25 Soal dan Jawaban Pengantar Ilmu Hukum

 

SOAL DAN JAWABAN

PENGANTAR ILMU HUKUM

 

1.     Jelaskan definisi hukum menurut Prof. Soedikno Mertokusumo!

      Jawab:

     Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi

2.    Dalam ilmu hukum terdapat beberapa unsur-unsur hukum, Sebutkan apa saja unsur-unsur hukum tersebut?

     Jawab:

Ø  Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat.

Ø  Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan yang berwenang untuk itu.

Ø  Penegakkan aturan hukum bersifat memaksa

Ø  Hukum memiliki sanksi

3.      Dalam unsur hukum, hukum bersifat memaksa. Mengapa peraturan itu bersifat memaksa?

Jawab:

Karena dengan peraturan-peraturan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat dan mentaati hukum yang berlaku di masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang tidak mentaati dan melanggar hukum yang ada.

4.      Bagaimana kedudukan dan fungsi PIH?

Jawab:

Kedudukan PIH adalah dasar bagi pelajaran lanjutan tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang hukum. Sedangkan fungsi PIH yaitu untuk memberikan pengertian-pengertian dasar baik secara mendalam yang berkaitan dengan hukum, selain itu memberikan introduksi atau memperkenalkan segala masalah yang berhubungan dengan hukum

5.      Jelaskan relasi antara PIH dengan PHI!

Jawab:

Keduanya merupakan mata kuliah dasar yang mempelajari atau menyelidiki hukum sebagai ilmu. PIH merupakan dasar atau penunjang dalam mempelajari PHI, artinya PIH harus dipelajari terlebih dahulu sebelum mempelajari PHI.

6.   PIH dan PHI memiliki objek kajian hukum yang berbeda. Jelaskan objek kajian hukum keduanya!

Jawab:

Objek kajian PHI adalah pengertian-pengertian dasar dan teori-teori ilmu hukum serta membahas hukum pada umumnya, dan tidak terbatas pada hukum yang berlaku di tempat atau Negara tertentu saja,tetapi juga hukum yang berlaku di tempat atau Negara lain pada waktu kapan saja. Sedangkan objek kajian PHI adalah mempelajari atau menyelidiki hukum yang berlaku  pada saat ini di Indonesia.

7.       Jelaskan yang dimaksud dengan subyek hukum!

Jawab:

Subyek hukum yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia (Natuurlijk persoon)dan badan hukum (Rechtspersoon).

8.       Jelaskan maksud Pasal 2 KUHPerdata mengenai bayi sebagai subyek hukum!

Jawab:

Pasal 2 KUHPerdata menjelaskan bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subyek hukum jika kepentingannya menghendaki , seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada sehingga ia bukan termasuk subyek hukum.

9.       Sebutkan golongan manusia yang tidak dapat menjadi subyek hukum!

Jawab:

Ø  Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa dan belum menikah

Ø  Orang yang berada dalam pengampuan (curatele) yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros, dan istri yang tunduk pada pasal 110 KUHPerdata, yang sudah dicabut oleh SEMA No.3/1963

10.   Apa saja syarat badan hukum sebagai subyek hukum?

Jawab:

Syarat badan hukum  yaitu memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaaan anggotanya, hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban.

11.  Jelaskan yang dimaksud badan hukum privat dan sebutkan contohnya!

Jawab:

Badan hukum privat yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi dalam badan hukum itu dengan tujuan tertentu, contohnya seperti PT, koperasi, yayasan, CV dsb

12.  Jelaskan yang dimaksud objek hukum!

Jawab:

Objek hukum yaitu segala sesuatu yang bermanfaat bagi subyek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum, objek hukum berupa benda, barang atau hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis.

13.   Sebutkan dan jelaskan dua teori mengenai keberadaan hak!

Jawab:

Ø  Teori kepentingan (Belangen theorie), yaitu hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi

Ø  Teori kehendak (Wilsmacht theorie), hak adalah kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang

14. Hak dapat timbul atau lahir apabila ada peristiwa hukum, hal apa saja yang menyebabkan timbulnya hak?

Jawab:

Ø  Adanya subyek hukum barubaik orang maupun badan hukum

Ø  Adanya perjanjian yang disepakat oleh para pihak yang melakukan perjanjian

Ø  Adanya kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan orang lain

Ø  Karena seseorang telah melakukan kewajiban yang merupakan syarat memperoleh hak

Ø  Terjadi kadaluarsa (verjaring)

15.   Sebutkan penyebab terhapusnya suatu hak!

Jawab:

Ø Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun ditunjuk oleh hukum

Ø  Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi

Ø  Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak

Ø  Karena kadaluarsa (verjaring)

16.  Suatu kewajiban dapat terhapus dikarenakan beberapa hal. Sebutkan apa saja faktor penyebab terhapusnya kewajiban!

Jawab:

Ø  Karena meninggalnya orang yayng mempunyai kewajiban

Ø  Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang

Ø  Kewajiban telah dipenuhi oleh yang bersangkutan

Ø  Hak yang melahirkan kewajiban telah dihapus

Ø  Daluarsa (verjaring) extinctief

Ø  Ketentuan undang-undang

17. Dalam mempelajari ilmu hukum tedapat asas-asas hukum. Apa yang dimaksud dengan asas hukum?

Jawab:

Asas hukum yaitu pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan  latar belakang dari suatu peraturan  yang konkrit yang terdapat di dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.

18.   Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis asas hukum!

Jawab:

Ø  Asas hukum umum, yaitu asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, contoh: asas restitution in integrum, asas lex posterior derogate legi priori.

Ø  Asas hukum khusus, yaitu asas hukum yang berfungsi dalam bidang hukum yang sempit, seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dll, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum. Contoh: asas pacta sunt servanda, asas konsensualisme, asa praduga tak bersalah.

19. Menurut Paul Scolten, terdapat lima asas yang tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Sebutkan ke- lima asas tersebut!

Jawab:

Ø  Asas Kepribadian

Ø  Asas Persekutuan

Ø  Asas Kesamaan

Ø  Asas Kewibawaan

Ø  Asas Pemisahan antara baik dan buruk

20.   Norma hukum dan asas hukum sama-sama merupakan petunjuk hidup, tetapi terdapat perbedaan yang prinsipil. Jelaskan perbedaan antara keduanya!

Jawab:

Asas hukum sebagai landasan pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan norma hukum merupakan aturan yang konkrit dan rill. Asas hukum suatu konsep atau ide yang mengandung nilai-nilai etis dan norma hukum merupakan penjabaran dari ide yang mengandung nilai-nilai etis. Asas hukum tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma hukum mempunyai sanksi.

21.   Sebutkan dan jelaskan contoh asas hukum khusus!

Jawab:

Dalam hukum perdata berlaku asas pacta sunt servanda (setiap janji itu mengikat) dan dalam hukum pidana berlaku presumption of innocence (praduga tak bersalah).

22. Asas hukum diharapkan bukan hanya sekedar symbol bagi peraturan konkret dalam sistem hukum, maka asas hukum memiliki beberapa fungsi. Apakah fungsi asas hukum?

Jawab:

Fungsi dalam hukum, mendasarkan eksistensinya pada rumusan pembentukan undang-undang dan hakim serta mempunyai pengaruh yang normatifdan mengikat para pihak.

Fungsi dalam llmu hukum, hanya bersifat mengatur dab eksplikatif, tujuannya adalah memberi ikhtisar, tidak normative sifatnya dan termasuk hukum positif.

23.   Bagaimana sifat instrumental asas hukum?

Jawab:

Bahwa asas hukum mengakui adanya kemungkinan-kemungkinan, yang berarti memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan sehingga membuat sisten hukum itu luwes (No Rule Without exeption)

24.   Jelaskan yang dimaksud Presumption of innoucence (praduga tak bersalah)!

Jawab:

Presumption of innoucence/ praduga tak bersalah yaitu asas yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

25.   Sebutkan ciri-ciri asas hukum!

Jawab:

Ø  Bersifat abstark

Ø  Tidak mesti dijelaskan dalam peraturan hukum konkrit

Ø  Merupakan suatu persangkaan

Ø  Berkembang sesuai dengan kaidah hukum

Ø  Dalam setiap asa manusia itu mencari cita-citanya

MAKALAH Filsafat Hukum Islam: Mahkum 'Alaih (Subyek Hukum)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Subjek hukum adalah orang yang memenuhi hak dan tanggung jawab atas hukum yang berlaku. Apabila dengan keadaan fisik dan psikisnya, seseorang telah layak menerima hak dan menjalankan kewajibannya, ia dapat dikategorikan sebagai subjek hukum. Menurut Hans Kalsen

"Segala hal yang berkaitan dengan Badan Hukum adalah hak dan kewajiban manusia. Dengan demikian, sentralitas subjek dan objek hukum adalah manusia."

       Hukum yang ketetapannya pasti benar dan menjadikan manusia sebagai subjek dan objek hukum adalah hukum Allah yang telah di gambarkan dalam surat Al-A'raf ayat 157 yang menjelaskan bahwa perintah untuk manusia agar mengerjakan perbuatan yang benar dan meninggalkan perbuatan yang jahat dan dzalim, mencari segala sesuatu yang halal dan meninggalkan yang haram, menjauhkan beban hidup manusia dengan taat kepada hukumnya, dan memberi pahala bagi subjek atau pelaksana hukum yang ikhlas dan didasarkan kepada yang tinggi.[1]

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian mahkum 'alaih?

2. Apa syarat mukallaf?

3. Apa saja macam-macam Ahliyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian mahkum'alaih.

2. Untuk mengetahui syarat mukallaf.

3. Untuk mengetahui macam-macam atau pembagian pada Ahliyah.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkum 'Alaih

       Yang dimaksud dengan mahkum 'alaih (subjek hukum) adalah orang mukallaf yang dibebani hukum. Karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.[2] Orang yang terkena beban hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal. Baik dari segi usia, mukallaf dipandang telah memiliki kemampuan lahir dan batin untuk mengerjakan taklif-taklifnya, dari segi akal, mukallaf telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta memahami jenis hukum suatu objek perbuatan.

Ada beberapa orang yang tidak layak menjadi mukallaf, karena adanya sebab-sebab yang melekat pada dirinya sehingga menghalangi ia untuk melakukan beban taklif. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari  'Aisyah yang menjelaskan mengenai pembebanan hukum untuk tiga jenis mukallaf, yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, anak kecil sehingga berakal atau dewasa, dan orang gila sehingga telah sembuh.[3]

B. Syarat- Syarat Mahkum 'Alaih

Ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukallaf (subjek hukum), yaitu:

1.       Ia memahami titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Sebagaimana sabda Rasulullah:

الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له

" Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal"

Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku taklif jika akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Seorang manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan akal bila telah mencapai baligh.[4]

Pada dasarnya seseorang yang telah dewasa dan berakal akan mampu memahami titah Allah yang menyebabkan ia telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Paham itu dapat dicapainya secara langsung, maksudnya ia secara langsung memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an atau Hadis Nabi yang berkaitan dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Disamping itu dapat dianggap telah memahami taklif jika titah Allah itu sudah disampaikan kepadanya dengan cara apapun.

2.   Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah  Ushul disebut ahlun Li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantaaan itu ada dua macam yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.

            Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub yaitu kepantasan seorang  manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.

C. Pembagian Ahliyah Al-Wujub

1.    Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan dikenai hukum secara lemah),

       Ahliyah al-wujub naqish yaitu kecakan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.[5]

Contoh:

Kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena ia belum bernama manusia.

Kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang mati tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan kematiannya itu ia tidak akan membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup.

2.    Ahliyah al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum secara sempurna)

Ahliyah al-wujub kamilah yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai meninggal.

Contoh:

Anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta, menurut pendapat ulama pelaksanaannya tersebut dilakukan oleh orang tua atau walinya.

D. Pembagian Ahliyah Al-Ada'        

Ahliyah al-ada' atau kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Yang berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.[6]

Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga tingkat. Dimana setiap tingkatnya dikaitkan kepada batas umur. Yaitu:

1. Adim al-ahliyah (tidak cakap sama sekali)

Yaitu manusia sejak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Disamping perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapannya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukannya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.

2. Ahliyah al-ada' naqishah (cakap berbuat hukum secara lemah)

Yaitu manusia telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan "lemah" dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan, uacapan, atau perbuatannya terbagi menjadi 3 tingkat, yaitu:

a. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.

b. Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.[7]

c. Tindakan yang mengandung dan kerugian.umpamanya upah mengupah yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menembah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesalahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.

3. Ahliyah al-ada' kamilah (cakap berbuat hukum secara sempurna)

Yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah mulai haid dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk Al-Qur'an, yaitu sampai mencapai usia pernikahan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melangsungkan pernikahan. Tanda dewasa yaitu haid bagi wanita dan mimpi bersetubuh bagi laki-laki adalah tanda seseorang sudah dapat melakukan perkawinan.[8]

Apakah sesudah mencapai itu, seseorang telah dapat bertindak hukum pada hartanya? Hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama fiqih yang muncul berkaitan dengan firman Allah dalam surat an-nisa (4):6:

وابتلوا اليتا مى حتى اذا بلغوا النكاح فإن آنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم اموالهم

" Untuk anak yatim (anak-anak) sampai ia mencapai umur dewasa. Bila kamu mengetahui ada tanda cerdas padanya, berikanlah harta kepadanya."

Ayat ini menjelaskan harta anak yatim diberikan kepadanya sesudah ia mencapai usia dewasa dan diketahui bahwa ia telah cerdas. Segolongan ulama diantaranya Imam Syafi'i mengatakan bahwa penyerahan harta kepada orang yang sudah baligh hanya dapat dilakukan setelah mencapai tingkat cerdas. Diantaranya lagi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta telah dapat diserahkan kepada orang yang telah dewasa bila ia telah mencapai usia 25 tahun, meskipun dalam usianya masih belum memiliki tanda-tanda Rusyd (cerdas).[9]

 

BAB III

KESIMPULAN

Realitasnya subjek hukum atau mahkum 'alaih atau pelaksana hukum adalah orang yang sudah dewasa atau baligh dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (mumayyiz). Dan dalam pandangan Hans Kalsen dikatakan bahwa hukum bukan hanya memperhatikan subjeknya, tetapi sekaligus objeknya. Subjek hukum harus memenuhi syarat-syarat fisik dan psikialnya, sedangkan objeknya tidak mutlak demikian. Objek yang merupakan kebendaan dan kepemilikan, baik benda hidup atau benda mati, bergerak, senantiasa dikaitkan kepada manusia yang sudah pantas menjadi subjek hukum.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Samsul. Dkk, Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Kalimedia. 2016

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid I. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1997

Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008

 

 

 

 



[1] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 171-172.

[2] Samsul Bahri.dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), h. 59.

[3] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 176.

[4]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 356-357.

[5] Ibid., h. 357.

[6] Ibid., h. 358.

[7] Ibid., h. 359.

[8] Ibid., h. 360.

[9] Ibid., h. 361.

MAKALAH FIQH IBADAH: Haid, Nifas, dan Istihadah

 

MAKALAH FIQH IBADAH

THAHARAH

IAIN Surakarta, Logo IAIN Surakarta

Dosen Pembimbing:

H. Andi Mardian, LC., M.A.

Disusun oleh:

                       Aisyah Khusnul Lathifah      (192121004)

Lutfi Nur Cahyaningsih         (192121008)

Latifah Dwi Cahyani             (192121027)

Mahmudah                             (192121029)


FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2020

 


KATA PENGANTAR

 

Segala puji kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqh Ibadah yang berjudul “Thaharah” tepat pada waktunya. Yang mana makalah ini disusun  guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Ibadah.

Dalam penyusunan ini kami menyadari sepenuh hati, bahwa banyak kekurangan bahkan jauh dari kata kesempuraan, baik kata maupun kalimat yang dituliskan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Fiqh Ibadah Bapak H. Andi Mardian, LC., M.A. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

 Sukoharjo, 11 Februari 2020

 

 Penulis



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Haid adalah keluarnya darah dari rahim perempuan melalui vaginanya yang mana keluar pada saat keadaan sehat dan tidak melahirkan atau bahkan bukan karena kehilangan keperawanan. Selain itu, secara bahasa Al-Haid berarti mengalir. Dan jika dikatakan “Hadhat Asy-Syajarah”, berarti getahya mengalir. Sehingga Al-Haid menurut istilah syariat adalah darah yang keluar dari kemaluan depan wanita, bukan karena melahirkan ataupun sakit

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita saat melahirkan maupun setelah melahirkan. Yang mana dalam masa nifas memiliki larangan seperti haid. Dan yang terakhir adalah istihadhah, istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dan bukan keluar pada waktunya. Dengan demikian, haid, nifas, dan istihadhah merupakan salah satu yang membedakan antara seorang wanita dan perempuan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan haid?

2.      Apa yang dimaksud dengan nifas?

3.      Apa yang dimaksud dengan istihadhah?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui apa itu haid

2.      Untuk mengetahui apa itu nifas

3.      Untuk mengetahui apa itu istihadhah

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Haid

Haid adalah keluarnya darah dari rahim perempuan melalui vaginanya yang mana keluar pada saat keadaan sehat dan tidak melahirkan atau bahkan bukan karena kehilangan keperawanan. Selain itu, secara bahasa Al-Haid berarti mengalir. Dan jika dikatakan “Hadhat Asy-Syajarah”, berarti getahya mengalir. Sehingga Al-Haid menurut istilah syariat adalah darah yang keluar dari kemaluan depan wanita, bukan karena melahirkan ataupun sakit.[1]

Dengan demikian, dengan adanya datang bulan atau haid merupakan ciri dari seorang wanita yang sudah usia baligh. Namun beberapa ulama berpendapat bahwa pada umumnya seorang wanita tidak mengeluarkan darah haid sebelum berusia 9 tahun, bedasarkan tahun hijriyah.[2] Akan tetapi masalah seperti ini tergantung dengan tempat, masa, dan lingkungan dimana seorang wanita mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Dan pada intinya haid adalah siklus bulanan dimana seorang wanita akan megeluarkannya. Oleh karena itu, haid mencakup beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

1.      Waktu Permulaan

Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa haid tidak terjadi dibawah usia 9 tahun dan jika seorang wanita megeluarkan darah haid sebelum usia sembilan tahun, maka dari itu bukan darah haid melainkan darah yang tidak sehat. Selain itu, haid yang terjadi pada seorang wanita bisa jadi seumur hidup, bahkan juga tidak ada dalil bahwa haid dapat berhenti pada usia tertentu. Karena jika seorang wanita yang sudah tua namun masih mengeluarkan darah, maka itu masih termasuk darah haid.

Sehingga para fuqaha membagi wanita haid dalam 5 bagian yaitu pertama, wanita yang teratur haidnya baik waktu maupun jumlah harinya. Kedua, wanita yang teratur waktunya tapi tidak teratur jumlah harinya. Ketiga, wanita yang teratur jumlah harinya tetapi tidak teratur waktunya. Keempat, wanita yang tidak teratur haidnya, baik waktu maupun jumlah. Kelima, wanita yang melihat darah untuk pertama kalinya dan ia dikatakan sebagai pemula.[3]

2.      Warna Darah Haid

Darah haid atau darah dapat disebut dengan haid, menurut beberapa ulama ada beberapa warna, diantaranya:[4]

-     Warna hitam, yaitu warna darah haid yang sudah disepakati oleh ulama sesuai dengan sabda Rasulullah “Darah haid itu berwarna hitam, berbau tidak sedap, dan terbakar.”

-        Warna Merah, yaitu darah haid yang merupakan warna asli darah.

-      Keruh, yaitu darah yang terjadi diakhir haid yang warna seperti campuran warna putih dan hitam sehingga terlihat kotor.

-        Warna kuning, yaitu darah haid yang seperti nanah berwarna kekuingan.

Sehingga dengan memiliki berbagai ciri-ciri warna darah haid dapat dibedakan dengan darah istihadah dan nifas. Oleh karena itu, semua itu dapat diketahui dengan mengamati dan memperhatikan kebiasaan. Namun terkadang ada beberapa wanita juga melakukan pengobatan medis, yang mana dapat berpengaruh pada warna darah yang dikeluarkan. Darah haid, selain diketahui melalui warna juga dapat dicirikan denga bau-nya yang tidak sedap atau busuk.

Dan berhentinya darah tidak dapat diketahui kecuali dengan melihat warna putih bersih. Yang mana cara untuk mengetahui warna putih bersih, dengan cara menggunakan kapas atau kain putih yang dimasukkan pada kemaluannya. Sehingga, jika kapas yang telah dimasukkan ke dalam kemaluan tersebut berwarna putih bersih tanpa bekas warna apapun menandakan haid sudah berhenti. Selain itu, beberapa pendapat tentang hukum wanita yang melihat wanita kuning dan ketika sedang haid dan ketika sedang suci, apakah ia termasuk darah haid atau bukan?

 Mengenai hal itu, Ulama mengatakan bahwa warna kuning dan keruh dianggap bagian saat haid dan jika terlihat setelah bersih dari haid maka ia bukan darah haid. Dalam riwayat lain dari Aisyah, bahwa para wanita  pernah bertanya dan mengirimkan sehelai kain yang di dalamnya terdapat kapas yang merupakan bekas untuk membersihkan kemaluannya setelah haid, Kemudian setelah dilihat  ada bekas cairan kuning dan keruh. Lalu Aisyah berkata; “Janganlah tergesa-gesa sampai kalian melihat ada lendir putih.”[5] Maskudnya adalah jangan tegesa-gesa untuk suci dari haid sampai melihat adanya lendir putih, yang mana merupakan tanda berakhirnya haid. Selain keluarnya lendir putih juga dapat ditandai dengan keadaan kering, yang mana dapat dilihat juga menggunakan kapas yang dimasukkan ke dalam qubul.

3.      Masa Haid

Masa haid dimulai dengan keluarnya darah dari rahim perempuan dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan sebelumnya, baik bau maupun warnanya. Jika seseorang bisa memastikannya maka ditetapkan sebagai darah haid, namun jika tidak bisa memastikannya maka ditetapkan bukan sebagai darah haid. Dalam hal ini, haid memiliki batasan-batasan waktu tertentu. Mayoritas ulama mengatakan bahwa haid memiliki batas waktu, baik batas minimal maupun maksimal waktu haid. Berikut adalah penjelasan ulama fiqih tentang batas minimal dan maksimal waktu haid, yang mana terdapat tiga pendapat, yaitu:

-     Tempo minimal haid adalah tiga hari dan maksimal sepuluh hari, ini merupakan pendapat ulama Hanafiyah dan Syiah Zaidiyah.

-    Tempo minimal haid adalah sehari semalam dan maksimal adalah lima belas hari, ini merupakan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.

-      Tidak ada batas minimal, satu kali keluar dianggap haid dan maksimal lima belas hari, ini menurut ulama terdahulu dan menurut ulama terkini adalah lima belas hari. Pendapat tersebut dar ulama Malikiyah dan Zhahiriyah.[6]

Namun dalam kenyataannya, hal tersebut masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Karena adanya kontradisi antara beberapa dalil yang menjadi sandaran setiap madzab. Oleh karena itu, seharusnya diamati dan diperhatikan dari keadaanya wanita itu sendiri. Sehingga semua dikembalikan kepada setiap adat kebiasaan setiap orang karena nash yang bersifat umum bisa dibatasi dengan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu:

-     Pertama, Rasulullah telah menjelaskan antara ciri-ciri darah haid dan tidak menjelaskan batas hari, disesuaikan dengan kebiasaan wanita.

-    Kedua, Allah menerangkan bahwa darah haid adalah penyakit dan tidak menjelaskan batas waktu, maka kapan saja ada maka ia adalah haid.[7]

4.      Masa Suci Haid dan Haid Berikutnya

Maksud dari masa suci adalah waktu bersihnya seorang wanita dari haid dan nifas. Suci ada dua tanda yaitu keringnya darah dan keluanya lendir putih berupa cairan tipis yang akan muncul di akhir masa haid. Mayoritas ulama sepakat jika tidak ada batas maksimal untuk masa suci. Mereka juga sepakat jika seorang wanita melihat darah yang keluar sesaat lalu kemudian berhenti tidak dianggap sebagai darah haid. Akan tetapi, mengenai batas minimal suci beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat.

Menurut ulama, bahwa tempo minimal suci yang memisahkan antara haid dan haid berikutnya adalah lima belas hari. Oleh karena itu, jika maksimal haid adalah lima belas hari, semestinya tempo minimal suci antara haid dengan haid berikutnya adalah lima belas hari juga. Selain itu, ada ulama yang mengatakan minimal adalah tiga belas hari. Dengan demikian, tidak ada dalil pasti yang bisa dijadikan rujukan untuk menentukan batasan waktu haid.

5.      Larangan Bagi Yang Haid

Dalam Islam, wanita yang sedang haid dianggap tidak suci. Oleh karena itu, selama haid sedang berlangsung ada berbagai hal yang dilarang dalam agama Islam, yaitu:

-      Tidak wajib mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnah. Hal ini didasarkan dalam hadis Aisyah, ia berkata “Sesungguhnya aku telah selesai datang bulan dan belum bersuci, apakah aku boleh meninggalkan sholat?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya itu adalah pembuluh darah. Akan tetapi tinggalkanlah shalat selama masa-masa datang bulan, kemudian mandi dan shalatlah.” Selain itu mengqada shalat yang ditinggalkan pada saat haid hukumnya tidak wajib.

-     Tidak boleh berpuasa, apabila ia tetap melakukanya maka ia akan berdosa dan puasanya batal. Akan tetapi ia tetap berkewajiban mengulangi puasanya dilain waktu dan diperintahkan untuk menjalankan puasanya pada masa-masa diluar haid.

-       Bagi suami tidak diperbolehkan menyetubuhi istri yang sedang haid. Apabila sang suami memaksakan kehendaknya. Maka ia berdosa, bedasarakan firman Allah SWT, “Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” Qs. Al-Baqarah:222.

-       Tidak diperbolehkan menyentuh mushaf. Menurut Imam Madzab bersepakat bahwa tidak boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci. Adapun membaca Al-Quran bagi wanita haid dengan tanpa menyentuh Al-Quran masih menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Dan sebaiknya tidak perlu membaca Al-Quran terlebih dahulu kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti khawatir kehilangan atau lupa hafalan Al-Qurannya.[8]

-       Selain ke empat larangan tersebut, seorang wanita yang sedang dalam keadaan haid juga tidak diperbolehkan melaksanakan thawaf saat haji, baik thawaf fardhu maupun sunnah. Dan dalam Islam haram hukumnya jika wanita haid masuk masjid, karena masjid adalah tempat yang suci. Adapun jika hanya melaluinya boleh apabila tidak takut mengotorinya, namun jika ragu-ragu akan mengotori masjid haram baginya melaluinya.

 

B.     Nifas

            Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita saat melahirkan maupun setelah melahirkan. Menurut bahasa nifas berasal dari kata Nafisat Al-Mar’ah yang berarti melahirkan. Dan An-Nifas menurut kata istilah syariat adalah darah yang keluar karena seorang wanita melahirkan baik kelahiran normal ataupun keguguran. Sehingga mayoritas ulama ahli ilmu dari kalangan sahabat berpendapat mengenai masa nifas. Ada yang berpendapat maksimal adalah empat puluh hari. Sedangkan ulama Makkiyah dan Syafi’iyah berpendapat maksimal masa nifas adalah enam puluh hari. Perbedaan ini terjadi karena terdapat kesulitan untuk memastikan hal tersebut. Karena pengalaman wanita yang mengalami nifas berbeda-beda.[9]

         Sedangkan untuk batasan minimal nifas-pun juga tidak ada, karena seorang wanita yang mengeluarkan nifas saat melahirkan maupun setelah melahirkan bisa keluar dalam waktu yang singkat. Selain itu, nifas tidak dapat ditetapkan kecuali seorang wanita melahirkan bayi yang sudah mempunyai atau terlihat jelas berbentuk manusia. Dan seandainya ia mengalami keguguran dan janin dalam kandungannya belum terlihat jelas berbentuk manusia maka darah yang dikeluarkan itu bukan darah nifas melainkan darah kotor, yang kemudian dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu, yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah,

            Adapun hal-hal yang dilarang pada saat seorang wanita dalam keadaan nifas adalah sama seperti dengan haid, yaitu tidak boleh sholat, dilarang menyentuh atau membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan terpaksa, dilarang berpuasa, dan dilarang berhubungan seksual. Akan tetapi, jika seorang wanita setelah ia melahirkan dan darahnya berhenti atau setelah melahirkan tanpa mengeluarkan darah maka nifasnya dianggap telah selesai dan sudah berkewajiban untuk menjalankan kewajibannya kembali sebagai seorang muslim, seperti Sholat dan berpuasa.

 

C.    Istihadhah

Istihadhah adalah darah yang terus menerus keluar dari vagina seorang wanita yang bukan pada waktunya, baik waktu nifas maupun haid. Selain itu, darah istihadhah juga dapat diartikan sebagai darah yang keluar melebihi atau bahkan kurang dari masa haid maupun nifas. Dan darah istihadhah tidak keluar pada wanita yang belum berusia sembilan tahun. Oleh karena itu, darah yang keluar merupakan darah yang rusak atau penyakit, yang mana darah istihadhah ini umumnya berwarna kuning, dingin, encer, dan keluarnya lemah. Dari ciri-ciri tersebut, terlihat jelas bahwa darah istihadhah berbeda dengan darah haid. Artinya jika seorang wanita mengalami isthadhah ia tetap memiliki kewajiban seperti sholat dan berpuasa. Dengan demikian wanita yang mengalami istihadhah dapat disebut sebagai wanita mustahadhoh, yang mana hukumnya seperti orang yang suci. Selain penjelasan diatas, wanita yang mengalami istihadhah terdapati beberapa pembagian, diantaranya:

  1. Mubtada’ah mumayyizah, artinya seorang wanita yang baru mengeluarkan darah dan dia bisa membedakan darah yang kuat dan darah lemah.
  2. Mubtada’ah ghoiru mumayyizah, artinya baru mengeluarkan darah dan tidak bisa membedakan darah kuat dan lemah. Namun diketahuinya darah hanya satu sifat.
  3.  Mu’tadah ghoiru mumayyizah, artinya sudah pernah haid dan suci serta dia mengingat pada kira-kiranya waktu haid dan suci. Namun tahuya dia pada darah hanya satu sifat.
  4.  Mu’tadah mumayyizah, artinya seoranng wanita yang sudah pernah haid dan suci serta bisa membedakan antara darah yang kuat dan darah lemah.
  5.  Mutahayyiroh, artinya sudah pernah haid dan suci, namun lupa pada kira-kira haid atau waktu haid.[10]

Selain itu, seorang wanita yang dalam keadaan istihadhah memiliki beberapa spesifikasi hukumnya sendiri, yaitu:

  1. Dia tidak diwajibkan mandi, karena dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja dia harus berwudhu setiap akan mengerjakan shalat.
  2.  Hendaknya ia membasuh tempat-tempat atau bagian tubuh yang terkena darah dengan sungguh-sungguh dan mensucikannya dengan sebaik-baiknya.
  3.  Ia tidak diperbolehkan berwudhu sebelum masuk shalat dan bahkan sebaiknya ia berwudhu sebelum mengerjakan sholat secara langsung.
  4.  Sang suami boleh menyetubuhinya
  5. Mustahadhah diperbolehkan mengerjakan aktifitas yang dilakukan kaum muslimin pada umumnya. Seperti puasa, membaca dan menyentuh Al-Quran, thawaf di Ka’bah, dan berbagai ibadah lain, baik yang wajib maupun yang sunnah.[11]

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

                Darah yang keluar dari vagina wanita itu memiliki tiga macam, yaitu haid, nifas dan istihadhah. Haid yang terjadi pada seorang wanita umumnya keluar setelah usianya kira-kira sembilan tahun, sehingga dengan mengalami haid seorang wanita sudah masuk usia baligh. Yang mana haid keluar dari vagina wanita pada saat keadaan sehat dan biasanya terjadi sebulan sekali. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar pada saat maupun melahirkan. Hal ini terjadi karena kodrat seorang wanita salah satunya adalah mengandung dan melahirkan anak. Dan yang terkahir adalah istihadhah adalah darah yang keluar secara terus menerus dan dikatakan sebagai darah rusak. Sehingga darah istihadhah berbeda dengan darah haid dan nifas.

 

 

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Jad, Syaikh. Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2008

Mardian, Andi. Buku Daras Fiqih Ibadah. Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta. 2014

Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqh Ja’fari. Jakarta: Lentera. 1996

Ibrahim Shahih, Suad. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah. 2011

http://www.almunawar.or.id/makalah-penting-seputar-kajian-tentang-haid-nifas-dan-istihadhah/,

 

 

 

 

 



[1] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008). hal.68

[2] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008). hal.68

[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Ja’fari, (Jakarta: Lentera,1996), hal. 82-83

[4] Andi Mardian, Buku Daras Fiqih Ibadah, (Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta, 2014). Hal.22-23

[5] Suad Ibrahim Shahih, Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.221-222

[6] Suad Ibrahim Shahih, Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.207

[7] Suad Ibrahim Shahih, Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.212

[8] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008). hal.73-75

[9] Suad Ibrahim Shahih, Fiqh Ibadah Wanita,(Jakarta: Amzah, 2011), hal.300-301

[11] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Legkap Menjadi Muslimah Shalihah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008). hal 75-76

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...