WAKAF, REGULASI PERWAKAFAN DAN
KONTRIBUSINYA BAGI UMAT[1]
Disusun
Oleh: Latifah
Dwi Cahyani[2]
A. Pengertian dan Konsep Wakaf
Dari segi bahasa wakaf berasal dari kata al-Tahbis dan al-Tasbil yang artinya memenjarakan, menahan, mengahalangi dan menutupi. Dalam pengertian lain wakaf adalah al-Habbs (menahan) yang merupakan kata masdar dari ungkapan waqfu al-syai’ yang berarti menahan sesuatu. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama tentang pengertian wakaf. Menurut Hanafi wakaf diartikan sebagai menahan materi benda milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebaikan. Dari kalangan Maliki berpendapat bahwa wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad dalam jangka waktu tertentu.
Sementara kelompok Syafi, wakaf diartikan menahan harta yang bisa diberi manfaat serta dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan pada ahli waris. Dalam kontek Indonesia yang tertera dalam KHI, wakaf dirumuskan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dalam rumusan UU Nomor 41 Tahun 2004 tampak sekali mengakomodasi berbagai pendapat para ulama fiqh tentang wakaf. Sedangkan dalam Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan.
B. Dasar Hukum Wakaf
Dalam dasar hukum wakaf yang dijadikan rujukan konsep wakaf adalah ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum, khususnya yang bersingungan dengan hadis, ijma’ fuqaha dan qanun:
- Ayat-ayat Al-Quran, dalam ayat-ayat Al-Quran hukum wakaf tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat 261-262, QS. Al-Baqarah ayat 267, dan QS. Al-Imran ayat 92.
- Hadis-hadis dari Shahih, dalam hadis-hadis Shahih juga terdapat hukum tentang wakaf, yang terdapat dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Tarmidzi, dan Nasa’i.
- Ijma’Fuqaha, menurut para Fuqaha sepakat bahwa wakaf sebagai satu amal jariyah yang disyariatkan dalam ajaran Islam.
- Qanun dan peraturan perundangan. Dalam peraturan perundang undangan di Indonesia yang mengatur tentang wakaf terdapat beberapa peraturan, antara lain UU Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Nomor Tahun 1978, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dan UU Nomor 41 Tahun 2004.
C. Syarat-syarat Wakaf
Terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan wakaf, antara lain tentang syarat wakaf yaitu wakif, nazhir, dan benda wakaf.
- Wakif, wakif adalah orang yang memberi wakaf dan syarat untuk menjadi wakif yaitu: berakal, baliq, merdeka, tidak terpaksa, pemilik sah benda wakaf, serta wakaf tersebut bukan dari orang yang bodoh dan orang yang bangkrut.
- Nazhir, nazhir adalah orang-orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf. Dan dibagian kelima Pasal 9 dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa nazhir meliputi perseorangan organisasi dan badan hukum. Sehingga ada beberapa syarat untuk menjadi seorang nazhir, yaitu dewasa, berakal sehat, dapat dipercaya, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan mampu menyelenggarkan segala urusan yang berkenaan dengan wakaf.
- Benda Wakaf, benda wakaf merupakan persyaratan ketiga dari wakaf. Benda wakaf harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: benda wakaf harus berupa harta yang bisa dimiliki serta bisa diambil manfaatnya, benda wakaf harus jelas, sesuatu yang diwakafkan harus milik pribadi si pemberi wakaf, harta wakaf merupakan harta tidak bergerak dan bisa bertahan lama.
D. Peruntukan Harta Wakaf
Dalam Pasal 22
UU Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi
wakaf, benda wakaf hanya diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah,
pendidikan, kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim
piatu, kemajuan kesejahteraan umum, serta peningkatan ekonomi umat. Selain itu ada
beberapa literatur yang ditulis Masyukuri Abdillah, tujuan peruntukan harta
wakaf, yait tujuan Ukhrawi, keperluan keluarga, melestarikan keilmuan, tujuan
sosial, kesehatan masyarakat, pertahanan dan keamanan, Pelestarian lingkungan
hidup, dan fasilitas umum. Karena pada dasarnya pemanfaatan benda wakaf harus
sesuai dengan ketetapan dari wakif. Kecuali apabila pihak wakif tidak
memberikan persyaratan peruntukan atau kemauan yang diharapkan dari benda
tersebut. Tetapi ketika wakif tidak menetapkan peruntukan benda yang di
wakafkannya, maka nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang
dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf pada umumnya.
E. Penukaran Harta Wakaf
Menurut pendapat beberapa ulama fiqh tentang boleh atau tidaknya harta Benda wakaf ditukarkan (ruslag). Walaupun ulama fiqh memiliki perbedaan pendapat tetapi mereka memiki alasan yang sama, yaitu didasari oleh pertimbangan aspek kebaikan dan keburukan. Pendapat yang membolehkan karena lebih melihat pada manfaat daripada ketetapan harta wakafnya, sedangkan pendapat kedua yang lebih melihat pada kemaslahatan harta yang diwakafkannya, yaitu keabadian harta wakaf. Proses dan prosedur pengajuan penukaran benda wakaf tersebut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Dalam praktiknya hal tersebut masih terkendala dengan kuatnya pemahaman masyarakat terhadap fiqh klasik, bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar.
F. Pencatatan Ikrar Wakaf
Pengaturan khusus yang berkaitan dengan pendaftaran harta wakaf terdapat dalam berbagai regulasi. Diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemeruntah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik. Selain itu proses pendaftaran benda wakaf terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf itu adalah melalui PPAIW atau Notaris yang ditunjuk sebagai PPAIW oleh menteri. Apabila harta wakaf itu berupa uang, maka didaftarkanya ke Lembaga Keuangan Syari’ah. Dalam hal PPAIW dan LKS tidak mendaftarkan harta benda wakaf tersebut kepada Badan Wakaf Indonesia, maka Menteri bisa memberikan sanksi administrasi, berupa peringatan tertulis, penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah, dan penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
G. Struktur Pengelola Wakaf dan Sanksi
Secara struktural, Institusi yang berwenang untuk menjalankan hukum wakaf antara lain :
- Pemerintah/Menteri Agama, dalam melaksanakan dan menerapkan hukum wakaf, Menteri Agama RI harus melakukan pembinaan dan mengawasi penyelenggaraan wakaf.
- Nazhir Wakaf, bertugas mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai fungsinya, mengawasi dan melindungi harta wakaf, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
- Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, harus menjalankan kewajibannya menuangkan ikrar wakaf dalam akta ikrar wakaf, membuat akta ikrar dan membuat hal-hal yang ditetapkan dalam undang-undang.
- Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, lembaga keuangan syariah ini memiliki kewajiban sebagai penerima wakaf uang dari wakif dan mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri Agama dengan ketentuan tidak lebih dari tujuh hari terhitung sejak sertifikasi wakaf uang diterbitkan badan wakaf Indonesia.
- Badan Wakaf Indonesia, lembaga independen dalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
H. Penyelesaian Sengketa Wakaf
Pada umumnya, perselisihan dan persengketaan ada dua macam, yaitu :
1. Sengketa tentang status harta benda wakaf
Dalam praktiknya misal pengingkaran ahli waris wakif terhadap status wakaf tanah yang diwakafkan oleh wakif yang sudah meninggal dunia. Harta benda wakaf itu diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Apabila mengacu dalam peraturan perundang-undangan, harta benda wakaf dapat dilakukan dalam waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf akan dikembalikan lagi kepada ahli waris. Tetapi dalam hal wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapus kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakfkan tersebut dapat diminta kembali.
2. Nazhir wakaf tidak memanfaatkan harta wakaf sesuai
dengan yang dikehendaki dan diisyaratkan oleh wakif
Dalam kasus ini, misalnya wakif mewakafkan tanah sebagai sarana pendidikan pendidikan untuk dikelola oleh nazhir, tetapi justru di bangun sekolah dasar yang berafiliasi ke dinas pendidikan. Karena hal tersebut wakif ingin mengambil kembali harta wakaf itu, padahal dalam perundang-undangan penarikan wakaf itu tidak diperbolehkan. Dalam menyikapi kasus tersebut langkah dan cara penyelesaian diatur dalam Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004, yaitu dilakukan dalam dua pendekatan. Pendekatan non litigasi yaitu dengan cara musyawarah mufakat anatar dua pihak yang bersengketa. Pendekatan litigasi yaitu melalui lembaga peradilan.
I. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan pada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Wakaf juga termasuk amal jariah yang tidak putus-putusnya kelak di akhirat. Dasar hukum perwakafan yang utama yaitu Alquran, lalu Hadist (sunnah) dan ijtihad para ulama serta qanun (Peraturan Perundangan) yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.Dan peraturan perwakafan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[1]Review Buku Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, Bandung:
2015, hal. 67-90. Dipresentasikan pada mata kuliah Pengantar Hukum Keluarga
dengan dosen pengampu Danu Aris Setyanto, S.Sy.M.H pada hari Sabtu, 26 Oktober
2019 di ruang L406 Pukul 07:00-08:40.
[2] 192121027, semester 1,
Hukum Keluarga Islam
No comments:
Post a Comment