Menyuntik Vaksin (Jika Sudah Ditemukan) Untuk Cegah Virus Corona Dalam Pandangan Islam

 

Menyuntik Vaksin (Jika Sudah Ditemukan) Untuk Cegah Virus Corona

Latifah Dwi Cahyani_192121027_HKI 2A

 

            Covid-19 merupakan musibah yang dinyatakan pandemik di seluruh dunia. Kasus Covid-19 saat ini masih terus meninggkat di setiap negara bahkan di Indonesia kasus positif maupun yang meninggal semakin bertambah dan persebarannya yang begitu cepat. Karena belum ada vaksin atau obat penawar virus ini, banyak ilmuan di berbagai negara yang berlomba-lomba dalam menemukan vaksin untuk virus ini.

            Persoalan dan stasus hukumnya mengenai Covid-19 ini bahwasannya, pandemi covid-19 ini merupakan musibah yang mengglobal. Penyebarannya yang cepat menyerang siapa saja, tanpa memandang negara, agama, suku ataupun strata sosial. Siapapun berpotensi terjangkit jika daya tahan tubuh lemah dan tidak menerapkan pola hidup sehat. Maka dari itu kita diwajibkan menjaga kesehatan dan menjaga sistem imun agar tidak mudah terjangkit Covid-19. Sementara virus ini belum ada vaksin atau obat untuk mengobatinya. Sampai saat ini, belum ada obat maupun vaksin yang disarankan untuk mencegah dan mengobati virus Covid-19 ini. Vaksin yang beredar dan yang digunakan saat ini adalah obat untuk pneuomonia akibat infeksi mikroorganisme pathogen lain dan vaksin untuk influenza. Sebab karakter dan gejala yang ditimbulkaan dari penderita Covid-19 ini serupa dengan flu pada biasanya.[1] Tidak mudah untuk menemukan obat maupun vaksin untuk mengatasi virus ini, karena virus ini tergolong virus baru yang belum ada vaksinnya. Selain itu, gejala yang timbul pada penderita virus ini sama seperti flu bahkan ada yang tak bergejala, sehingga dalam membuat obat yang diracik harus lebih teliti dan kompleks. Sementara dalam penemuan vaksin, akan memakan waktu yang lama karena harus melewati tahapan penelitian, pengujian dan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum boleh didistribusikan. Vaksin yang diuji nantinya akan dicoba disuntikkan pada manusia maupun hewan untuk melihat apakah ada efek samping yang terjadi.[2]

            Tetapi, sekarang ini banyak industri farmasi dan para ahli di berbagai negara melakukan penelitian dan pengembangan dalam membuat vaksin ini untuk menghambat penyebarab dan penularan Covid-19. Ada beberapa kandidat lembaga kesehatan untuk mengembangkan vaksin ini, hanya saja perlu tahapan pengujian sebelum diliris dan digunakan oleh manusia. Pertanyaan yang muncul adalah apabila seandainya ditemukan obatnya, tetapi terbuat dari bahan yang najis atau sesuatu yang diharamkan. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang hal tersebut?

            Berikut landasan dan logika hukumnya berdasarkan hukum Islam. Pengobatan merupakan syariat Islam karena menjadi bagian dari perlindungan dan perawatan kesehatan yang menjadi bagian dari dharuriyyat al-khams. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk penyembuhan dengan metode yang tidak melanggar syariat. Jika obat yang ditemukan itu najis atau haram, maka hukumnya mubah (dibolehkan) kecuali jika menemukan kondisi tertentu, seperti: 1) Dalam kondisi terpaksa (dharurat) dan kondisi terdesak, jika tidak divaksin akan mengancam keselamatan jiwa. 2) Belum ditemukan bahan yang halal dan suci. 3) Berdasarkan arahan atau petunjuk medis yang kompeten dan terpercaya, dan terdapat keterangan medis bahwa tidak ada vaksin yang halal serta hanya bahan tersebut yang ditemukan.[3]

            Keadaan seperti itulah yang dianggap sebagai keadaan darurat, dimana seperti kondisi saat ini yang terjadi wabah Covid-19. Dalam hukum Islam mengenai keadaan dharurah yang mengancam lima hal pokok yang harus dilindungi, yaitu; menjaga agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dalam hal ini mencakup jiwa (hifdzu nafs) seseorang, karena virus ini mudah menyebar dan belum ada obatnya bahkan berpotensi hilangnya jiwa seseorang. Dengan demikian dalam keadaan darurat yang akan mengancam jiwa seseorang, Jika vaksin yang telah ditemukan berasal dari bahan yang haram dan bahan yang halal belum ditemukan. Maka hukumnya diperbolehkan (mubah) tetapi harus sesuai kadarnya.

            Di dalam firman Allah Swt QS.Al-Baqarah (2):173 yang menjelaskan bahwa dalam kondisi darurat dibolehkan mengkonsumsi yang haram. ”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak mengingatkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyatang.”Dan dalam kaidah-kaidah fiqh disebutkan bahwa ”Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.” dan ”Sesuatu yang diharamkan karena dzatnya maka dibolehkan karena adanya dharurat, dan sesuatu yang diharamkan karena aspek diluar dzatnya (lighairihi) maka dibolehkan karena adanya hajat.” [4]

            Respon dan kritik saya terhadap pandangan hukum dan logika hukum tersebut, bahwa menyuntikan vaksin Covid-19 (jika ditemukan) hukumnya mubah (diperbolehkan) karena dalam keadaan darurat dan belum ditemukan vaksin yang halal. Apabila tidak segera diberikan vaksin atau obat tersebut, akan mengancam nyawa sang penderita dan pandemi Covid-19 ini akan sulit dicegah. Sementara mencegah kemudharatan itu hukumnya wajib.  Selain itu, Allah Swt juga memberikan keringanan dan kemudahan bagi hambanya apabila dalam kesulitan maupun dalam keadaan darurat untuk mencapai kemashlahatan bersama. Bahkan kita dituntut untuk hidup sehat dan menjaga keselamatan jiwa, apalagi ditengah wabah Covid-19 ini. Kita juga harus memperhatikan asupan nutrisi, menjaga daya tahan tubuh dan menerapkan pola hidup sehat agar sistem imun kita baik dan mematuhi aturan pemerintah untuk dapat mencegah Covid-19 ini.

 

Daftar Pustaka

F, Faried. dkk. 2020. Fikih Pandemi Beribadah di Masa Wabah. Jakarta: Nuo Publishing

Kristanti, Novi Dwi. Tinjauan Mashlahah terhadap Hukum Penggunaan Vaksin MR Produk         dari SII (Serum Intitute of India) untuk Imunisasi. (Skripsi). Surakarta: IAIN            Surakarta. 2019.

Dicky.2020, Juni 01. Lonjakan Drastis Kasus Corona pada Mei 2020. CNN Indonesia.     Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada Kamis, 4 Juni 2020 Pukul 14:10          WIB

 



                [1] Faried F. dkk, Fikih Pandemi Beribadah di Masa Wabah, (Jakarta: Nuo Publishing, 2020) hal  94

                [2] Dicky.2020, Juni 01. Lonjakan Drastis Kasus Corona pada Mei 2020. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com pada Kamis, 4 Juni 2020 Pukul 14:10 WIB.

[3] Faried F. dkk, Fikih Pandemi Beribadah di Masa Wabah, (Jakarta: Nuo Publishing, 2020) hal  94-95

 

                [4] Novi Dwi Kristanti. Tinjauan Mashlahah terhadap Hukum Penggunaan Vaksin MR Produk dari SII (Serum Intitute of India) untuk Imunisasi. (Skripsi). Surakarta: IAIN Surakarta. 2019. hal 87-88

Tugas Quiz Filsafat Hukum Islam_3 Soal dan Jawaban Tentang Hukum Islam

 Tugas Quiz Filsafat Hukum Islam

Nama               : Latifah Dwi Cahyani

NIM                : 192121027

Kelas               : HKI 2A

Mata Kuliah    : Filsafat Hukum Islam

Dosen              : Prof. Dr. H. Mudofir. S.Ag., M.Pd.

 

1.      Bagaimana cara hukum Islam mengakomodasi dinamika perubahan, sementara wahyu dan hadist sudah terhenti sejak 1500 tahun yang lalu?

            Salah satu cara hukum Islam mengakomodasi dinamika perubahan sosial saat ini, yaitu dengan ijtihad terus menerus sesuai dengan tuntutan zaman serta perubahan sosial budaya yang terus bergerak. Sementara persoalan-persoalan dan masalah hukum terus berjalan sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Ijtihad di masa modern terus dilakukan untuk menampung aspirasi baru dalam bentuk fikih sosial. Selain itu, dengan mengkaji masalah-masalah baru yang muncul saat ini, sehingga dapat menemukan hukum yang cocok dengan kondisi yang ditemukan. Kemudian, diperlukannya kesungguhan dalam memahami dan menganalisis setiap ajaran hukum islam agar tidak termakan oleh waktu serta mampu menjawan tantangan zaman.

2.      Apa yang saudara perhatikan dan rasakan tentang hukum Islam yang ada di Indonesia, apakah saudara merasakannya?Soal dan Jawaban Seputar Ilmu Hukum

            Menurut saya Hukum Islam yang ada di Indonesia saat ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Pada dasarnya jumlah penduduk Indonesia adalah mayoritas Islam, dan pelaksanaan hukum di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kondisi, sosial budaya, nilai-nilai dan lingkungan masyarakat dari berbagai daerah. Hukum Islam telah diterima dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sebelum kedatangan penjajah asing. Hukum islam yang masih bertahan di Indonesia selain Hukum Ibadah adalah Hukum Keluarga (nikah, rujuk, talak, dan lainnya), Asuransi Syariah dan Perbankan Syariah dengan Peradilan Agama sebagai pelaksananya.

            Sistem Hukum Islam di Indonesia kedudukannya sama dengan sistem hukum lainnya yang hidup di Indonesia (hukum adat dan barat). Selain itu, juga menjadisumber pembentukan hukum nasional. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup tetap ada sebagai kelengkapan dari hukum Nasional. Penerapan dan penegakan hukum Islam di Indonesia dapat dituangkan ke dalam hukum nasional baik melalui hukum positif Islam maupun nilai-nilai hukum Islam yang berlaku di masyarakat.

3.      Metode Ijtihad apakah yang paling relevan dengan perubahan-perubahan sosial yang terus berjalan?

            Menurut Yusuf al-Qaradawi, konsep ijtihad kontemporer yang dipandang menjadi ijtihad alternatif dan relevan dalam masalah-masalah kontemporer dan perubahan-perubahan social yang terjadi dimasyarakat. Baik dalam persoalan di bidang ekonomi seperti; asuransi syariah, jual beli saham dan di bidang kedokteran seperti; keluarga berencana, transplantasi, aborsi dan kloning. Kondisi-kondisi seperti itulah yang harus dilakukan ijtihad agar terhindar dari hal yang merusak, baik pada makhluk hidup, lingkungan dan alam sesuai kaidah hukum islam.  Pada dasarnya ijtihad merupakan sebuah instrument penting dalam rangka mewujudkan terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia seluruhnya dan alam semesta. Tetapi harus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah.

            Ada tiga model ijtihad menurut Yusuf al-Qaradawi, yaitu ijtihad intiga’i, ijtihad insya’i dan ijtihad intergrasi antara keduanya sangat relevan dan potensial untuk diterapkan pada saat sekarang, baik mencakup persoalan yang telah ada ketentuan hukumnya maupun kondisi sekarang terhadap masalah kontemporer. Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat pesat hingga menggebrak pemikiran hukum islam dan perubahan sosial yang terus bergerak. Karena itu tuntutan ijtihad secara kreaktif dan selektif semakin diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah baru yang timbul, tanpa meninggalkan identitas yang harus dipertahankan.

Tugas UAS Pengantar Tata Hukum Indonesia

Tugas UAS Pengantar Tata Hukum Indonesia

Nama : Latifah Dwi Cahyani

NIM : 192121027

Kelas : HKI 2A

Jawaban

1. Persamaan PIH dan PTHI keduanya merupakan mata kuliah dasar umum jika ingin mempelajari  hukum dan ilmu hukum.

    Perbedaan PIH dan PTHI, PIH mempelajari hukum secara umum, asas-asas hukum dan bersifat universal. Objek kajian  PIH adalah pengertian-pengertian dasar dan teori-teori ilmu hukum serta membahas hukum pada umumnya dan tidak terbatas pada hukum positif negara tertentu. PIH berfungsi sebagai dasar bagi orang yang akan mempelajari hukum secara luas. Sedangkan PTHI/PHI mempelajari atau menyelidiki konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar hukum positif di Indonesia yang terkait tempat dan waktu tertentu yang bersifat khusus. PTHI berfungsi untuk mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia. 

2. Tata Urutan Perundang-undangan RI menurut UU No. 12 Tahun 2011

   1) UUD 1945

   2) Tap MPR

   3) UU/Perpu

   4) Peraturan Pemerintah (PP)

   5) Peraturan Presiden (Perpres)

   6) Peraturan Daerah Provinsi

   7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Lembaga-lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945

   1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

   2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

   3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

   4) Presiden dan Wakil Presiden

   5) Mahkamah Agung (MA)

   6) Mahkamah Konstitusi (MK)

   7) Komisi Yudisial (KY)

   8) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Lembaga-lembaga Independen

   1) Komisi Yudisial (KY)

   2) Bank Indonesia (BI)

   3) Komisi Pemilihan Umum (KPU)

   4) TNI dan Polri

   5) Kejaksaan Agung

   6) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

   7) Komisi Nasional Hak Asasi Maanusia (Komnas HAM)

3. Bentuk hukum

   1) Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak tertulis dalam perundang-undangan atau disebut hukum kebiasaan yang masih dipercayai dan diyakini di masyarakat. Contohnya hukum adat.

   2) Hukum Tertulis, adalah hukum yang ditulis dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis terdiri dari hukum tertulis yang dikodifikasikan dan hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan.

    Corak hukum

    1) Unifikasi, yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok sosial atau negara (penyatuan hukum yang berlaku secara nasional). Dipengaruhi oleh paham sentralisme hukum.

   2) Pluralistik, yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam kesatuan kelompok sosial atau negara.

4. Kodifikasi dan Non Kodifikasi 

    1) Bentuk hukum tertulis yang dikodifikasi, yaitu membukukan hukum yang sejenis secara lengkap, teratur, sistematis menjadi satu dalam satu undang-undang. Penulisan suatu bidang hukum aatau lapangan hukum tertentu. Penulisan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal, antar pasal yang satu dengan pasal yang lain berkitan secara logis satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan logis. Penulisan terseubt dibukukan dalam satu kitab. Contohnya KUH Dagang, KUH Perdata, KUH Pidana.

    2) Bentuk hukum yang tidak dikodifikasi, mengandung makna bahwa hukum yang meskipun tertulis tetapi tidak disusun secara sistematis, dan masih terpisah-pisah sehingga seringkali masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya. Seperti Undang-undang yang masih memerlukan peraturan pelaksana dibawahnya. Contohnya; UU Tripikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001), UU Pemberantasan Tindak Pidana Terosisme (UU 15/2003 jo. UU 5/2018), dan lain-lain.

KUH Pidana terdapat 3 buku. Buku I: aturan umum, buku II: kejahatan dan buku III: pelanggaran.

KUH Perdata terdapat 4 buku, buku I: tentang orang, buku II: tentang hukum benda, buku III: tentang perikatan, buku IV: tentang pembuktian dan daluwarsa

KUH Dagang terdapat 2 buku, buku I: tentang perdagangan pada umumnya, buku II: hak-hak dan kewajiban yang timbul dari pelayaran.

5. Subyek dan Obyek Hukum

    1) Subyek Hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Manusia sebagai subyek hukum dimulai sejak ia lahir dan baru berakhir apabila ia meninggal dunia namun terdpat pengeualaian dimulinyasubyek hukum dalam KUHP Perdata yang disebutkan dalam Pasal 2 yaitu (1) ”Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan , dianggap telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.” (2)”Mati sewaktu dilahirkan, dianggap ia tak pernah telah ada.”

    2) Obyek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subyek hukum dan dapat menjadi penghubung antara subyek hukum yang berupa barang/benda dan hak. Contonya hak suami istri dan anak, benda bergerak, benda tak bergerak dan benda tak berwujud.

    Hukum Materil dan Formil

    1) Hukum Materil, faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum atau faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi/isi dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum itu diambil. Misanya, KUHP segi materilnya adalah pidana umum, kejahatan dan pelanggaran.

   2) Hukum Formil, sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Sumber hukum formil terdiri dari undang-undang kebiasaan, traktat, keputusan-keputusan hakim dan pendapat sarjana hukum. 


Hubungan Antara Hukum Islam Dengan Ijtihad_Fillsifat Hukum Islam


HUBUNGAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN IJTIHAD

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik Mata Kuliah : Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Mudhofir, S. Ag., M. Pd.



FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2020


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Pada dasarnya Al-Quran telah diturunkan secara sempurna dan lengkap, akan tetapi tidak semua hal pada kehidupan manusia diatur dan dijelaskan secara detail dan rinci oleh Al-Quran maupun Hadis. Perbedaan jaman sekarang dengan jaman Rasulullah tentu sangat berbeda, pada saat wahyu turun Rasulullah masih membersamai para sahabat dan umatnya sehingga dalam menghadapi permasalahan yang ada para sahabat bisa dengan langsung untuk mendapatkan jawabannya dari Rasulullah, akan tetapi di jaman modern ini yang mana Rasulullah telah wafat dan permasalahan dari jaman ke jaman kian berkembang sesuai dengan arus perkembangan jaman itu sendiri maka tidak dipungkiri jika diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan ajaran Islam bagi kehidupan sehari-hari.

Maka jika terjadi persoalan baru bagi umat Islam dalam kurun waktu, tempat, dan situasi kondisi yang berbeda haruslah diperlukan untuk mengkaji Al-Quran dan Hadis sebagai hujjah yang utama bagi muslim, namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas dan atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Quran maupun Hadis barulah pada saat itu umat Islam perlu untuk melakukan Ijtihad guna memecahkan permasalahan yang ada, akan tetapi dianjurkan orang yang ber-ijtihad haruslah yang telah mempelajari Al-Quran, Hadis, ataupun Fiqh.

Oleh karena itu makalah ini kami susun guna untuk memberikan sedikit informasi bagi para pembaca tentang apa itu Ijtihad, siapa orang yang berhak ber-ijtihad, bagaimana hubungan antara hukum islam dengan ijtihad. Setidaknya dengan pemaparan tentang kajian-kajian tersebut para pembaca sedikit mengetahui akan topik-topik yang layak untuk dipelajari bagi mahasiswa muslim terkhusus fakultas syariah.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apa itu Ijtihad?

2.      Bagaimana hubungan antara Ijtihad dengan Hukum Islam?

3.      Apa hukum ber-ijtihad?

4.      Bagaimana urgensi Ijtihad diera sekarang?

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui apa itu Ijtihad

2.      Untuk mengetahui hubungan antara Hukum Islam dengan Ijtihad

3.      Untuk mengetahui hukum ijtihad

4.      Untuk mengetahui urgensi Ijtihad diera sekarang.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Ijtihad

            Ijtihad berasal dari kata “jahda” artinya “al-mayaqqah” (sulit atau berat, susah atau sukar). Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “juhda” yang diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan mengarahkan semua tenaga, yang selanjutnya menjadi ijtihad adalah masdar dari fi’il madhi yang asalnya “ijtahada”. Ijtihad adalah usaha maksimal untuk mendapatkan sesuatu. Jika tidak sungguh-sungguh tidak dapat disebut ijtihad, melainkan tafkir berfikir biasa yang sederhana. Sedangkan ijtihad menurut istilah adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang fuqaha untuk menghabiskan zhan (sangkaan) dengan menetapkan suatu hokum syara.[1]

            Menurut Rachmat Syafi’I secara etimologis kata ijtihad artinya kesulitan atau kesusahan(al-mayaqqah), juga diartikan dengan kesanggupan dan kemampuan (ath-thaqat).

            Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli dalam hukum islam dalam beristinbath (menggali) hokum islam yang bersifat praktis dari dalil yang terperinci.

            Menurut Abdul Wahab Khalaf ijtihad merupakan mengerahkan daya atau kemampuan untuk menghasilkan hokum syara dari dalil-dalil syara yang terperinci.

            Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh ijtihad adalah optimalisasi potensi dan mencurahkan segala daya untuk mencari hukum syara’ dengan cara memaksimalkan kemampuan dalam memahami dalil secara mendalam (analisis kritis-filosofis) sampai jiwa merasakan tidak mampu menambah ilmu lagi (hasil maksimal) dengan tujuan menghasilkan dugaan kuat dalam hokum syara’.

        Dari semua definisi tentang ijtihad diatas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad itu, adalah

  1. Pengarahan akal pikiran para fuqaha atau ushuliyyin
  2. Menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh karena adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al-Qur’an dan Al-Hadist
  3. Berkaitan dengan hukum syar’I yang amaliyah
  4. Menggali kandungan hukum syar’I dengan berbagai usaha dan pendekatan
  5. Dalil-dalil yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga hilang kezhaniyannya
  6. Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga mudah diamalkan.[2]

B.     Korelasi Hukum Islam Dengan Ijtihad

            Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan, pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Untuk syarat menjadi mujtahid sendiri sebagai berikut:

  1. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
  2. Kalau ia yang memegangi ijma’ maka ia harus tau seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah ia ijma’kan.
  3. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqh karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad
  4. Mengetahui dengan mendalam masalah nasikh mansukh beserta tau mendalam tentang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.[3]


Metode ijtihad dalam hukum islam yakni dengan Pendekatan Qiyas (analogi)

Qiyas berasal dari kata qasa,yaqisu,qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata “qiyas” diartikan ukuran, timbangan atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Dalam pendekatan analogis yang senantiasa melakukan generalisasi diperlukan kehati-hatian. Hal ini karena jika ada kesalahan dalam memeriksa indicator-indikator kesamaannya, generalisasi tersebut membahayakan kepada hukum yang di bangun.

Qiyas sebagai analogi induktif merupakan penalaran yang berangkat dari peristiwa khusus ke suatu kejadian yang khusus pula. Dengan rumusan logis bahwa jika benar keseluruhannya benar pula bagian-bagiannya jika tidak benar keseluruhannya tidak benar pula bagian-bagiannya. Akan tetapi, jika benar bagian-bagiannya belum tentu benar keseluruhannya sebagaimana jika tidak benar bagian-bagiannya, maka belum tentu tidak benar keseluruhannya. Rumusan tersebut di pasang dalam logika induktif atau analogi induktif, karena kebenaran dalam suatu kasus yang memiliki nash dan ketentuan hukum merupakan alat pertama untuk membenarkan kasus baru yang memiliki keserupaan dengan ciri substansial kasus yang telah ada sebelumnya.

Pemikiran tentang dugaan yang kuat terhadap illat hukum yang dilakukan oleh mujtahid, dapat membentuk hasil ijtihad qiyasi yang berbeda-beda karena setiap mujtahid memiliki cara pandang yang berlainan. Akan tetapi, perbedaan hasil ijtihad qiyasi berupa ketentuan hukum bagi masalah baru yang tidak ada nash dan ketetapan hukumnya, secara praktis diterima oleh manusia, dan setiap yang meyakini kebenarannya akan mengamalkan perbuatan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, ketentuan hukum yang di produk melalui pendekatan qiyas memiliki kebenaran yang relative karena semua yang ditetapkan hukumnya atas kerja keras ulama’ degan ijtihadnya memberikan hasil yang berbeda-beda dan mendatangkan pengikut yang berbeda-beda pula.[4] 

C.    Hukum-Hukum Ijtihad

      Ada empat kriteria hukum ijtihad yaitu:

  1. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hokum untuk dirinya sendiri dan tidak ada mujtahid yang bias segera ditemui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
  2. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
  3. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu peristiwa hukum yang belum terjadi baik ditanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
  4. Haram yaitu ber-ijtihad dalam masalah yang sudah ada ketentuan nash Qathi atau sudah ada ijma, ulama.


Hukum ada yang dapat di ijtihadi dan ada yang tidak dapat di ijtihadi meliputi

  1. Hukum yang tidak boleh di ijtihad, Hukum yang diketahui secara pasti dan jelas dari agama Nabi seperti sholat wajib, zakat, haji, haramnya zina dan liwath ( LGBT).
  2. Hukum yang boleh di ijtihadi, Menurut Wahbah Az-Zuhaili hokum yang boleh di ijtihadi yaitu masalah fiqh dhanni yang tidak ada dalil Qathi. Bagi hal ini bagi mujtahid yang salah tidak ada dosanya.[5]

D.    Urgensi Ijtihad Era Kontemporer

        Yusuf Al- Qaradlawi menjelaskan bahwa kehidupan kontemporer sekarang banyak mengandung masalah-masalah yang baru dan btidak terpikirkan oleh ulama jaman dahulu sehingga pada era ini dibutuhkan ulama ahli fiqh yang bias membantu meringankan permasalahan yang ada sesuai  perkembangan jaman dengan melakukan ijtihad baru.

            Ijtihad baru meliputi beberapa jenis yakni, pertama intiqai yaitu ber ijtihad dalam masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama-ulama zaman dulu dengan memilih sebagian pendapat yang relevan dalam naungan dan pertimbangan syara’. Kedua, isyai ibdai yaitu berijtihad dalam masalah-masalah baru yang belum dikenal fiqih lama dalam hal ini sangat banyak di zaman kita sekarang.

            Di masa kontemporer sekarang yang mengalami perubahan drastic, massif dan eskalatif disegala aspek kehidupan, individu, keluarga, social dan dunia baik dalam masalah ekonomi maupun politik. Demikian Yusul Al-Qaradlawi menjelaskan urgensi ijtihad di era modern ini tujuannya tidak lain supaya ahli hokum islam tidak terlalu lama dalam merespon problematika social yang terjadi. Mereka mampu mengatasi transformasi social dengan bijak dan pemikiran-pemikiran hukum yang bernash dan aplikatif.Wahbah Az-Zuhaili menegaskan kembali bahwa ijtihad merupakan kunci tegakknya syariat islam selama ijtihad dan fiqh masih hidup, maka syariat akan tetap abadi[6]

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

        Dari pemaparan diatas tentan dapat ditarik kesimpulan bahwa Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Ijtihad dan hukum islam saling berhubungan, pada dasarnya setiap muslim dianjurkan untuk berijtihad dalam semua bidang salah satunya hukum islam dengan memperhatikan kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Ada satu metode ijtihad dalam hukum islam yaitu qiyas, ketentuan hukum yang di produk melalui pendekatan qiyas memiliki kebenaran yang relative karena semua yang ditetapkan hukumnya atas kerja keras ulama’ degan ijtihadnya memberikan hasil yang berbeda-beda dan mendatangkan pengikut yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

 

Amiruddin, Zein, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2009.

Asmani, Ma’ruf, Jamal, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Saebani, Ahmad, Beni, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

 


[1] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.195.

[2] Ibid., hlm. 196.

[3] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 196-197.

[4] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 207-2012.

[5] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 196.

[6] Jamal Ma’mur Asmani, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 206-209.

4 Soal dan Jawaban mengenai Al-Qur'an

Soal dan Jawaban mengenai Al-Qur'an


Tugas Ulangan Tengah Semester Genap

Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen: Dr. Muchlis Anshori, S. Th.I., M. Pd.I

 

Nama   : Latifah Dwi Cahyani

NIM    : 192121027

Kelas   : HKI 2A

 

1.      Jelaskan definisi Al-Qur’an menurut beberapa pendapat para ahli!

Menurut beberapa pendapat para ahli definisi Al-Qur’an secara etimologis antara lain:

a.     Menurut Al-Farra, Al-Qur’an berasal dari kata al-qara’in yaitu jamak dari qarinah yang berarti petunjuk atau indikator.

b.   Menurut Asy-Syafi’I, kata Al-Qur’an adalah nama asli dan tidak pernah dipungut oleh kata lain.

c.      Menurut Al-Lihyani, Al-Qur’an berasal dari kata kerja qara’a yang artinya membaca.

d.   Menurut Al-Asy’ari, Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang berarti menggabungkan yaitu gabungan dari ayat-ayat dan surat-surat.

e.      Menurut Az-Zujaj, Al- Qur’an berasal dari kata al-qara’u yang berarti himpunan.

Sedangkan definisi Al-Qur’an secara terminology antara lain:

a.   Muhammad Khudari Beik, Al-Qur’an adalah lafadz yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dipahami isinya, diingat, di sampaikan dengan mutawatir, ditulis dengan mushaf, dimuli dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nass.

b.   Muhammad Abduh, Al-Qur’an adalah bacaan yang ditulis dalam mushaf, terjaga di dalam dada orang yang menjaganya dengan hafalan dari umat Islam.

c.    Subhi Shalih, Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung mu’jizat yangditurunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, disampaikan dengan mutawatir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.

2.      Diskripsikan secara singkat mengenai kedudukan dan fungsi Al- Qur’an!

a.       Kedudukan Al- Qur’an

1)    Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt yatu seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah, tidak ada satu katapun yang dating dari perkataan.

2)   Al-Qur’an sebagai sumber hukum, seluruh madzab sepakat Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum.

3)      Minhajul Hayah (Pedoman hidup), setiap muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam hidup.

4)   Kitabul Naba wal Akbar (berita dan kabar), Al-Qur’an merupakan kabar yang dibawa Nabi yang datang dari Allah Swt dan disebarkan kepada manusia.

5)      Al-Qur’an sebagai sumber berbagai disiplin ilmu keislaman.

b.      Fungsi Al-Qur’an

1)  Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber ajaran dan bukti kebenaran kerasulan Muhammad Saw.

2)      Sebagai petunjuk dan sumber informasi untuk menempuh kehidupan.

3)      As-Syifa (obat), sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada (hati).

4)  Al-Mau’izah (nasihat), Al-Qur’an sebagai penasihat bagi orang-orang yang bertakwa.

5)      Sebagai rahmat yang diberikan Allah Swt untuk umat manusia.

6)    Menguatkan dan membenarkan kitab-kitab terdahulu yang telah diturunkan Allah.

7)      Al-Furqan (pemisah), artinya memisahkan antara yang hak dan yang batil

 

3.      Jelaskan secara singkat dan jelas tentang sejarah Al-Qur’an!

            Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril. Proses turunnya Al-Qur’an berlangsung selama 22 tahun 2 bukan 22 hari secara berangsur-angsur, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang ada dan kebutuhan saat itu. Ketika Rasul menerima wahyu, beliau langsung menghafalkan ayat-ayatnya dan disampaikan kepada para sahabat. Para sahabat pun disuruh menghafalkan dan menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan batu, dan keping-keping tulang.

            Wahyu pertama yang turun adalah surat Al-‘Alaq ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun pada tanggal 17 Ramadhan di Gua Hira. Wahyu yang selanjutnya diturunkan dengan jeda selama 3 tahun. Adapun tahap turunnya Al-Qur’an dibagi menjadi dua. Pertama yaitu periode Makkah adalah periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah, yang lebih diarahkan kepada pembentukan aqidah dan moral Islam. Kemudian periode Madinah, yaitu sesudah Nabi Hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya lebih diarahkan pada pembentukan masyarakat Islam, aqidah dan muamalah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Makkah berjumlah 86 aurat selama 13 tahun dan digolongkan surat Makiyyah. Serta yang diturunkan di Madinah berjumlah 28 surat selama 10 tahun.

4.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan sejarah penghimpunan dan pembukuan Al-Qur’an!

            Sejarah penghimpunn dan pembukuan Al-Qur’an pada zaman Nabi Muhammad Saw. Saat itu dilakukan dengan dua cara, yaitu hafalan dan penulisan dalam lembaran (suhuf). Setiap kali sebuah ayat turun, dihafalkan dalam dada dan ditempatkan dalam hati Nabi Muhammad Saw. Selain itu Nabi juga memerintahkan sahabatnya untuk menyalinnya dan menuliskannya diatas kulit hewan, tulang, pelepah kurma dan batu, karena pada saat itu belum ada kertas.

            Setelah wafatnya Nabi, Umar Bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar sebagai khalifah, untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Kemudian Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan tugas tersebut. Setelah Abu Bakar wafat mushaf tersebut diserahkan kepada Hafsah untuk menyimpannya.

            Kemudian pada zaman kekhalifahan Ustman bin Affan muncul perbedaan pendapat tentang qiraah. Utsman segera mengambil langkah untuk menghindarkan perselisihan yaitu dengan membentuk sebuah tim penulisan Al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf dengan acuan utama mushaf Abu Bakar. Selanjutnya Utsman menyerahkannya agar semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsman dimusnahkan.

Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan

  Wali, Saksi dan Ijab Qobul dalam Perkawinan Latifah Dwi Cahyani   Abstrak: Perkawinan adalah suatu amalan sunnah yang disyariatkan ...