BIOGRAFI
TOKOH MUSLIM
IMAM
HANAFI
Disusun
untuk memenuhi tugas UAS Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Bp. H. Ipmawan Iqbal, SP, M.Ag.
Disusun
Oleh:
Nama : Latifah Dwi Cahyani
NIM : 192121027
Kelas : HKI 1A
HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2019
Imam Hanafi dilahirkan di Kota Kufah pada tahun 80
Hijriyah (699 Masehi), demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama asli
beliau sejak kecil ialah Nu'man Bin Tsabit bin Zaid bin Mahan at-Taymi. Ayah
beliau keturunan dari bangsa Persia (Kabul-Afghanistan) tetapi sebelum beliau
dilahirkan, ayahnya telah pindah ke Kufah. jadi, jelaslah beliau bukan
keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa Arab)
dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga bangsa Persia. ketika beliau
dilahirkan pemerintahan Islam berada di tangan kekuasaan Abdul Malik bin Maryam
(Raja Bani Umayyah yang ke 5).
Imam Hanafi memiliki beberapa orang Putra di antaranya
bernama Hanifah. Oleh karena itu beliau mendapat sebutan dari orang-orang
dengan panggilan Abu Hanifah. Hal ini menurut suatu riwayat. Menurut riwayat
lain penyebab beliau mendapat sebutan Abu Hanifah karena beliau adalah seorang
yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan
kewajibannya dalam agama. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan gelar Abu
Hanifah, kemudian setelah beliau menjadi seorang alim ulama besar dan terkenal
di penjuru kota besar dan di sekitar Jazirah Arabia maka beliau dikenal dengan
gelar Imam Abu Hanifah. Kemudian setelah ijtihad dan buah penelitian beliau
terhadap hukum-hukum keagamaan diakui serta diikuti oleh banyak orang, maka
ijtihad beliau dikenal seorang dengan sebutan mazhab Imam Hanafi.
Keadaan pribadi dan keluhuran Budi Imam Hanafi menurut
riwayat, pribadi dan karakter fisik Imam Hanafi adalah lurus tubuhnya tingginya
sedang mukanya bagus terlihat padanya sifat-sifat ketegasan di dalam hati
sanubarinya, cerdas pikirannya, lumut cita-citanya dan batang tubuhnya
kelihatan dialiri oleh darah ketegasan ketangkasan dan kebenaran. Badannya
tegap dan gagah menunjukkan dadanya penuh ilmu pengetahuan Jika berbicara
beliau berkata-kata yang manis dan sedap didengar karena fasih atau lancar
lidahnya dan merdu suaranya dan tangkas kelakuannya rajin bekerja dan rapi
hasil pekerjaannya. Tentang keluhuran budi pekerti Imam Hanafi diantaranya
seperti yang disebutkan tadi. Keluhuran budi pekerti akhlak beliau dengan
singkat dapat diteladani atau diambil dari perkataan-perkataan beliau, “Mudah-mudahan
Allah mengampuni, barangsiapa yang mengatakan padaku dengan kebencian dan
mudah-mudahan Allah mengasihani yang
mengatakan atas diriku dengan kebaikan. Imam Hanafi sadar dirinya tidak akan
terlepas dari celaan orang-orang meskipun hanya satu orang yang benci dan
dengki atas dirinya. Namun beliau tetap bersikap tidak akan mempedulikan suara “miring”
orang-orang dan yang beliau perhatikan benar-benar adalah ayat-ayat firman
Allah Swt.
Sejak kanak-kanak Imam Hanafi menyukai ilmu pengetahuan
terutama pengetahuan yang bersangkutan dengan hukum-hukum agama Islam. Hal ini
karena beliau adalah putra seorang saudagar besar di kota Kufah. Tentu sejak
kecil beliau selalu dalam kondisi lapang dan jarang mengalami kekurangan
materi. Karena kondisi lapang tersebut, beliau dapat mempergunakannya untuk
mempelajari dan menuntut ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya sampai masa dewasanya.
Adapun para ulama yang terkenal yang pernah beliau ambil dan serat ilmu
pengetahuannya pada waktu itu kira-kira berjumlah 200 orang ulama besar. Menurut
riwayat guru-guru beliau di kala itu ialah para ulama atau tabiin-tabiin (orang-orang
yang hidup di masa setelah para sahabat nabi). Di antara mereka Imam Atha bin
Abi Rabah, Imam Nafi Maula Ibnu Umar dan lainnya lainnya. Adapun orang alim
ahli fiqih yang menjadi guru beliau serta paling masyhur ialah Imam Harun Bin
Abu Sulaiman. Imam Hanafi berguru kepada beliau kurang lebih 18 tahun lamanya. Di
antara orang yang pernah menjadi guru Imam Hanafi ialah Imam Muhammad Al-Baqir,
Imam Adi bin Tsabit, Imam Abdurrahman bin Harmas, Imam Amer Imam Mansyur bin Mu'tamir, Imam Salamah bin Suhail dan
lain-lainnya dari generasi ulama tabiin dan tabi’it tabiin.
Beliau adalah putra seorang saudagar besar pedagang bahan
pakaian, maka sejak muda ia terdidik dalam urusan dagang dan niaga. Walaupun
telah menjadi seorang pencinta ilmu dan seorang alim terkemuka, beliau juga
ahli dalam berniaga dan berdagang. Mata pencaharian beliau pada masa itu ialah
pedagang kain pakaian bersama handai taulannya. Ada sebuah riwayat menyebutkan
beliau adalah orang yang pertama kali mendapat pengetahuan membuat batu ubin.
Selain masyhur sebagai seorang alim ulama besra yang berharta dan lapng
penghidupannya, beliau terkenal juga sebagai seorang yang dermawan.
Imam Hanafi adalah seorang dermawan, suka menolong orang
yang sedang mengalami kekurangan rezeki dan membantu kepada siapa saja yang
memang membutuhkan bantuan darinya. Diantara kedermawanannya menurut riwayat, beliau
seringkali memberikan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan para gurunya yang
ahli hadits dan ahli fiqih. Menurut Ishaq bin Israel “Imam Abu Hanifah adalah
seorang dermawan, ia sangat baik terhadap para sahabatnya apabila hari raya
tiba ia memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sahabatnya dan keluarga
mereka. Diantara riwayat kedermawanan Imam Hanafi dan beliau sendiri terkenal
sebagai seorang yang tidak suka menerima hadiah dari orang lain.
Imam Hanafi mula-mula mempelajari ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan hukum agama, lalu beralih mempelajari pengetahuan yang
berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan (ilmu kalam). Beliau memandang dan
berpendapat, “ilmu kalam” merupakan satu-satunya ilmu penegtahuan yang paling
tinggi dan amat besar manfaatnya bagi lingkungan agama dan ilmu. Inilah yang
termasuk dalam bagian pokok-pokok agama (ushuludin).
Sementara pada waktu lain, pandangan imam Hanafi setelah
mempelajari ilmu kalam, beliau beralih dan tertarik mempelajari ilmu
pengetahuan “fiqih”. Ilmu fiqih ialah ilmu agama yang membicarakan dan membahas
soal-soal yang berkaitan dengan hukum-hukum dalam Islam, baik dalam urusan
ibadah maupun muamalah. Ketika itu, beliau rajin mempelajari ilmu fiqih dan
sangat serius mempelajari dan mengkajinya dengan seluas-luasnya. Hingga pada
akhirnya, beliau menjadi seorang alim ulama besar di bidang fiqih. Sebagai
bukti, kepandaian beliau terhadap ilmu fiqih pun diakui oleh para cerdik-pandai
dan alim ulama di kala itu. Diantaranya yaitu Imam Hammad bin Abi Sulaiman,
seorang guru beliau yang paling lama. Imam Hanafi adalah seorang yang mempunyai
ilmu penegtahuan yang luas, dari ilmu kalam, ilmu lughat Arab, ilmu hikmah, dan
kesusastraan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan sulit dicari bandingannya
pada masa itu.
Imam Hanafi rajin memberi pengajaran kepada para murid
dan pelajar, kerapkali beliau memberi penerangan kepada masyarakat Islam, maka
amal beliau dapat menarik dan mengagumkan orang banyak. Adapun murid-murid Imam
Hanafi yang kini masih dikenal di seluruh dunia Islam, antara lain: Imam Abu
Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Zafar bin Hudzail dan Imam Hasan bin
Zayad. Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Hanafi, yang mensyiarkan
dan mengembangkan pemahaman dan buah ijtihad beliau yang utama (dakwah Islam).
Mereka mempunyai kelebihan dalam memecahkan atau mengupas soal-soal ilmu fiqih
atau hukum yang berkaita dengan agama.
Imam Hanafi memiliki cara mengajar yang khusus untuk
muridnya yang telah dewasa. Beliau tidak menyuruh mereka begitu saja mengikuti
perkataan dan pendapat beliau. Akan tetapi, mereka diajari cara kepemimpinan dan
dilatih menjadi orang yang berfikir merdeka. Mereka diberi kebebasan untuk
berpendapat agar terlepas dari jeratan yang akan mengikat kecerdasan otak
mereka. Melalui cara itu, mereka dapat meneliti dan membahas hukum-hukum agama
dengan baik dan luas sehungga mereka mengerti dan mengikuti metide kepemimpinan
Allah dan Rasulullah Saw.
Pendirian dan sikap Imam Hanafi terhadap bid’ah dan
qiyas. Dalam soal bid’ah dalam urusan agama, Imam Hanafu adlah seorang yang
bersikap amat keras dan tegas. Sebagai bukti, beliau berkata, “Hendaklah kamu
mengikuti atsar dan jauhilah olehmu tiap perkara baru, karena perkara yang baru
dalam urusan ibadah disebut bid’ah”. Beliau selalu memberi conth keteladanan
kepada kita, supaya dalam mengerjakan urusa agama yang berkaitan dengan ibadah,
kita benar-benar mengikuti kepemimpinan dan suri tauladan yang dicontohkan oleh
Nabi Saw, dan yang telah diikuti oleh para sahabat Nabi. Oleh karenanya jangan
kita mengikuti kemauan atau pendapat orang lain yang tidak berhak mengatur
urusan ibadah, sekalipun dari orang yang dipandang ulama besar. Karena urusan
agama yang mengikuti kemauan atau pendapat seseorang adalah perkara baru,
sedangkan setiap perkara baru dalam urusan agama bid’ah hukumnya, dan tiap-tiap
bid’ah itu sesat dari jalan yang lurus.
Mengenai qiyas diriwayatkan, Imam Hanafi apabila memberi
fatwa dengan hukum secara qiyas dalam soal-soal yang baru, beliau lalu
berkata,” Inilah pendapat dari Abu Hanifah. Dialah sebaik-baiknya sepanjang
pertimbangan kami. Barang siapa yang datang membawa keterangan yang lenih baik dari padanya, ialah yang utama
diikuti dengan benar. “yang lebih baik dari padanya, ialah yang utama diikuti
dengan benar.” Dan diriwayatkan, Imam Hanafi pernah berkata, “Kami tidak akan
menjatuhkan hukum dengan qiyas, melainkan ketika terpaksa daam keadaan memaksa,
tidak ada hukum yang selainnya lagi.”
Dengan riwayat tersebut menunjukkan bahwa Imam Hanafi
tidak mendahulukan hukum qiyas selama ada nash. Hukum qiyas dilakukan oleh
beliau, jika keadaan sudah memaksa,
yakni hukum yang didapati dari sunnah (hadist yang shahih) belum/tidak didapati
keputusan dari para sahabat Nabi terutama dari Khulafaur Rasyidin belum/tidak
didapati, maka barulah beliau bertindak mempergunakan hukum secara qiyas,
dengan cara melakukan perbandingan antara yang satu dengan yang lain.
Menurut riwayat, Yazid bin Amr selaku gubernur di Irak menawarkan pangkat tinggi kepada Imam Hanafi. Pada suatu saat, Imam Hanafi telah dipilih dan ditunjuk menjadi Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baitul Maal), tetapi pengangkatan itu ditolak oleh beliau. Samapi berulang kali gubernur Yazid menawarkan pangkat tersebut, namun tetap ditolak. Hal ini karena sifat kewara’an beliau, maka beliau tetap tidak bersedia dengan pangkat atau kedudukan yang resmi dari negara. Kemudian diwaktu lain, gubernur Yazid menawarkan lagi pangkat Qadhi (penghulu) kepada Imam Hanafi, tetapi beliau tetap menolak tawaran itu. Oleh sebab itu, tumbuh perasaan kurang senang dan timbul kecurigaan hingga beliau selalu diamati segala gerak-geriknya oleh pihak gubernur. Kemudian suatu hari, beliau diancam dengan hukum dera atau dipenjara oleh pihak gubernur. Namun ketika beliau mendengar ancaman demikian, beliau justru menjawab, “demi Allah, aku tidak akan menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekali pun aku sampai dibunuh (mati) karenanya.” Demikianlah sifat keqanaah Imam Hanafi.
Itulah ujian pertama kali yang ditempuh oleh Imam Hanafi, padahal saat itu usia beliau berusia agak lanjut, sudah lebih dari 50 tahun. Sebesar ujian yang telah ditempuhnya, sebesar itu pula tingkatan yang akan diperolehnya. Orang ynag berani menempuh ujian dan ia tetap dalam pendiriannyaadalah bukan sembarang orang, tetapi pasti orang pilihan.
Diriwayatkan, Abu
Ja’far al-Manshur memanggil Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats-Tsauri, dan Imam Syarik
an-Nakha’i, untuk datang menghadap baginda. Setelah mereka bertiga menghadap
baginda, masing-masing dari mereka diberi kedudukan dan surat pengangkatan.
Adapun Imam Abu Hanifah tidak mau menerima jabatan apapun. Kemudian baginda
memerintahkan kepada pengawalnya supaya mengantarkan mereka ke kursinya
masing-masing dan berkata kepadapengawanya, “Barangsiapa menolak jabatan yang
telah aku tetapkan ini, maka pukullah dia seratuskali pukul dengan cermat.”
Imam Syarik menerima jabatan itu, sementara Imam Sufyan melarikan diri ke Yaman, dan Imam Abu Hanifah tidak mau menerima jabatan dan tidak pula melarikan diri. Sebab itu beliau tetap dimasukkkan penjara dan dijatuhi hukuman seperti yang telah diperintahkan oleh baginda al-Manshur. Yakni, didalam penjara beliau setiap hari didera dan dicambuk dengan cermat, leher beliau dikalungi dengan rantai besi yang berat. Akan tetapi, meskipun beliau dijatuhi hukuman berat, namun beliau tetap berpendirian, seujung rambut pun pendirian beliau tidak berubah, bahkan makin tegak dan tegas.
Pada masa itu, ibunda
Imam Hanafi masih hidup dalam usia lanjut. Setiap pagi hari, sang ibunda
disuruh datang oleh baginda al-Manshur untuk membujuk anaknya (Imam Hanafi)
supaya mau menerima jabatan yang telah diberikan oleh baginda. Namun, segala
bujukan dan daya upaya sang ibu senantiasa ditolak dengan keterangan yang baik.
Pada suatu hari sang
ibu berkata kepada beliau, “ Wahai Nu’man! Anakku yang kucinta! Buanglah dan
lemparkan jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai itu. Karena tidak ada
lain yang kau dapati selama ini, melainkan penjara, pukulan, cambuk, dan kalung
rantai besi itu!” perkataan sang ibu, beliau jawab dengan lemah lembut dan
senyuman manis, “Oh ibu! Jika saya menghendaki kemewahan hidup di dunia, tentu
saya tidak dipukul dan tidak dipenjara. Namun, saya menghendaki keridhaan Allah
Swt semata-mata dan memelihara ilmu pengetahuan yang telah saya dapati. Saya
tidak akan memalingkan penegtahuan yang selama ini saya pelihara kepada
kebinasaan yang dimurkai oleh Allah Swt. Demikianlah jawaban Imam Hanafi
terhadap ibunya.
Hingga pada suatu hari
beliau dipanggil oleh baginda supaya menghadapnya. Beliau datang menghadap
baginda, lalu beliau diberi satu gelas minuman yang beracun. Dlam kondisi itu,
beliau dipaksa untuk memnum minuman tersebut, lalu beliau meminum minuman itu.
Sehabis minum, beliau disuruh kembali ke penjara. Sesampainya di penjara, beiau
merasa tidak enak badannya dan ketika itu juga beliau wafat dengan tenang “inna lilllahi wa inna ilaihi raji’un.”
Beliau wafat di dalam
keadaanmenderita dan di dalam penjara, karena perbuatan penguasa kejam dan
ganas. Ketika itu berusia 70 tahun. Menurut riwayat, tatkala jenazah Imam
Hanafi dimandikan, yang menjadi kepala oragn-orang ynag memandikannya ialah
Hasan bin Imarah. Ketika sudah dimandikan, ia berkata, “Mudah-mudahan Allah
mengasihani engkau dan mengampuni semua kesalahan engkau, wahai orang yang senantiasa
merasakan lapar selama 30 tahun! Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang
yang tidak menyusahkan banyak orang di masa peninggalanmu!”
Sepanjang riwayat yang
bisa dipercaya, ketika telah merasa bahwa dirinya akan samapi ke ajalnya,
beliau bersujud kepada Allah. Seketika itu wafatlah beliau dalam sujud
khusyuknya. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 Hijriyah (767 M), dengan
tidak meninggalkan keturunan kecuali seorang anak lelaki yang bernama Hammad (anak
angkat). Pada tahun itu juga menurut riwayat lahir Imam asy-Syafi’i. Jenazah
beliau dmakamkan di tempat Pekuburan al-Khaizaran di Kota Baghdad.
No comments:
Post a Comment