BOOK REVIEW_Teka-teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar

 BOOK REVIEW

Book Review Hukum Perwakafan di Indonesia

Judul Buku      : Teka-teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar

Pengarang        : Ragil Pamungkas

Penerbit           : Penerbit Narasi        

Kota penerbit  : Yogyakarta

Tahun Cetak 1 : 2008

ISBN               : 979-168-110-4

Halaman          : viii+144 halaman


Teka-teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar

Disusun Oleh :

Latifah Dwi Cahyani[1]

            Saya memilih buku tersebut untuk memenuhi tugas review mata kuliah Islam dan Budaya Jawa, karena di dalamnya mengandung tema Islam dan Budaya Jawa yang membahas tentang Walisongo dan ajaran Syekh Siti Jenar. Walisongo hingga kini dikenal sebagai para tokoh yang memegang peranan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Dua di antaranya, yakni Sunan Bonang dan muridnya Sunan Kalijaga adalah sosok yang cenderung lebih menarik perhatian masyarakat religius Jawa. Paling tidak itu kerja keras mereka dalam berupaya menyiarkan Islam di masa itu, meski tanpa bermaksud membedakan peran dan jasa Sunan lainnya. Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkan tentang teka-teki yang muncul di saat Sunan Bonang mengajarkan beberapa ilmu kepada Sunan Kalijaga. Melalui pendekatan terhadap dialog yang terjadi di antara kedua Sunan tersebut, buku ini mengupas bebrapa hal mendasar, terutama yang terkait dengan status keduanya sebagai penyiar Islam.

            Masyarakat jawa mengenal adanya ajaran islam kurang lebih sejak tahun 475 H atau 1082 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukanya makam Fatimah Binti Maimun. Angka tahun itu menunjukkan jauh sebelum tokoh Wlisongo muncul. Dengan demikian, keberadaan Islam di Jawa adalah sebelum para Wali mengembangkan Islam.Para wali dikatakan sebagai penyempurna ajaran Islam pada waktu sebelumnya yang hanya dikenal oleh masyarakat Jawa khususnya di daerah pesisir. Karena para wali, Islam kemudian berkembang ke pelosok-pelosok desa dan daerah yang sebelumnya tidak terjangkau. Masyarakat Jawa pada waktu sebelum mengenal islam mengikuti ajaran Hindu dan Budha. Jadi dapat dikatakan bahwa pada saat menuju Ialam sebenarnya, masyarakaJawa berada dalam agama sinkretisme yang merupakan gabungan dari ajaran agama Islam, Hindu, Budha. Secara perlahan adat istiadat yang masih berbau syirik diarahkan menuju kepada ajaran yang benar.[2]

            Dalam berberapa buku yang menjelaskan keberadaan Syekh Siti Jenar, Walisongo, ditemukan ungkapan bahwa Islam terdapat empat tataran pokok, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Syariat adalah sebagai sembah raga, dalam Islam disebut dengan sholat.Tarikat yaitu sebagai sembah sukma. Hakikat dikatakan sebagai sembah hati. Makrifat adalah sembah rasa. Kesempurnaan seseorang yang memeluk ajaran Islam adalah dengan menjalankan semua tataran tersebut, namun semua tidak lepas dari kemampuan yang dimiliki oleh setiap pemeluknya. Secara tidak lansung menyatakan bahwa bagi mereka yang tidak sampai pada tataran makrifat tetap diterima amalan dan kebaikanya. Hingga saat ini memang tidak ada yang menyatakan secara tegas dan mengungkapkan ”ini adalah ajaran dan tataran makrifat!”. Semua pada dasarnya adalah satu kesatuan yaitu Islam. Dengan memperdebatkan maksud tiap-tiap tataran dalam islam merupakan hal yang sia-sia dilakukan. Islam adalah satu, dan semua orang bisa menjalaninya.[3]

            Penyebaran Islam di Jawa dari zaman sebelum Walisongo dan sesudahnya memiliki perbedaan cara dan tataran. Semua disesuaikan dengan keadaan zaman yang sedang dihadapi, yang sama adalah cara memeluk Islam. Dari berbagai negara dan zaman, khususnya setelah Nabi Muhammad, cara untuk memeluk islam yaitu; mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, puasa, zakat, dan menunaikan haji. Semua ini wajib dilakukan secar urut, tetapi pada aturan zakat dan haji diberikan kepada orang yang sudah mampu melaksanakannya. Pengembangan Islam di Jawa yang erat hubungannya dengan keberadaan walisongo juga menggunakan aturan ini. Dan setiap orang yang hendak memeluk agama Islam harus menjalani aturan-atiran  dasar tersebut. Ajaran para wali baik tertulis maupun tidak tertulis menjeaskan beberapa ajaran tentang Islam. Semua ajaran pada dasarnya mengikuti ajaran nabi, tetapi dalam praktiknya mengalami bebarapa perubahan. perubahan tersebut disesuaikan dengan situasi dan masyarakat pada zamannya. Dalam menyampaikan ajaran islam para wali memperkenalkan beberapa hal yang bersifat menyenangkan, menarik, dan baru. Hal tersebut sebagai alat untuk mendekati dan mendapatkan perhatian masyarakat Jawa.[4]

            Dalam penelusuran jejak-jejak ajaran dan peninggalan para wali dapat dilihat dalam berbagai bentuk budaya yang hingga saat ini masih melekat kuat dalam sebagai masyarakat Jawa. dari hasil olah pikir, didapatkan sebuah budaya yang merupakan cipta, rasa, dan karsa yang sepenuhnya memiliki nafas religi dan sedikit mengandung ajaran untuk lebih mengenal hidup. Ada bebarapa contoh budaya yang ditinggalkan oleh para wali yang mengandung pesan religius antara lain; gendhing (terdiri dari Patalon dan Macapat), tokoh-tokoh dan kisah dalam pewayangan,  lagi-lagu Jawa, alat musik, dan lain-lain.[5]

            Dari sekian banyak ajaran yang ada, kita dapat menelusuri sejauh mana kesamaan dengan ajaran makrifat, ajaran yang dinilai sebagai tataran tertinggi dalam islam. Masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat membedakan perbedaan ilmu tasawuf dengan ilmu makrifat. Keduanya merupakan satu kesamaan dan dianggap sebagia ajaran yang tataran tertinggi. Dari tinggginya tataran yang ada dalam ilmu makrifat ini, maka secara tidak langsung keaslianya tetap terjaga. Namun, jika ilmu makrifat tidak dipahami secara benar maka akan menimbulkan sosok-sosok yang enggan menjalankan ajaran yang memiliki sifat atau tataran di bawahnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa nama Syekh Siti Jenar muncul pada masa masuk dan berkembangnya Islam di Jawa dan erat kaitannya dengan keberadaan Walisongo. Oleh karena itu kita harus mengetahui beberapa ajaran yang diberikan oleh Walisongo kepada masyarakat Jawa dan ajaran yang dikatakan Syekh Siti Jenar.[6]

            Dalam masyarakat Jawa, ilmu makrifat atau ajaran tasawuf sering dikatakan sebagai ilmu kasunyatan, ilmu kasunyatan yang mengajarkan kepada para anggotanya tentang kenyataan-kenyataan yang benar.Inti atau pokok ajaran Walisongo, khususnya berkaitan dengan ajaran makrifat antara lain; memiliki cara kehidupan sebagai manusia seutuhnya, membuang kebiasaan atau adat lama menjadi adat baru, mengendalikan nafsu yang ada dalam diri manusia, menjaga tingkah laku, perkataan, dan pendapat, serta manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna.Ajaran-ajaran dasar tesebut merupakan dasar semata, dan dalam pengembangan penguasaan ilmu makrifat, ternyata tidak memiliki batas.[7]

            Ajaran hidup atau yang sering disebut ajaran tasawuf dalam islam memiliki tujuan mencari kesejatian hidup. Dalam ajaran tasawuf, manusia akan dikenalkan lebih lanjut tentang kehidupan itu sendiri. Ajaran tasawuf sebenarnya sudah ada dalam setiap diri manusia. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan sama, tanpa pakaian, kosong tanpa pengetahuan, bersih dari dosa, dan hanya menggunakan insting untuk bertahan hidup. Selain itu di dalam diri manusia terdapat hati,nafsu yang terdiri dari empat jenis yaitu setan halus, setan kasar, hati siri, dan nalar. kesemuanaya ada dalam diri manusia secara gaib. Ubtuk membedakan antara hati dengan yang lainya memang bukan hal yang mudah dilakukan. Oleh karena itu ilmu makrifat yang sebenarnya dan murni tersimpan dalam sastra jendra atau secara luas dapat dikatakan sebagai barul qolbi (lautan hati).[8]

            Dikisahkan dalam perkembangan Islam di Jawa khususnya pada saat Demak Bintoro masih berupa kerajaan, terdapatlah wali yang menjadi tokoh-tokoh penyebar ajaran Islam. Para wali ini dikenal dengan Walisongo karena mereka terdiri dari  sembilan orang. Dari kesembilan wali ini, terdapat dua wali yang paling dikagumi oleh masyarakat Jawa sebagai wali yang berpengaruh, yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.[9]

            Sejarah mengemukakan bahwa kemunculan Syekh Siti Jenar adalah pada saat para wali sedang gencar-gencarnya menyebarkan dan meluruskan ajaran Islam di tanah Jawa. Dikatakan dalam berbagai buku bahwa diberikannya gelar Syekh Siti Jenar dikarenakan Ali Hasan pernah menjadi seekor cacing tanah. Sebelum Ali Hasan yang sekarang memiliki julukan Siti Jenar dinobatkan menjadi anggota dewan Walisongo, telebih dahulu Siti Jenar belajar kepada Sunan Giri. Karena ia merupakan   salah satu anggota yang bisa dikatakan juga sebagai murid baru, maka hanya diberikan ajaran yang sekiranya perlu.Siti Jenar pada waktu itu sudah merasa menguasai ilmu atau ajaran yang diberikan oleh Sunan Giri, untuk itu ia ingin mempelajari apa yang belum diketahuinya. Dari sekian banyak santri atau murid yang belajar kepada Sunan Giri,sudah tentu Sunan Giri memberikan wejangan tidak sama, dan tentunya menurut urutan yang berlaku dan kadar ilmu yang akan disampaikan.[10]

            Beberapa kesalahan Syekh Siti Jenar. Pertama, Syekh Siti Jenar tidak menggunakan cara yang baik untuk mencari ilmu. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar atau Ali Hasan. Semula ia mendengar pada saat Sunan Bonang sedang membahas ilmu bersama Sunan Kalijaga. Oleh Sunan Bonang kesalahan tersebut dimaafkan, tetapi setelah dimaafkan, Ali Hasan kemudian melakukan perbuatan yang sama, yaitu mencuri ilmu dari Sunan Giri yang tengah membahas ilmu bersama-sama muridnya.

            Kedua, Syekh Siti Jenar keluar dari syariat. Dalam beberapa buku dijelaskan bahwa Syekh Siti Jenar tidak menjalankan sholat dengan tetib dan baik. Sebelumnya ia melaksanakan sholat dengan baik ( sholat berjamaah, sholat Jum’at), tetapi setelah beberapa lama kemudian ia tidak muncul dan menghilang dari barisan jamaah. Syekh Siti Jenar adalah orang yang ingin belajar agama tetapi tidak ingin melaksanakannya dengan baik.

            Ketiga, Syekh Siti Jenar tidak mendapatkan ilmu pada tempat yang seharusnya. Pada waktu itu, Islam masih dalam kondisi berkembang, dari ajaran Hindu Budha menuju keajaran Islam. Dengan demikian, kebiasaan dari mayarakat jawa berubah secara perlahan menjadi sebuah kebiasaan baru. Proses perubahan ini berlangsung cukup lama dan tidak semua budaya yang berasal dari ajaran agama Hindu Budha dapat dimasukkan ke dalam ajaran Islam. Banyak masyarakat Jawa yang belum mengetahui Islam dan apa saja yang ada di dalamnya.

            Keempat, Syekh Siti Jenar tidak mencapai maksud dalam belajar ilmu. Sebuah ilmu memiliki sesuatu di dalamnya, yaitu arti, isi dan maksud. Percapaian maksud yang dialami oleh Syekh Siti Jenar tidak pernah terjadi. Siti Jenar dalam menguasai sebuah ilmu atau pengetahuan hanya sekedarnya, atau hanya tahu, tidak memahami maksud dan tujuan, tidak mencapai titik maksimal dari ilmu pengetahuan tersebut. Belum memahami sepenuhnya tentang hidup, Siti Jenar sudah menyampaikan kepada para muridnya tentang ajaran kematian, merasa sudah mengetahui sepenuhnya, sebutanya.

            Kelima, Syekh Siti Jenar tidak menghargai kedudukan orang lain, Dalam cerita dicontohkan dengan menoak panggilan Walisongo dan Raja Demak. Dalam Islam diajarkan dan diperintahkan untuk menjaga dan memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia. Dalam Al-Qur’an dijelaskan “Taatilah Allah,Rasul, dan pemimpin di antara kamu.” Dari sini jelas Siti Jenar telah melakukan pelanggaran yaitu tidak menaati ajaran Nabi (syariat) dan tidak taat pada pemimpin (wali dan raja).

            Keenam, Syekh Siti Jenar tidak menghargai kehidupan. Jika Ia menghargai kehidupan, maka: Ia tidak melakukan bunuh diri, tidak akan mengajarkan ajaran kematian kepada setiap orang, dan tidak menganjurkan untuk menemui kematian. Syekh Siti Jenar dinyatakan bunuh diri dengan misterius. Ini merupakan pernyataan yang direkayasa dalam perjalanan sejarah Walisongo yang kemudian di ceritakan oleh para penulis buku tentang Syekh Siti Jenar. Ia mengajarkan mengenai ilmu yang tidak dapat dipahaminya, dengan demikian maka akan berakibat buruk pada ilmu yang sebenarnya.

            Ketujuh, Syekh Siti Jenar menyatakan diri sebagia Allah. Dalam memahmi ungkapan manunggaling kawula lan Gusti, kita tidak perlu mencontoh Syekh Siti Jenar. Sebenarnya ia mengajarkan hal tersebut tidak mencapi titik maksud sebenarnya. Menurut sejarah yang diceritakan dalam berbagai buku, jika Siti Jenar mengaku bahwa dirinya adalah Allah, makaungkapan tersebut salah besar dan tidak benar.Namun jika kita ubah kata Allah dalam bentuk lain, mungkin kita akan sedikit bisa memahami Syekh Siti Jenar.[11]

            Ungkapan atau analisis secara umum mengenai buku tersebut yaitu Syekh Siti Jenar seperti yang kita ketahui adalah muncul pada saat Walisongo meluruskan ajaran Islam yang masih dapat dikatakan tercerai-berai. Dari penjelasan isi buku tersebut, dapat di ambil kesimpulan tentang Syekh Siti Jenar antara lain: Syekh Siti Jenar adalah istilah yang timbul pada saat para wali menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dikatakan istilah karena nama Syekh Siti Jenar menunjuk pada orang yang pernah belajar kepada para wali kemudian mereka keluar dari apa yang diajarkan oleh para wali. Nama Syekh Siti Jenar bukan karena Ali Hasan pernah berubah menjadi cacing secara fisik, tetapi jika Ali Hasan memang benar-benar ada, ia pernah memiiki sifat seperti cacing atau hewan lainnya. Sifat di sini adalah ungkapan untuk menyatakan cara kehidupan atau pola pikir. Tetapi Syekh Siti Jenar adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan orang yang sok tahu dalam Islam, sedangkan ia tidak melaksanakan perintah agama. Mengetahui perintah Tuhan tetapi tidak melaksanakannya, padahal ia mampu, maka ia dikatakan dan disebut dengan fasik. Sebutan ini merupakan terjemahan dari nama Syekh Siti Jenar.

            Kelemahan dari segi buku ini yaitu materi yang disampaikan dalam buku ini bersifat ”katanya” atau “jarene” dan tidak disertakan bukti ilmiah dan non ilmiah sebagai penguat pernyataan. Bahasa yang digunakan dalam menuliskan sastra yang mengungkapkan Syekh Siti Jenar adalah dengan bahasa Jawa kuno, sehingga tidak semua orang mampu memahami dengan baik, apalagi bila di baca orang bukan Jawa.Oleh karena itu, lebih baik buku tersebut diberi terjemahan bahasa Indonesia, sehingga dengan adanya terjemahan tersebut dapat membantu orang yang membaca yang bukan dari kalangan Jawa serta mampu mengerti maksud dari istilah Jawa tersebut. Jadi pembaca akan mudah memahami isi buku tersebut.

            Saya sebagai pembaca sangat mengapresiasi buku ini. Di dalam buku ini, selain memberikan ”warna baru” dalam referensi mengenai penyebaran Islam di tanah Jawa, juga hadir sebagai bentuk penentangan keras terhadap prinsip ajaran Syekh Siti Jenar. Buku ini menyoroti dan mengkritik eksistensi prinsip religi yang diusung Syekh Siti Jenar, terutama mengenai konsep Manunggaling Kawula lan Gusti yang hingga kini masih sangat kontroversial. Keunggulan dari buku tersebut adalah isi pembahasan atau materi yang disampaikan secara detail, rinci dan tidak terlalu panjang lebar, Sehingga para pembaca tertarik untuk membacanya,  karena halaman buku yang tidak banyak dan isi buku tersebut dijelaskan secara ringkas. Jadi, para pembaca akan mudah memahami alur dari isi buku ini.

            Terlepas dari pembahasan di atas, buku ini ditujukan bagi pembaca yang  ingin mengenal sejarah (budayawan), khususnya masyarakat Jawa. Karena di dalamnya memaparkan tentang teka-teki yang muncul  di saat Walisongo dan prinsip ajaran Syekh Siti Jenar dalam ajaran Islam di Jawa. Selain itu buku ini juga ditujukan  kepada  pelajar atau mahasiswa sebagai buku pengetahuan mdan bisa juga dijadikan referensi dalam pembelajaran atau penelitian. Dengan demikian, buku ini diharapkan akan menjadi referensi mengenai penyebaran Islam di Jawa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Pamungkas Ragil, 2008, Teka-teki Walisongo dan 7 Kesalahan Syekh Siti Jenar, Penerbit Narasi, Yogyakarta.



[1] 192121027, Semester 1, Hukum Keluarga Islam

[2] Bab 1-Islam Jawa, Masyarakat Jawa, hal 1-2

[3] Bab 1-Islam Jawa, Empat Tataran dalam Islam, hal 2-3

[4]  Bab 1-Islam Jawa, Cara untuk Memeluk Islam,hal 4-5

[5]  Bab 2-Menelusuri Jejak Ajaran Walisongo, hal 6

[6]  Bab 3-Walisongo, hal 68

[7]  Bab 3-Walisongo, hal 69

[8] Bab 3-Walisongo, Ajaran Hidup Baik, hal 72

[9] Bab 4-Penelusuran Teka-teki dalam Kisah Syekh Siti Jenar, hal 85

[10] Bab 4-Penelusuran Teka-teki dalam Kisah Syekh Siti Jenar, hal 85,91-92

[11] Bab 6-Kesalahan Syekh Siti Jenar, hal 129-136


No comments:

Post a Comment

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...