BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Subjek hukum adalah orang yang
memenuhi hak dan tanggung jawab atas hukum yang berlaku. Apabila dengan keadaan
fisik dan psikisnya, seseorang telah layak menerima hak dan menjalankan
kewajibannya, ia dapat dikategorikan sebagai subjek hukum. Menurut Hans Kalsen
"Segala hal yang berkaitan dengan Badan Hukum adalah hak dan kewajiban manusia. Dengan demikian, sentralitas subjek dan objek hukum adalah manusia."
Hukum yang ketetapannya pasti benar dan menjadikan manusia sebagai subjek dan objek hukum adalah hukum Allah yang telah di gambarkan dalam surat Al-A'raf ayat 157 yang menjelaskan bahwa perintah untuk manusia agar mengerjakan perbuatan yang benar dan meninggalkan perbuatan yang jahat dan dzalim, mencari segala sesuatu yang halal dan meninggalkan yang haram, menjauhkan beban hidup manusia dengan taat kepada hukumnya, dan memberi pahala bagi subjek atau pelaksana hukum yang ikhlas dan didasarkan kepada yang tinggi.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mahkum 'alaih?
2. Apa syarat mukallaf?
3. Apa saja macam-macam Ahliyah?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mahkum'alaih.
2. Untuk mengetahui syarat mukallaf.
3. Untuk mengetahui macam-macam atau pembagian pada
Ahliyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkum 'Alaih
Yang dimaksud dengan mahkum 'alaih (subjek
hukum) adalah orang mukallaf yang dibebani hukum. Karena dialah yang
perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam
cakupan perintah atau larangan.[2]
Orang yang terkena beban hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal. Baik
dari segi usia, mukallaf dipandang telah memiliki kemampuan lahir dan batin
untuk mengerjakan taklif-taklifnya, dari segi akal, mukallaf telah memiliki
kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta memahami jenis hukum suatu
objek perbuatan.
Ada beberapa orang yang tidak layak
menjadi mukallaf, karena adanya sebab-sebab yang melekat pada dirinya sehingga
menghalangi ia untuk melakukan beban taklif. Sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dari
'Aisyah yang menjelaskan mengenai pembebanan hukum untuk tiga jenis
mukallaf, yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, anak kecil sehingga
berakal atau dewasa, dan orang gila sehingga telah sembuh.[3]
B.
Syarat- Syarat Mahkum 'Alaih
Ada dua hal yang harus terpenuhi
pada seseorang untuk dapat disebut mukallaf (subjek hukum), yaitu:
1. Ia memahami titah
Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan
tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk
mengetahui dan memahami. Sebagaimana sabda Rasulullah:
الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له
" Agama itu didasarkan pada
akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal"
Akal pada diri seseorang manusia
tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku taklif jika akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Seorang manusia
akan mencapai tingkat kesempurnaan akal bila telah mencapai baligh.[4]
Pada dasarnya seseorang yang telah
dewasa dan berakal akan mampu memahami titah Allah yang menyebabkan ia telah
memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Paham itu dapat dicapainya secara
langsung, maksudnya ia secara langsung memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an
atau Hadis Nabi yang berkaitan dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat
maupun yang tersirat. Disamping itu dapat dianggap telah memahami taklif jika titah Allah itu sudah disampaikan kepadanya dengan cara apapun.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah Ushul disebut ahlun Li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantaaan itu ada dua macam yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
C.
Pembagian Ahliyah Al-Wujub
1.
Ahliyah al-wujub naqish (kecakapan
dikenai hukum secara lemah),
Ahliyah al-wujub naqish yaitu
kecakan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban
atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.[5]
Contoh:
Kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk
menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu
telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia
belum lahir. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena
ia belum bernama manusia.
Kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap
menerima hak adalah orang yang mati tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan
kematiannya itu ia tidak akan membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih
hidup.
2. Ahliyah
al-wujub kamilah (kecakapan dikenai hukum secara sempurna)
Ahliyah al-wujub
kamilah yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban
dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena
kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia
lahir sampai meninggal.
Contoh:
Anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara
pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenai
kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta, menurut pendapat ulama pelaksanaannya tersebut dilakukan oleh orang tua atau walinya.
D. Pembagian Ahliyah
Al-Ada'
Ahliyah al-ada' atau kecakapan
untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seorang manusia untuk diperhitungkan
segala tindakannya menurut hukum. Yang berarti bahwa segala tindakannya, baik
dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.[6]
Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga tingkat.
Dimana setiap tingkatnya dikaitkan kepada batas umur. Yaitu:
1. Adim al-ahliyah (tidak cakap sama sekali)
Yaitu manusia sejak lahir sampai
mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam batas umur ini, seorang anak
belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan
kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut mukallaf atau
belum dituntut melaksanakan hukum. Disamping perbuatan anak-anak dalam umur ini
tidak dikenai hukum, ucapannya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu
transaksi yang dilakukannya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum.
2. Ahliyah al-ada' naqishah (cakap
berbuat hukum secara lemah)
Yaitu manusia telah mencapai umur
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan "lemah"
dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan
taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian
lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan, uacapan, atau perbuatannya
terbagi menjadi 3 tingkat, yaitu:
a. Tindakan yang semata-mata
menguntungkan kepadanya, umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua
tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah
dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
b. Tindakan yang semata-mata
merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya. Segala tindakannya, baik
dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak
memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.[7]
c. Tindakan yang mengandung dan
kerugian.umpamanya upah mengupah yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak
lain menembah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini
tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesalahannya tergantung kepada
persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
3. Ahliyah al-ada' kamilah (cakap berbuat hukum secara sempurna)
Yaitu manusia yang telah mencapai
usia dewasa. Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda
yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah mulai haid dan para laki-laki
dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada
petunjuk Al-Qur'an, yaitu sampai mencapai usia pernikahan atau umur yang pada
waktu itu telah mungkin melangsungkan pernikahan. Tanda dewasa yaitu haid bagi
wanita dan mimpi bersetubuh bagi laki-laki adalah tanda seseorang sudah dapat
melakukan perkawinan.[8]
Apakah sesudah mencapai itu,
seseorang telah dapat bertindak hukum pada hartanya? Hal ini menjadi
pembicaraan dikalangan ulama fiqih yang muncul berkaitan dengan firman Allah
dalam surat an-nisa (4):6:
وابتلوا
اليتا مى حتى اذا بلغوا النكاح فإن آنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم اموالهم
"
Untuk anak yatim (anak-anak) sampai ia mencapai umur
dewasa. Bila kamu mengetahui ada tanda cerdas padanya, berikanlah harta
kepadanya."
Ayat ini
menjelaskan harta anak yatim diberikan kepadanya sesudah ia mencapai usia
dewasa dan diketahui bahwa ia telah cerdas. Segolongan ulama diantaranya Imam
Syafi'i mengatakan bahwa penyerahan harta kepada orang yang sudah baligh hanya
dapat dilakukan setelah mencapai tingkat cerdas. Diantaranya lagi Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa harta telah dapat diserahkan kepada orang yang telah
dewasa bila ia telah mencapai usia 25 tahun, meskipun dalam usianya masih belum
memiliki tanda-tanda Rusyd (cerdas).[9]
BAB III
KESIMPULAN
Realitasnya subjek hukum
atau mahkum 'alaih atau pelaksana hukum adalah orang yang sudah dewasa atau
baligh dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (mumayyiz). Dan
dalam pandangan Hans Kalsen dikatakan bahwa hukum bukan hanya memperhatikan
subjeknya, tetapi sekaligus objeknya. Subjek hukum harus memenuhi syarat-syarat
fisik dan psikialnya, sedangkan objeknya tidak mutlak demikian. Objek yang
merupakan kebendaan dan kepemilikan, baik benda hidup atau benda mati,
bergerak, senantiasa dikaitkan kepada manusia yang sudah pantas menjadi subjek
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Samsul. Dkk, Metodologi Hukum Islam.
Yogyakarta: Kalimedia. 2016
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih Jilid I. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu. 1997
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam. Bandung:
Pustaka Setia. 2008
[1] Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 171-172.
[2] Samsul Bahri.dkk, Metodologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), h. 59.
[3] Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 176.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I,
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 356-357.
[5] Ibid., h. 357.
[6] Ibid., h. 358.
[7] Ibid., h. 359.
[8] Ibid., h. 360.
[9] Ibid., h. 361.
No comments:
Post a Comment