Karya-Karya Fazlur Rahman & Contoh Penafsirannya || Tafsir Al-Qur'an || ...

Tafsir Al-Qur'an Penafsiran Fazlur Rahman (1919-1988) Karya-karya Fazlur Rahman & Contoh Penafsirannya Nama : Latifah Dwi Cahyani NIM : 192121027 Kelas : HKI 4A Dosen : Ahmad Fathurrahman Dardiri, M.Hum

Contoh Perjanjian Perkawinan yang Disepakati dan yang Diperselisihkan Kebolehannya oleh Imam Madzab

 

Nama   : Latifah Dwi Cahyani

NIM    : 192121027

Kelas   : HKI 2A

Contoh perjanjian perkawinan yang disepakati dan yang diperselisihkan kebolehannya oleh imam madzab

      Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh pula tidak membuat. Namun jika sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawinan itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumruh ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Apabila dilihat dalam konsep fiqh apa konsekuensi hukum yang dapat diberikan kepada seseorang yang melanggar perjanjian perkawinan yang telah disepakati, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Perjanjian yang syarat-syaratnya sesuai dengan maksud akad dan misi syariat. Misalnya, pemberian nafkah dan persetubuhan, suami istri bergaul secara baik, istri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan suami istri harus memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu, maka para ulama sepakat syarat-syarat ini hukumnya sah dan wajib dipenuhi. Adapun apabila perjanjian tersebut dilanggar, berarti sama halnya dengan seseorang melanggar syariat yang telah ditentukan oleh Allah Swt dalam firman-firmannya.
  2. Perjanjian yang syarat–syaratnya bertentangan dengan maksud akad dan melanggar hukum Allah dan syariat (syarat yang ilegal). Misalnya, dalam perjanjiannya sepakat untuk tidak menyetubuhi istrinya, tidak memiliki keturunan, tidak menafkahi istrinya dan memberi syarat agar istri kedua dari calon suam diceraikan terlebih dahulu. Maka dalam hal ini para ulama sepakat bahwa syarat ini tidak sah sebab mengandung unsur memerintahkan apa yang dilaranng Allah dan melarang apa yang diperintahkan-Nya, sehingga syaratnya gugur, dan harus dilanggar, artinya bahwa perkawinan tersebut tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kewajiban nafkah, dan kepastian nasab.
  3. Perjanjian yang tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah dan persyaratan ini mengandung kemaslahatan yang ingin dicapai oleh salah satu pasangan. Misalnya, istri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan memadunya, istri tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Hanifiyah dan Syafi’iyah berpendapat syarat-syarat tersebut batal (syarat tidak berlaku) dan suami tidak harus memenuhinya. Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi berdasarkan hadits khusus dai Uqbah bin Amir serta keumuman dari firman Allah untuk menepati janji.

            Adapun perjanjian perkawinan yang mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada seorang suami. Waktunya seorang suami memberikan nafkah kepada istri, yaitu:

  1. Imam Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga sudah dewasa.
  2. Abu hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewas.
  3. Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa, dalam hal ini Syafi’I memiliki dua pendapat, yaitu; pertama seperti pendapat Imam Malik dan kedua, bahwa dia berhak mendapatkan nafkah secara mutlak.

    Selain itu ada bentuk atau penerapan perjanjian perkawinan dan terdapat perbedaan pendapat antar ulama madzab, seperti berikut:

  1. Kewajiban suami terhadap istri, seperti membelikan pakaian, tempat tinggal, dan nafkah. Perjanjian seperti ini disepakati oleh para ulama. Dan wajib dipenuhi oleh suami terhadap istri.
  2. Istri tidak boleh dikeluarkan dari rumah tangga, tidak boleh dibawa merantau, dan tidak boleh di madu, menurut Imam Hambali ini harus dipenuhi, tetapi Imam Syafi’i menampik argument tersebut dan tidak mewajibkan.
  3. Suami harus mencerai istri terlebih dahulu yang ada untuk melangsungkan pernikahan yang berikutnya, para ulama tidak mewajibkan karena ada larangan dari Rasulullah.

    Contoh lain dari bentuk perjanjian perkawinan yaitu perjanjian Ta’lik Talak, yang sudah lama diterapkan di Indonesia. Dalam membahas mengenai Ta’lik Talak muncul perbedaan diantara ahli hukum islam. Jumruh ulama Madzab berpendapat bahwa bila seseorang telah menta’likkan talaknya dan telah terpenuhi syarta-syaratnya, maka Ta’lik itu dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik, baik itu mengandung sumpah ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan Talak itu tidak menjatuhkan Talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi Talak itu tergantung pada tepenuhinya syarat yang dikandung dalam ucapan Ta’lik itu.

        Contohnya, jika suami mengucapkan Ta’lik Talak karena dipaksa atau ada unsur pemaksaan, maka Talak suami tidak jatuh, karena hal demikian berarti bukan kehendak bebas yang berarti bahwa taklik harus dianggap tidak ada. Selain itu hakim harus menolak gugatan istri, karena tidak memenuhi syarta Ta’lik, atau tidak terjadi pelanggaran shigat Ta’lik. Dalam hal seperti itu, maka para ulama sepakat bahwa jika suami berakal, baligh, dan berkehendak bebas, maka Talaknya dipandang sah dan sebaliknya jika terjadi hal itu dipandang sebagai perbuatan sia-sia. Tetapi pendapat Imam Abu Hanifah menganggap sah atas Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan, walaupun pendapat ini menyalahi pendapat jumruh.

     Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu dianggap sah dan berlaku manakala tidak bertentanngan dengan syariat Islam. Begitu pula sebaliknya, jika perjanjian itu bertentangan dengan syariat Islam, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah dan berlaku.

 

Polemik Arti Adil Dalam Poligami

 

Essay Fiqh Munakahat tentang Poligami

Nama   : Latifah Dwi Cahyani

NIM    : 192121027

Kelas   : HKI 2A

Mapel  : Pengantar Fiqh Munakahat

Dosen  : Dr. Rial Fuadi, S.Ag, M.Ag

 

Polemik Arti Adil Dalam Poligami

            Pernikahan merupakan salah satu tahapan penting dalam kehidupan manusia. Dengan jalannya pernikahan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat. Dengan pernikahan, diharapkan cita-cita dan upaya suami istri dalam membangun rumah tangga berjalan baik, harmonis dan terciptanya keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Oleh karena itu, syariat telah menetapkan peraturan-peraturan yang lengkap dalam masalah perawinan termasuk masalah poligami atau mempunyai istri lebih dari satu. Poligami adalah masalah yang sering dipersoalkan di Indonesia. Kata poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani ”polygamie”, poly berarti banyak dan gamie berarti laki-laki, jadi poligami yaitu laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan.

            Poligami merupakan persoalan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan di kalangan umat Islam. Di Indonesia sendiri pro kontra poligami muncul kembali ketika sejumlah mubaligh kondang melakukan praktik poligami. Hal tersebut yang memicu perdebatan luas di masyarakat dan menjadi topik yang kontroversial pada masa itu. Baik dari sudut pandang agama, sosial dan hukum. Di Indonesia, poligami dilegalkan atau diperbolehkan, meskipun ada batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu mengenai praktek poligami. Meskipun demikian poligami tetap menjadi hal yang sulit diterima di masyarakat, terlebih di era modern seperti ini. Pro kontra masalah poligami terus berkembang di kalangan umat Islam, ada sebagian golongan yang mendukung poligami dan ada golongan yang menentang praktek poligami itu sendiri. Golongan-golongan tersebut memiliki argumentasi dan alasan-alasan tertentu dalam menyikapi kasus poligami. Masalah poligami sudah terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129. Berikut firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’ ayat 3;

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah seorang saja)” 

            Dalam Surat An-Nisa ayat 3, poligami dibolehkan dengan syarat berlaku adil jika tidak mampu berlaku adil maka cukup nikahi satu wanita saja. Namun jika kamu benar-benar mampu akan dapat berlaku adil, silahkan nikahi wanita dua, tiga atau empat sebagai istrimu. Pada dasarnya kebolehan poligami itu adalah mutlak dengan sejumlah persyaratan, yaitu mampu berlaku adil. Adil disini merupakan kewajiban suami ketika mereka berpoligami. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, tetapi hanya membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu dan membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi.

            Golongan yang pro poligami atau yang mendukung poligami, menanggapi bahwa poligami merupakan bentuk perkawinan yang sah dan telah dipraktekkan pada masa lalu oleh para nabi dan sahabat. Mereka berpendapat bahwa Nabi menikahi lebih dari empat wanita. Dengan merujuk, bahwa Nabi merupakan suri teladan yang baik, maka mereka membolehkan seorang berpoligami. Selain itu, poligami justru mengangkat martabat kaum perempuan, melindungi moral agar tidak terjerumus oleh perbuatan keji dan maksiat yang dilarang oleh Allah Swt, untuk mencegah perzinaan, untuk menolong janda-janda miskin,untuk mendapat keturunan jika istrinys sakit atau mandul sehingga tidak mampu memberikan keturunan. Poligami pada dasarnya menjadi penyelamatan, perlindungan dan penghargaan terhadap eksistensi dan martabat kaum perempuan.

            Kemudian golongan yang menolak poligami merujuk pada QS. An-Nisa’ ayat 129 yang berbunyi:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dann memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

            Ayat tersebutlah yang menjadi rujukan untuk mendukung argumen pihak yang kontra. Dapat dipahami bahwa betapa tidak mungkinnya seorang suami berbuat adil kepada istri-istrinya. Ketidakmampuan seorang suami berbuat adil sudah jelas dalam ayat diatas bahwa ”kamu sekali-kali tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. Ini berarti bahwa seorang suami tidak akan pernah mampu untuk memenuhi syarat utama untuk berpoligami. Ini menunjukkan bahwa poligami itu tidak akan pernah dilakukan oleh manusia, karena manusia tidak akan pernah mampu berlaku adil, padahal adil merupakan syarat utama dalam berpoligami.

            Kemudian poligami diidentikkan dengan susuatu yang negatif, bahwa poligami itu melanggar HAM, poligami merupakan eksploitasi terhadap perempuan, sebagai bentuk penindasan, penghianatan dan memandang rendah wanita serta merupakan bentuk diskriminatif terhadap wanita. selain itu poligami dianggap sebagai bentuk ketidaksetaraan gender, karena semata-mata sebagai pemuas nafsu seksual semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti telah melakukan tindak kekerasan, pelecehan bahkan penindasan atas hak-hak wanita dan martabat kaum perempuan. Selain itu dengan berpoligami pasti akan timbul rasa cemburu, karena manusia itu memiliki watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Hal tersebutlah yang menyebabkan permusuhan antar istri maupun antar keluarga, sehingga akan merusak hubungan keluarga. Nah itu beberapa alasan bagi kelompok yang menolak praktek poligami. Dengan banyaknya mudhorot yang ditimbulkan dari praktek poligami, maka banyak yang menentang prakek poligami itu sendiri.

            Dalam menyikapi sikap adil dalam poligami yang sudah ditegaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 3 bahwa syarat utama untuk berpoligami harus memiliki sifat adil dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Jika takut atau khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka cukup nikahilah seorang istri saja (monogami). Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam melayani istri, seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahir dan batin. Dalam hal lahir yaitu membagi waktu dan hartanya kepada istri-istrinya secara adil dan dalam hal batin yaitu cinta atau rasa kasih sayang, yang tidak dituntut bahkan tidak mampu berbuat adil. Inilah yang dimaksud dalam surat An-Nisa’ ayat 129.

            Ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil secara materi dan cinta walaupun ia sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukannya, tetapi hal tersebut diluar batas kemampuan manusia dan keadilan yang dimaksud tersebut tidak dapat diukur. Bila dilihat ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah adil pada ayat 3 surat An-Nisa’ yang mewajibkan berlaku adil, sedangkan dalam ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan, tetapi yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah dan sebuah keadilan dalam batas kemampuan manusia,yaitu; keadilan yang dapat diukur contohnya memberi nafkah, dan berlaku adil dalam ayat 129 adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. Sebab, Allah Swt tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya.

            Dengan demikian, syarat utama yang ditentukan untuk berpoligami ialah terpercayanya seorang laki-laki terhadap dirinya, bahwa diamampu berlaku adil terhadap semua istrinya baik dalam soal makan, pakaian, tempat tinggal maupun nafkahnya. Terlalu mengutamakan salah satu istri merupkan wujud ketidakadilan.

            Kemudian jika dilihat dalam undang-undang saat ini yang diberlakukan di berbagai negara Islam, ketentuan dan syarat dalam berpoligami bervariasi. Contohnya di Indonesia, yang memberikan syarat tegas untuk poligami. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat 2, yang menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapat izin dari pengadilan. Dengan hal tersebut berpoligami terdapat beberapa alasan-alasan sebagaimana yang diatur pada pasal 4 ayat (2), yaitu: 1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, 2) istri mendapat cacat badan atau pendapat yang tidak dapat disembuhkan, dan 3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Kemudian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan mengajukan permohonan izin poligami menurut Pasal 5 ayat 2 UU Perkawinan Tahun 1974, yaitu: adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah tidak ada jalan keluarnya lagi selain berpoligami.

            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa poligami merupakan praktek pernikahan yang dilegalkan/diperbolehkan tetapi harus dengan syarat utama mampu berlaku adil dan dibatasi empat orang saja seperti yang sudah tercantum dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129. Adil yang dimaksud yaitu adil dalam bentuk kesejahteraan lahir batin. Selain itu, di Indonesia harus memenuhi berbagai syarat yang sudah ditentukan dalam undang-undang mengenai poligami.

 

Referensi:

Hidayatulloh, Haris. Adil dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm. Jurnal Studi Islam. Vol. 6 No. 2 (Oktober 2015).

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...