Hubungan Antara Hukum Islam Dengan Ijtihad_Fillsifat Hukum Islam


HUBUNGAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN IJTIHAD

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik Mata Kuliah : Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mudhofir, S. Ag., M. Pd.



FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2020


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Pada dasarnya Al-Quran telah diturunkan secara sempurna dan lengkap, akan tetapi tidak semua hal pada kehidupan manusia diatur dan dijelaskan secara detail dan rinci oleh Al-Quran maupun Hadis. Perbedaan jaman sekarang dengan jaman Rasulullah tentu sangat berbeda, pada saat wahyu turun Rasulullah masih membersamai para sahabat dan umatnya sehingga dalam menghadapi permasalahan yang ada para sahabat bisa dengan langsung untuk mendapatkan jawabannya dari Rasulullah, akan tetapi di jaman modern ini yang mana Rasulullah telah wafat dan permasalahan dari jaman ke jaman kian berkembang sesuai dengan arus perkembangan jaman itu sendiri maka tidak dipungkiri jika diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan ajaran Islam bagi kehidupan sehari-hari.

Maka jika terjadi persoalan baru bagi umat Islam dalam kurun waktu, tempat, dan situasi kondisi yang berbeda haruslah diperlukan untuk mengkaji Al-Quran dan Hadis sebagai hujjah yang utama bagi muslim, namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas dan atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Quran maupun Hadis barulah pada saat itu umat Islam perlu untuk melakukan Ijtihad guna memecahkan permasalahan yang ada, akan tetapi dianjurkan orang yang ber-ijtihad haruslah yang telah mempelajari Al-Quran, Hadis, ataupun Fiqh.

Oleh karena itu makalah ini kami susun guna untuk memberikan sedikit informasi bagi para pembaca tentang apa itu Ijtihad, siapa orang yang berhak ber-ijtihad, bagaimana hubungan antara hukum islam dengan ijtihad. Setidaknya dengan pemaparan tentang kajian-kajian tersebut para pembaca sedikit mengetahui akan topik-topik yang layak untuk dipelajari bagi mahasiswa muslim terkhusus fakultas syariah.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apa itu Ijtihad?

2.      Bagaimana hubungan antara Ijtihad dengan Hukum Islam?

3.      Apa hukum ber-ijtihad?

4.      Bagaimana urgensi Ijtihad diera sekarang?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui apa itu Ijtihad

2.      Untuk mengetahui hubungan antara Hukum Islam dengan Ijtihad

3.      Untuk mengetahui hukum ijtihad

4.      Untuk mengetahui urgensi Ijtihad diera sekarang.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Ijtihad

            Ijtihad berasal dari kata “jahda” artinya “al-mayaqqah” (sulit atau berat, susah atau sukar). Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “juhda” yang diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan mengarahkan semua tenaga, yang selanjutnya menjadi ijtihad adalah masdar dari fi’il madhi yang asalnya “ijtahada”. Ijtihad adalah usaha maksimal untuk mendapatkan sesuatu. Jika tidak sungguh-sungguh tidak dapat disebut ijtihad, melainkan tafkir berfikir biasa yang sederhana. Sedangkan ijtihad menurut istilah adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang fuqaha untuk menghabiskan zhan (sangkaan) dengan menetapkan suatu hokum syara.[1]

            Menurut Rachmat Syafi’I secara etimologis kata ijtihad artinya kesulitan atau kesusahan(al-mayaqqah), juga diartikan dengan kesanggupan dan kemampuan (ath-thaqat).

            Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli dalam hukum islam dalam beristinbath (menggali) hokum islam yang bersifat praktis dari dalil yang terperinci.

            Menurut Abdul Wahab Khalaf ijtihad merupakan mengerahkan daya atau kemampuan untuk menghasilkan hokum syara dari dalil-dalil syara yang terperinci.

            Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh ijtihad adalah optimalisasi potensi dan mencurahkan segala daya untuk mencari hukum syara’ dengan cara memaksimalkan kemampuan dalam memahami dalil secara mendalam (analisis kritis-filosofis) sampai jiwa merasakan tidak mampu menambah ilmu lagi (hasil maksimal) dengan tujuan menghasilkan dugaan kuat dalam hokum syara’.

        Dari semua definisi tentang ijtihad diatas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad itu, adalah

  1. Pengarahan akal pikiran para fuqaha atau ushuliyyin
  2. Menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh karena adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al-Qur’an dan Al-Hadist
  3. Berkaitan dengan hukum syar’I yang amaliyah
  4. Menggali kandungan hukum syar’I dengan berbagai usaha dan pendekatan
  5. Dalil-dalil yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga hilang kezhaniyannya
  6. Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.[2]

B.     Korelasi Hukum Islam Dengan Ijtihad

            Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan, pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Untuk syarat menjadi mujtahid sendiri sebagai berikut:

  1. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
  2. Kalau ia yang memegangi ijma’ maka ia harus tau seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah ia ijma’kan.
  3. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqh karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad
  4. Mengetahui dengan mendalam masalah nasikh mansukh beserta tau mendalam tentang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.[3]


Metode ijtihad dalam hukum islam yakni dengan Pendekatan Qiyas (analogi)

Qiyas berasal dari kata qasa,yaqisu,qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata “qiyas” diartikan ukuran, timbangan atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Dalam pendekatan analogis yang senantiasa melakukan generalisasi diperlukan kehati-hatian. Hal ini karena jika ada kesalahan dalam memeriksa indicator-indikator kesamaannya, generalisasi tersebut membahayakan kepada hukum yang di bangun.

Qiyas sebagai analogi induktif merupakan penalaran yang berangkat dari peristiwa khusus ke suatu kejadian yang khusus pula. Dengan rumusan logis bahwa jika benar keseluruhannya benar pula bagian-bagiannya jika tidak benar keseluruhannya tidak benar pula bagian-bagiannya. Akan tetapi, jika benar bagian-bagiannya belum tentu benar keseluruhannya sebagaimana jika tidak benar bagian-bagiannya, maka belum tentu tidak benar keseluruhannya. Rumusan tersebut di pasang dalam logika induktif atau analogi induktif, karena kebenaran dalam suatu kasus yang memiliki nash dan ketentuan hukum merupakan alat pertama untuk membenarkan kasus baru yang memiliki keserupaan dengan ciri substansial kasus yang telah ada sebelumnya.

Pemikiran tentang dugaan yang kuat terhadap illat hukum yang dilakukan oleh mujtahid, dapat membentuk hasil ijtihad qiyasi yang berbeda-beda karena setiap mujtahid memiliki cara pandang yang berlainan. Akan tetapi, perbedaan hasil ijtihad qiyasi berupa ketentuan hukum bagi masalah baru yang tidak ada nash dan ketetapan hukumnya, secara praktis diterima oleh manusia, dan setiap yang meyakini kebenarannya akan mengamalkan perbuatan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, ketentuan hukum yang di produk melalui pendekatan qiyas memiliki kebenaran yang relative karena semua yang ditetapkan hukumnya atas kerja keras ulama’ degan ijtihadnya memberikan hasil yang berbeda-beda dan mendatangkan pengikut yang berbeda-beda pula.[4] 

C.    Hukum-Hukum Ijtihad

      Ada empat kriteria hukum ijtihad yaitu:

  1. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hokum untuk dirinya sendiri dan tidak ada mujtahid yang bias segera ditemui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
  2. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
  3. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu peristiwa hukum yang belum terjadi baik ditanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
  4. Haram yaitu ber-ijtihad dalam masalah yang sudah ada ketentuan nash Qathi atau sudah ada ijma, ulama.


Hukum ada yang dapat di ijtihadi dan ada yang tidak dapat di ijtihadi meliputi

  1. Hukum yang tidak boleh di ijtihad, Hukum yang diketahui secara pasti dan jelas dari agama Nabi seperti sholat wajib, zakat, haji, haramnya zina dan liwath ( LGBT).
  2. Hukum yang boleh di ijtihadi, Menurut Wahbah Az-Zuhaili hokum yang boleh di ijtihadi yaitu masalah fiqh dhanni yang tidak ada dalil Qathi. Bagi hal ini bagi mujtahid yang salah tidak ada dosanya.[5]

D.    Urgensi Ijtihad Era Kontemporer

        Yusuf Al- Qaradlawi menjelaskan bahwa kehidupan kontemporer sekarang banyak mengandung masalah-masalah yang baru dan btidak terpikirkan oleh ulama jaman dahulu sehingga pada era ini dibutuhkan ulama ahli fiqh yang bias membantu meringankan permasalahan yang ada sesuai  perkembangan jaman dengan melakukan ijtihad baru.

            Ijtihad baru meliputi beberapa jenis yakni, pertama intiqai yaitu ber ijtihad dalam masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama-ulama zaman dulu dengan memilih sebagian pendapat yang relevan dalam naungan dan pertimbangan syara’. Kedua, isyai ibdai yaitu berijtihad dalam masalah-masalah baru yang belum dikenal fiqih lama dalam hal ini sangat banyak di zaman kita sekarang.

            Di masa kontemporer sekarang yang mengalami perubahan drastic, massif dan eskalatif disegala aspek kehidupan, individu, keluarga, social dan dunia baik dalam masalah ekonomi maupun politik. Demikian Yusul Al-Qaradlawi menjelaskan urgensi ijtihad di era modern ini tujuannya tidak lain supaya ahli hokum islam tidak terlalu lama dalam merespon problematika social yang terjadi. Mereka mampu mengatasi transformasi social dengan bijak dan pemikiran-pemikiran hukum yang bernash dan aplikatif.Wahbah Az-Zuhaili menegaskan kembali bahwa ijtihad merupakan kunci tegakknya syariat islam selama ijtihad dan fiqh masih hidup, maka syariat akan tetap abadi[6]

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

        Dari pemaparan diatas tentan dapat ditarik kesimpulan bahwa Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan, pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Ada satu metode ijtihad dalam hukum islam yaitu qiyas, ketentuan hukum yang di produk melalui pendekatan qiyas memiliki kebenaran yang relative karena semua yang ditetapkan hukumnya atas kerja keras ulama’ degan ijtihadnya memberikan hasil yang berbeda-beda dan mendatangkan pengikut yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

 

Amiruddin, Zein, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2009.

Asmani, Ma’ruf, Jamal, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Saebani, Ahmad, Beni, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

 


[1] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.195.

[2] Ibid., hlm. 196.

[3] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 196-197.

[4] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 207-2012.

[5] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 196.

[6] Jamal Ma’mur Asmani, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 206-209.

No comments:

Post a Comment

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...