai sarana ibadah, juga berfungsi sebagai sosial kemasyarakatan dan ekonomi masyarakat. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan pada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Wakaf juga termasuk amal jariah yang tidak putus-putusnya kelak di akhirat. Dasar hukum perwakafan yang utama yaitu Alquran, lalu Hadist (sunnah) dan ijtihad para ulama serta qanun (Peraturan Perundangan) yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan di Indonesia sumber hukum nasional wakaf diatur dalam perwakafan nasional, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Halim, Abdul. Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press. 2005



                [1]Review Buku Abdul Halim, Hukum Pewakafan di Indonesia, Ciputat: 2005, hal. 1-158. Disusun guna memenuhi tugas UAS mata kuliah Pengantar Hukum Keluarga dengan dosen pengampu Danu Aris Setyanto, S.Sy.M.H

                [2] 192121027, semester 1, Hukum Keluarga Islam

No comments:

Post a Comment

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...